1. Jepit Rambut Pisang

1912 Words
Sejak di dalam kandungan, keluarga Ramilda Jean Hadinata yang kelak disapa Milda mungkin sudah memperhatikan perihal pendidikan seperti apa yang kelak akan ditempuhnya.   Tidak hanya pendidikan formal, bahkan sejak balita pun Milda sudah mendapatkan berbagai asupan pendidikan dan ilmu pengetahuan dari keluarganya—atau lebih tepatnya dari sang kakek. Orang tua Milda sendiri hanya bisa pasrah ketika Hadinata ikut campur dalam mendidik anak perempuan mereka sekaligus cucu perempuan terakhir di keluarga Hadinata.   Pada saat itu, Bram sebagai ayah sedang dalam kondisi menempuh pendidikan profesi untuk gelar dokternya, sedangkan Lina yang hanya menantu di sana tidak bisa berbuat banyak. Karena Bram dan Lina masih tinggal bersama Hadinata dan Widyawati, tentu saja mereka tidak memiliki pilihan lain untuk protes dan menjalani kehidupan sesuai aturan keluarga yang sudah ada.   “Nanti Milda mungkin akan diarahkan menjadi dokter spesialis dermatologi.” Hendrawan berkata di sela makan malam mereka.   Milda yang tengah menjadi objek pembicaraan bahkan masih duduk di atas highchairnya khusus balita. Tetapi masa depannya sudah ditentukan.   “Lina, kamu kasih cucu saya makanan sesuai anjuran yang saya kasih, kan?”   Lina tersentak. Menatap sekilas pada makanan bayi di tangannya. Bahkan makanan apa yang ditelan oleh anaknya, semua harus seizin dan sesuai perintah dari ayah mertuanya. “Iya, Pak.”   “Bagus. Makanan itu bagus untuk perkembangan otak Milda nantinya, jadi dia mudah menyerap pelajaran ketika sudah mulai sekolah.”   Semakin usianya bertambah, Milda pun mulai menerima pendidikan pra-sekolahnya di rumah. Hadinata menyewa pendidik khusus yang akan melatih Milda agar bisa membaca, berhitung dan menulis seolah tidak mempercayakan pendidikan awal tersebut kepada Lina sebagai ibu kandungnya.   “Semua cucu saya mendapatkan fasilitas yang sama, jadi saya harus berlaku adil. Saya bukannya tidak percaya pada kamu.” Itulah alasan yang diberikan Hadinata kepada Lina agar menantunya itu tidak tersinggung.   Tidak sampai di sana, Hadinata pun bahkan turun tangan sendiri dalam mengajari Milda berbagai macam hal sebelum akhirnya Milda mungkin menjadi murid kelas satu SD paling pintar di antara teman-teman seusianya. Sayangnya, Hadinata kemudian meninggal dunia begitu Milda berada di semester keduanya di kelas satu.   Setelah Hadinata meninggal dunia, Lina dan Bram memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri sedangkan Widyawati tinggal berdua bersama cucu dari anak keduanya yaitu Ares yang usianya hanya berbeda dua tahun dengan Milda.   Karena Ares dan Milda pernah tinggal di satu atap yang sama cukup lama, mereka adalah cucu Hadinata yang paling akur satu sama lain. Berbeda dengan sepupu mereka yang lain yang memiliki jiwa bersaing bahkan dengan saudara sendiri, Milda dan Ares tidak terlalu suka bersaing. Well, Milda tetap kompetitif dengan sepupu-sepupunya yang lain, karena mindset ‘aku harus lebih unggul’ telah ditanamkan sejak dalam kandungan oleh kakeknya sendiri, tetapi Ares adalah pengecualian.   Mungkin karena Ares juga tidak pernah menunjukkan rasa persaingan di antara mereka sehingga mereka tumbuh lebih seperti kakak-adik dibanding sepupu.   Tetapi tentu saja jiwa bersaing dan harus lebih unggul Milda dibawanya ke sekolah tempatnya menuntut ilmu. Apalagi Milda datang dengan privilege anak yang sudah memiliki pengetahuan lebih banyak dibanding teman-temannya yang lain, maka otomatis rasa angkuh itu ada dengan alami.   Milda hanya bisa menganggap remeh teman-teman kelasnya yang bahkan masih kesulitan untuk menuliskan nama mereka sendiri di lembar ujian. Sedangkan Milda bahkan sudah bisa berhitung perkalian ratusan dan dapat menyebutkannya dengan dua bahasa sekaligus.   Setidaknya sampai seorang anak laki-laki ingusan bertubuh gemuk yang mengompol di celana saat hari pertama sekolah tiba-tiba mengisi posisi peringkat satu di kelas dua saat pembagian rapot semester kedua mereka.   Revindra Septa Adhipratama.   “Bu Guru!” Milda menatap wali kelasnya tidak terima. “Kok Revin bisa ranking satu? Pasti Revin curang, Bu!”   “Milda, nggak boleh gitu.” Lina yang sedang membaca isi rapot anak perempuannya itu terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh sang putri. “Mungkin di semester dua ini nilai-nilai Revin lebih bagus, bukan berarti curang.”   “Mama, tapi Revin itu di kelas kerjanya cuma makan sama main sama temen-temennya!”   Lina menggeleng, tatapannya memperingati sang putri untuk tidak melanjutkan lagi ucapannya. “Bu, saya minta maaf atas sikap anak saya. Anaknya memang kompetitif sekali.” Lina akhirnya hanya bisa memohon maaf kepada sang wali murid.   Milda mendengus. Wajahnya ditekuk dan tangannya terlipat. Tentu saja masih sulit untuk menerima kekalahan, apalagi oleh anak seperti Revin. Milda bahkan tidak ingat jika Revin berada di peringkat sepuluh besar saat semester satu. Milda bahkan mungkin tidak ingat kalau Revin adalah teman sekelasnya sampai lelaki itu merebut rankingnya. Bagaimana bisa tiba-tiba anak yang kelihatannya hanya main-main di kelas itu bisa menjadi peringkat satu?   Ketika Milda menoleh ke pintu kelas, sosok yang membuat suasana hatinya buruk hari itu seolah sengaja berdiri di sana menatapnya. Atau...mengejeknya?   Revin hanya berdiri diam di sana, menatap Milda yang sudah siap mengeluarkan api dari lubang hidungnya sambil menikmati sebungkus ciki. Bahkan bocah itu makan makanan tidak sehat yang sangat dilarang oleh almarhum kakeknya itu—karena katanya dapat menyebabkan menjadi bodoh.   “Mama, Milda mau jajan ke kantin.”   Lina yang masih berbincang dengan wali kelas untuk membahas nilai Milda mengangguk. “Oke, ini uang—loh? Milda!” Lina hanya bisa menatap punggung putrinya yang sudah berlalu meninggalkan ruang kelas menuju keluar. “Padahal belum dikasih uang jajannya...”   ***   Di luar kelas, Milda menghadapi Revin yang masih senantiasa mengunyah makanan ringannya. “Kamu ngapain ngintipin aku sama Mamaku tadi?” tanya Milda begitu mereka sudah berdiri berhadapan.   “Siapa yang ngintip? Orang pintunya kebuka jadi aku ngelihat doang.”   “Itu namanya ngintip! Kan giliran kamu ambil rapot masih nanti habis aku!” Milda lalu menoleh ke kanan dan kiri, mencari orang tua Revin yang seharusnya ada bersamanya karena setelah Milda selesai adalah giliran mereka.   Absen mereka memang atas dan bawah.   “Mama atau Papa kamu, mana?” tanya Milda penasaran. Lebih tepatnya, karena Milda ingin mengadukan pada mereka jika Revin baru saja curang untuk bisa menyainginya. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Milda.   “Kerja.”   “Hah?” Milda mengernyit. “Terus yang ambil rapot?”   “Mbak.”   “Mbak yang kerja di rumah?” tanya Milda memastikan. Matanya sudah melebar saking tidak percayanya ketika Revin mengangguk. “Emang boleh?”   Revin mengedikkan bahunya, tidak peduli. “Ayah sama Bunda aku dokter, sibuk.”   “Mama sama Papa aku juga dokter, kok! Tapi Mama dateng, tuh, wlee!” Milda memeletkan lidahnya. Jika Revin berhasil menyainginya soal peringkat, setidaknya Milda kini menyainginya soal kehadiran orang tuanya.   Revin masih memasang ekspresi tidak peduli, seolah ledekan Milda memang tidak berarti apa-apa untuknya.   Melihat ekspresi Revin yang tidak terganggu, Milda kembali mencoba. “Awas, ya! Pas kelas tiga aku bakal ranking satu lagi, lihat aja!”   Sama sekali tidak terpengaruh dengan konfrontasi Milda, Revin justru bertanya dengan polosnya, “Emang sekarang ranking berapa?”   Pertanyaan itu jelas membuat mata Milda semakin membulat tidak percaya. “Ranking dua!” Milda kali ini benar-benar menaikkan nada suaranya dengan berapi-api. “Kamu ngeledek, ya?”   “Oh.” Revin lagi-lagi berujar cuek. “Nggak ngeledek.”   Milda sudah siap dengan omelannya lagi tetapi terhenti ketika Revin mengulurkan tangannya yang belepotan bumbu ciki. Tangan gemuknya mengepal, mengulurkan sesuatu di dalamnya kepada Milda.   Milda menatap Revin bingung tetapi kemudian menerimanya.   Sebuah jepitan rambut. Warnanya kuning, bentuknya menyerupai buah pisang. Lucu.   “Kenapa kamu kasih ini?”   “Hadiah buat kamu karena ranking dua.”   “TUH KAN KAMU NGELEDEK!” Milda menghentakkan kakinya kesal. Tetapi meski begitu, ia menggenggam jepit rambut pisang tersebut dengan erat. “Kamu pasti udah niat mau rebut ranking aku, kan?”   Revin baru akan menjawab, tetapi ucapannya terhenti karena pintu kelas tiba-tiba terbuka dan Lina keluar dari sana bersama wali kelas.   “Revin, sekarang giliran kamu, ya.” Ucapan sang wali kelas pun mengakhiri percakapan Milda dan Revin hari itu.   “Udah jajannya, Mil?” tanya Lina kepada Milda.   Milda tidak menjawab dan memilih menggandeng tangan ibunya lalu berjalan menuju parkiran. Meninggalkan Revin yang hanya bisa menatap punggungnya menjauh.   ***   Dua minggu setelah liburan semester, Milda kembali ke sekolah sebagai siswa kelas tiga. Tidak banyak yang berubah karena ia kembali duduk di kelas yang sama dengan teman-temannya di kelas satu dan dua dulu. Jadi tidak ada yang baru selain tas-tas bergambar kartun yang dibawa teman-temannya.   Milda duduk di tempat duduk paling depan seperti saat di kelas satu dan dua dulu. Tetapi kali ini di sebelahnya bukan Kirana atau Adelia yang menempati kursi itu melainkan Revin!   Secara refleks, Milda menyentuh jepit rambut pisang yang menghiasi rambutnya hari itu. Iya, jepit pemberian Revin.   Biasanya, Milda akan menyapa teman-teman yang duduk di dekatnya dengan ucapan selamat pagi. Tetapi karena itu Revin, Milda melewatkan rutinitas itu dan memilih langsung duduk di kursinya melewati Revin yang sedang memakan roti isi dari kotak bekalnya.   Dasar tukang makan!   Milda melirik Revin, kenapa bocah itu tidak melihatnya sama sekali? Milda pun menggeser letak jepitnya. Apa mungkin tidak kelihatan?   Milda sendiri tidak tahu kenapa dia ingin Revin melihat jepit rambut pemberiannya itu dipakai. Memang kalimat seperti apa yang ingin Milda dengar jika Revin sudah melihatnya nanti?   “Milda, jepitan rambut kamu lucu!” Pujian itu datang dari Adelia yang kali ini duduk di belakang Milda karena tempat duduknya lebih dulu diambil Revin.   Milda refleks menyentuh jepitan itu. “Makasih!” Senyuman Milda entah mengapa terbit.   Oh, sepertinya Milda juga ingin dipuji Revin mengenai jepit pemberiannya.   “Ih iya, lucu bentuknya pisang!” Kali ini Kirana ikut bergabung. Perempuan yang rambutnya hari itu dikuncir dua tersebut bahkan menyentuh jepitan di rambut Milda. “Kamu beli di mana?”   “Nggak tahu, aku dikasih Revin!” Milda tidak tahu mengapa ia memilih mengatakan hal tersebut. Tetapi Milda memang sudah dididik untuk menjadi anak yang jujur. Maka dia tidak mungkin berbohong. “Katanya hadiah karena ranking dua.” Meski enggan mengakui dirinya turun peringkat, entah mengapa Milda tidak mengatakannya.   “Hah? CIEEEEEE!” Kirana seketika berteriak heboh. “CIEEE MILDA SAMA REVIN SUKA-SUKAAN! CIEEE!”   Milda tersentak. “Ih apaan sih Kirana!”   “Cieeee pantes Revin mau duduk di depan sekarang, cie!”   Ejekan itu terus bergema. Dari satu mulut kini sudah menyebar ke seluruh murid di kelas tiga. Milda tidak menyangka efeknya akan seperti ini. Dirinya bahkan terlalu bingung untuk sekadar bereaksi.   “A—aku nggak—”   “Apaan sih!” Kali ini Revin menutup kotak bekalnya dengan cukup keras. Revin yang biasanya bersikap cuek bebek dan tidak peduli sekitar mendadak menunjukkan reaksi kesalnya. “Berisik!”   “CIEEE SALTING CIEEE!”   Milda dan Revin pun tidak sengaja bertatapan. Mata Milda sudah berkaca-kaca. Dirinya tidak pernah merasa diledek dan dipermalukan seperti ini sebelumnya. Setidaknya sampai ia akhirnya mulai bicara dengan Revin dan melihat keberadaannya.   “Aku—nggak—”   “Aku nggak suka sama Milda! Aku kasih dia jepitan pisang karena dia mirip monyet!”   Seketika ledekan pun dengan cepat berganti menjadi tawa membahana. Memang akhirnya ledekan soal Revin yang menyukai Milda berhenti saat itu juga, tetapi kini Milda justru menerima ledekan baru yaitu monyet.   Siapa anak perempuan yang senang disamakan dengan monyet? Meski bayi monyet adalah hewan yang Milda anggap menggemaskan, tetapi bukan berarti Milda mau disamakan! Bukan hanya merebut peringkat kelasnya, Revin bahkan membuat Milda mendapatkan ledekan dan julukan monyet. Milda pun melepaskan jepit rambut pisang tersebut dari rambutnya dan melemparkannya ke laci meja dengan kesal.   Ia menoleh dan bertemu tatap dengan Revin yang juga tengah menatapnya. Tatapan Revin sama seperti hari itu saat terima rapot. Datar.   “Aku benci kamu!” Milda menggerakkan bibirnya tanpa suara tetapi cukup jelas untuk dapat diterima oleh Revin yang hanya bisa berkedip menatapnya.   Maka sejak hari itu, bendera perang pun mulai dikibarkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD