2. Rival

2243 Words
Sejak hari di mana Milda mengibarkan bendera perangnya dengan Revin, tidak ada yang bisa Milda harapkan lagi selain bisa cepat-cepat lulus dari sekolah dasar agar dirinya tidak perlu bertemu dengan Revin lagi. Tapi jangankan berbeda sekolah, rumah mereka bahkan terletak di komplek perumahan yang sama hanya berbeda beberapa blok saja.   Sekolah Milda dan Revin sendiri saat ini memang terdiri dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah akhir di satu area yang sama dan juga sebuah universitas yang letaknya terpisah dari area sekolah.   Sebenarnya Milda sempat berpikir untuk keluar dari yayasan sekolahnya itu dan mencari sekolah baru lagi ketika masuk SMP nanti. Tetapi sekolah tempat Milda menuntut ilmu ini adalah sekolah swasta dengan peringkat nomor satu terbaik di Indonesia bahkan masuk ke sepuluh besar di Asia Tenggara. Akhirnya Milda memutuskan untuk tetap melanjutkan sekolah SMP dan SMAnya di sekolah yang sama, toh peluang ia dan Revin berpisah kelas ketika SMP nanti masih besar karena jenjang SMP dan SMA memiliki jumlah kelas lebih banyak di setiap angkatannya.   Sekolah Milda dan Revin, Atmadja School memang memiliki kurikulum yang berbeda dengan sekolah lainnya terutama sekolah negeri. Mereka menggabungkan kurikulum nasional dan internasional yang membuat sekolah mereka bahkan menjadi jauh lebih baik dibanding sekolah-sekolah internasional di Indonesia sekalipun.   Meski menggunakan dua bahasa, Atmadja School milik yayasan Atmadja Group ini tetap menjunjung tinggi bahasa dan budaya Indonesia. Itu sebabnya, meski secara kualitas dan standar sekolah ini lebih unggul dari sekolah negeri, tetapi lingkungannya tetap terasa down to earth selayaknya sekolah negeri pada umumnya.   Kembali ke Milda dan Revin. Sejak bendera perang yang Milda kibarkan juga, Revin tidak pernah sekalipun melewatkan harinya untuk tidak mengganggu Milda. Bukan, bukan dengan mencoret-coret buku Milda, mematahkan krayon, apalagi menarik rambut Milda yang dikuncir kuda. Bukan.   Revindra Septa Adhipramana tidak akan melakukan hal-hal remeh seperti itu. Tetapi Revin mengganggu Milda dengan cara-cara yang hanya bisa membuat seorang Ramilda Jean Hadinata kesal hingga meledak.   Merebut peringkat satu. Bukan hanya peringkat kelas. Revin selalu berhasil mengungguli Milda dan menempati nomor satu dalam segala hal. Bahkan di lomba-lomba yang Milda ikuti, secara kebetulan Revin juga selalu berpartisipasi dan memenangkan juara satunya.   Dan sepertinya takdir memang sengaja ingin bermain-main dengan Milda dan Revin lebih lama. Milda bahkan benar-benar selalu terjebak di kelas yang sama dengan Revin hingga mereka kini sudah duduk di bangku SMA.   Milda tahu, kakeknya sudah lama meninggal dan Milda sudah tidak harus lagi menjadi ambisius menjadi unggul di sekolah. Kedua orang tua Milda jauh berbeda dengan sang kakek yang menuntut Milda menjadi anak yang pintar dan selalu unggul di sekolah baik dalam bidang akademik maupun ekstrakurikuler. Baik Lina dan Bram, bahkan membebaskan Milda untuk bisa memilih masa depannya sendiri. Mereka hanya akan berada di belakang Milda untuk memberikan support mereka sepenuhnya.   Tetapi sayangnya Milda sudah terlanjur tumbuh dengan mindset yang ‘dibuat’ oleh mendiang kakeknya. Masa depan terbaik untuknya adalah menjadi dokter spesialis sama seperti seluruh anggota keluarganya yang lain. Dan menjadi unggul di sekolah adalah sebuah kewajiban. Hal itu membuat Milda menganggap Revin adalah penghalangnya untuk melakukan kewajibannya.   Awalnya, Milda berpikir Revin hanya anak ambisius sama sepertinya. Tetapi perlahan semua mulai terasa janggal karena menurut Milda, Revin memang sengaja mengikuti berbagai perlombaan yang Milda ikuti untuk menyainginya.   Seperti saat ini. Milda dengan napas memburu berjalan cepat dari ruang OSIS menuju kelas dengan kaki yang dihentakkan terlalu keras. Begitu sampai di tujuannya, Milda tidak membuang-buang waktu untuk melemparkan selembar kertas tepat ke meja di hadapannya. “Heh, Revin!” Milda menendang kaki meja yang sedang dijadikan Revin tumpuannya untuk tidur siang itu. “GUE TUH PUNYA SALAH APA SIH SAMA LO?”   Teriakkan Milda sama sekali tidak membuat beberapa teman sekelasnya terkejut. Seolah pemandangan mereka saat ini memang sudah menjadi hal yang lazim dan biasa di kelas mereka. Tentu saja karena pertengkaran antara Revin dan Milda sudah berlangsung terlalu  lama sehingga sudah seperti hal yang sama normalnya dengan manusia bernapas.   Revin yang diganggu tidur siangnya mengucek mata. Kacamata yang sehari-hari bertengger di batang hidungnya itu tergeletak di meja, bersebelahan dengan kertas yang baru saja Milda lemparkan beberapa saat yang lalu. “Apa, sih? Nggak bisa santai aja ngomongnya?” tanya Revin sambil mengusap telinganya.   “LO NGAPAIN SIH IKUTAN LOMBA MASAK? EMANGNYA SEJAK KAPAN LO BISA MASAK?” Milda masih saja berteriak tanpa sedikitpun ingin mengurangi volume suaranya. Kekesalannya pada Revin pun masih sama besarnya.   “Lo sendiri emangnya bisa masak?” Revin seperti biasa membalas Milda dengan santai. Semeledak apapun Milda, Revin selalu menanggapi perempuan itu dengan tenang. Sama seperti ketika pertama kali mereka berinteraksi.   “Bukan urusan lo!” Milda membentak. Tetapi kali ini suaranya sudah lebih pelan dari sebelumnya. Karena Milda tahu berdebat dengan Revin tidak akan pernah selesai dengan mudah. “Just stop, Revin! Stop ngikutin semua perlombaan yang gue ikutin hanya untuk mengungguli gue!”   “Gue bakal berhenti, kalau lo juga berhenti anggap gue ini saingan lo.”   Milda tahu, bicara dengan Revin memang hanya membuang-buang waktu dan tenaganya. Jadi Milda memilih untuk pergi dan keluar dari kelas. Karena berada di ruangan yang sama dengan Revil adalah hal terakhir yang Milda inginkan untuk saat ini.   ***    Hari itu, Revin pulang lebih sore dari biasanya karena Revin harus mengikuti rapat science club yang diikutinya. Sebenarnya Revin tidak begitu tertarik mengikuti kegiatan di luar sekolah, bermain games di komputer rumahnya akan jauh lebih menyenangkan ketimbang membuang waktu dengan perkumpulan anak-anak ‘geek’ di club tersebut. Sayangnya sekolah mewajibkan setiap murid terdaftar di minimal satu kegiatan ekstrakurikuler. Tentu saja Revin memilih club yang kemungkinan aktifitasnya paling sedikit dibanding ekskul olahraga atau lainnya.   Tanpa Revin tahu kalau science club di sekolahnya adalah club yang cukup terkenal karena selalu berhasil membawa pulang piala dan medali dari olimpiade sains atau pun perlombaan sains lainnya. Dan Revin, yang memang juga tidak pernah bergeser dari peringkat satunya sebagai murid terpintar di angkatan pun tentu menjadi ‘anggota’ kehormatan club begitu mendaftarkan namanya.   Revin sedang berjalan menuju parkiran sekolah tempat ia memarkirkan kendaraannya ketika melihat sosok yang tidak asing berjalan ke arah yang berlawanan dengannya. Sepertinya gadis yang baru saja melewati Revin begitu saja tidak menyadari kehadiran Revin sama sekali meski mereka jelas-jelas berpapasan.   Meski gadis itu berjalan cepat melewati Revin, tetapi Revin berhasil menangkap mata gadis itu yang terlihat...berkaca-kaca? Entahlah, yang jelas Revin tahu kalau gadis itu tidak baik-baik saja.   Iya, Milda sedang tidak baik-baik saja.   Seharusnya Revin meneruskan langkah kakinya menuju parkiran yang hanya tinggal beberapa meter lagi dari tempatnya dan bukannya berbalik arah dan mengikuti ke mana Milda melangkahkan kakinya. Tetapi rasa penasaran karena Milda yang selama ini selalu terlihat ceria, kuat dan juga galak—hanya kepadanya—tiba-tiba saja menangis.   Meski Revin juga tidak yakin apakah Milda benar-benar menangis tadi, tetapi tidak ada salahnya memastikan. Dan kalau sampai benar Milda sedang menangis tadi, Revin bisa menjadikan itu senjata untuk mengganggu Milda lagi kan?   Revin bisa melihat Milda berbelok menuju perpustakaan. Meski di sekolah mereka masih tersisa beberapa murid dan juga staff yang memiliki urusannya masing-masing, sepertinya perpustakaan menjadi pengecualian karena tidak ada siapapun di sana selain seorang petugas perpustakaan yang terlihat serius di balik komputernya.   “Mas Adi!” Revin menyapa petugas perpustakaan yang usianya mungkin di pertengahan dua puluhan. “Kok belum tutup perpusnya?” tanya Revin dengan suara yang cukup pelan. Kepalanya sambil menoleh ke kiri dan kanan mencari keberadaan Milda yang mendadak tidak terlihat. Entah gadis itu sedang berada di bagian mana perpustakaan saat ini.   “Belum, lagi nanggung ini.” Mas Adi menjawab tanpa menoleh ke arah Revin sama sekali. Mereka memang sudah cukup akrab mengingat Revin sudah cukup sering mengobrol dengannya saat berkunjung ke perpustakaan untuk numpang tidur. “Kamu sendiri ngapain masih di sini jam segini? Biasa juga bel langsung cabut.”   “Abis rapat club.” Revin mengeluarkan kartu pelajarnya untuk ia tap di mesin scan. Setelah namanya muncul dan tercatat ke dalam sistem data pengunjung perpustakaan, Revin langsung berlalu menuju rak-rak tinggi yang berisi berbagai macam buku yang tersusun rapi.   Perpustakaan sekolah mereka bisa dibilang sangat besar dan lengkap. Dari buku hingga fasilitas bahkan standar kenyamanannya untuk belajar atau membaca. Ada sekitar lima belas komputer yang tersedia dan bisa digunakan murid-murid untuk mengerjakan tugas atau research. Di tengah-tengah perpustakaan ada beberapa meja-meja panjang dan kursi yang diatur berhadapan. Biasanya digunakan untuk orang-orang mengerjakan tugas atau membaca. Lalu ada juga kursi dan meja dengan sekat yang bisa digunakan untuk membaca dengan privasi yang lebih baik tanpa gangguan, letaknya agak dipojok dekat dengan buku-buku sejarah yang jarang tersentuh sehingga menjadi spot paling sempurna untuk tidur, bagi Revin.   Revin tidak menemukan Milda di sana. Tetapi justru menemukan gadis itu sedang terduduk di lantai, bersandar pada rak buku tinggi di belakangnya. Menangis.   Revin sempat ragu beberapa saat. Bukankah tujuannya mengikuti Milda ke sini adalah ingin mengetahui apakah Milda menangis atau tidak dan kalau memang benar Revin akan menjadikannya bahan untuk mengganggu Milda di kemudian hari.   Tetapi Revin bahkan tidak memiliki keinginan untuk mengeluarkan ponsel dari sakunya saat ini. Yang ada, Revin justru mendekati Milda dan duduk di sebelahnya tanpa mengatakan apa-apa. Menemani Milda menangis hingga perempuan itu akhirnya menyadari kehadirannya. Tangisan Milda mulai reda. Meski bahunya masih terlihat sedikit bergetar, setidaknya ia sudah tidak terisak seperti sebelumnya. Revin akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara, “Lo...butuh tissue?”   Tentu saja Milda tersentak. Dengan panik ia berbalik dan terkejut dengan matanya yang masih sembab dan wajahnya yang tentu masih basah oleh air mata ketika menemukan Revin tidak jauh darinya. “Sejak kapan lo di sini? Ngapain?” tanya Milda sambil buru-buru mengalihkan wajahnya dan membersihkan jejak-jejak air mata dari wajahnya yang tentu saja percuma karena Revin sudah melihat segalanya.   Revin menggaruk tengkuknya salah tingkah. Pasalnya ia juga tidak memiliki tissue yang ia tawarkan pada Milda. Keberadaannya di sana benar-benar murni tidak direncanakan. “Sorry, gue nggak sengaja lihat lo di sini waktu mau minjem buku.” Revin akhirnya berbohong karena tidak ingin Milda tahu jika dirinya memang sengaja mengikuti gadis itu sejak melihatnya di koridor tadi.   Milda dengan cepat berdiri dari duduknya, merapikan sedikit seragamnya sebelum beranjak pergi meninggalkan Revin di sana. Tetapi ketika melewati Revin, lelaki itu dengan refleks menahan tangan Milda membuat keduanya bertatapan kali ini.   “So—sorry!” Revin dengan cepat melepaskan pergelangan tangan Milda yang ditahannya. “Gue...”   “Lo mau cerita ke orang-orang kalau habis lihat gue nangis di sini? Terserah! Gue nggak peduli.” Milda bahkan kali ini tidak lagi mencoba menutupi matanya yang masih sembab dan suaranya yang terdengar bindeng karena menangis.   “Nggak kok, geer lo.” Revin tidak tahu kenapa justru kata-kata seperti itu yang keluar dari mulutnya dan bukannya kata-kata ‘menghibur’ yang sudah selayaknya ia berikan pada seorang gadis yang baru saja menangis. Revin benar-benar merasa payah.   Milda mendengus, kemudian segera berbalik dan melangkahkan kaki sebelum Revin kembali menariknya lagi. Setelah itu, Revin memang tidak menarik atau menahan Milda lagi seperti sebelumnya, tetapi lelaki itu mengikuti Milda hingga perempuan itu berdiri di gerbang sekolah.   “LO NGAPAIN SIH?” tanya Milda galak karena Revin benar-benar secara jelas mengekorinya. “Ngapain ngikutin gue? Lo mau ngomong apa, bilang sekarang!”   Revin menelan ludahnya. Sebenarnya Revin juga tidak tahu harus mengatakan apa pada Milda. Menanyakan alasan Milda menangis? Memangnya mereka seakrab itu untuk bertukar cerita? Yang ada Milda justru akan menendang Revin jika benar-benar menanyakannya. Di mata Milda kan, Revin adalah saingan dan musuhnya. Ya, sejak insiden di mana Revin mengatakan jika Milda mirip monyet.   “Gue pergi kalau gitu.”   “Lo laper nggak?” Revin setengah berteriak untuk mencegah Milda benar-benar pergi.   Untungnya, gadis itu benar-benar berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya. “Apa?”   Revin tahu ini akan terdengar canggung. Mereka bahkan tidak pernah bisa bicara satu sama lain tanpa perdebatan dalam waktu lima menit, bagaimana bisa Revin memiliki ide gila untuk mengajak Milda makan bersamanya. Tetapi anehnya Revin sama sekali tidak menyesalinya apalagi saat ia melihat Milda, secara ajaib melangkah ke arahnya.   “Lo bawa kendaraan?” tanya Milda begitu mereka sudah saling berhadapan.   Revin mengangguk. “Bawa, gue bawa motor. Lo bisa naik motor, kan?” Revin sama sekali tidak bertanya untuk meledek Milda. Revin bertanya karena gadis itu menggunakan rok seragam yang cukup pendek.   Milda tiba-tiba saja mengangkat roknya membuat Revin secara refleks menutup matanya dengan kedua tangan.   “Milda, gila ya lo?!” Revin tidak bisa menutupi keterkejutannya akan perbuatan gadis di hadapannya saat itu. Tetapi beberapa detik kemudian justru terdengar tawa dan tawa itu jelas milik Milda. Perlahan Revin menurunkan tangannya dan menatap Milda yang sedang tertawa, atau lebih tepat menertawakannya.   “Panik, ya?” tanya Milda tanpa malu. “Gue pakai celana kali di balik rok gue, ngapain tutup mata.”   Revin mendengus. Sekalipun Milda menggunakan celana di balik roknya tetap saja tidak sewajarnya perempuan itu memperlihatkannya, kan? Dan juga kenapa telinga Revin rasanya panas?   Vin, lo bukan laki-laki m***m!   “Cepet ambil motor lo, gue laper.”   Sepertinya baru beberapa menit yang lalu Milda meneriaki Revin yang mengikutinya, kenapa tiba-tiba perempuan itu setuju untuk pergi dengannya? Sepertinya masalah yang tengah Milda hadapi terlalu besar sampai-sampai perempuan itu kehilangan kewarasannya.   “Gue nggak bawa helm, jadi cari makannya jangan jauh-jauh.”   Milda naik ke motor Revin, mengabaikan apa yang lelaki itu ucapkan. “Cari mekdi, gue pengen bigmac!”   Seharusnya Revin memang mengabaikan saja gadis itu ketika berpapasan di koridor. Seharusnya Revin tidak pernah mengikuti Milda ke perpustakaan. Dan seharusnya Revin berhenti mengekori Milda ketika perempuan itu membentaknya dan bukannya menanyakan apakah gadis itu lapar.   Karena tanpa Revin sadari, hari itu pun akan menjadi titik balik dari hubungannya dan Milda ke depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD