BAB 6 - Secret Admire

2124 Words
Malam itu setelah mengantar Theo dan Mirza balik ke kantor, Bram segera meluncurkan mobil Jaguar hitamnya menuju ke rumah bareng Jono—sopir pribadinya. Sepanjang perjalanan laki-laki itu berfikir keras. "Kenapa gadis itu selalu menghindari aku? Apa cengkraman tanganku semalam sangat menyakitkan buatnya? Atau apa ada ucapanku yang salah? Huuffttt ... kenapa perasaanku seperti ini?” batin Bram cemas sambil melamun, memperhatikan jalanan luar melalui kaca mobil belakang, sementara Jono, sang sopir tampak serius mengemudikan mobil sambil sesekali melirik ke kaca spion untuk melihat kondisi majikannya. “Selama ini aku menganggap semua perempuan itu sama, sama-sama tidak bermoral, sama-sama murahannya seperti Rheva, tapi kenapa perasaanku ke Clarinta beda?" Sepanjang perjalanan Bram masih saja memikirkan Clarinta, pesona gadis itu membuat ego laki-lakinya tergugah, sementara di luar malam sudah semakin pekat, lampu-lampu jalanan dan hiasan warna-warni di pinggir jalan sudah menyala begitu terang. Dari radio mobil terdengar lantunan suara Once yang menyanyikan lagu ‘Aku Mau’, Bram tertawa kecil mendengar lagu itu. "Tau banget ni radio sama perasaanku, pas lagi lagunya. Kau boleh acuhkan diriku dan anggap ku tak ada, tapi takkan merubah perasaanku, kepadamu … hhrrgg! Clarinta Ramaniya you make me mad!" Bram terus mengumam lagu Once tadi. Clarinta memang telah menyihir Bram menjadi tidak waras. *** "Kak Kay!" Suara Rosalind—adik kandung Clarinta—yang menggelegar di pagi hari langsung membangunkan tidur gadis itu yang masih ingin bermalas-malasan di kamar. Hari ini cuma ada satu mata kuliah yang dia ambil siang nanti, jadi tempat tidur adalah tempat yang paling nyaman untuk memanjakan tubuhnya sampai siang. "Masuk!" teriak Clarinta dari dalam kamar sambil menutup wajahnya dengan bantal dan berusaha tidur kembali. "Kak Kay, liat, nih!" Rosalind bergegas masuk ke kamar yang bernuansa merah muda sambil membawa sebuah rangkaian bunga segar beserta vasnya, sementara sang kakak tidak menggubrisnya sama sekali. Clarinta masih asyik menikmati rasa kantuknya sambil menutupi wajah dengan bantal. "Hmm ... indah sekali, harum banget! Bunganya bagus-bagus juga ya," sela Nadine—adik Clarinta yang lain—yang baru saja selesai mandi dan ikut nimbrung masuk ke dalam kamar kakaknya. "Kak Kay, bunganya mau ditaruh di mana?" Clarinta yang saat itu masih mengantuk tiba-tiba matanya terjaga. "Bunga? Siapa yang kirim bunga? Rasanya Alva nggak pernah kirim bunga," batin Clarinta sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Keinginannya untuk tidur, akhirnya terusik oleh kemunculan rangkaian bunga yang membuatnya penasaran. Dibukanya bantal yang menutupi wajah, dilihatnya kedua adiknya sedang mengagumi sebuah rangkaian bunga segar yang sedap dipandang mata, ada bunga lily, chrysan, anyelir, mawar dan lain sebagainya yang mampu menciptakan nuansa romantis bagi siapa saja yang melihat perpaduan warna yang ditimbulkan dalam kesatuan rangkaian bunga tersebut. "Dari siapa itu, Lind?" Clarinta jadi penasaran dengan si pengirim bunga yang usaha banget mengirim pagi-pagi begini. "Di sini nggak tertulis namanya, Kak. Hanya inisialnya saja JB dan pesannya ‘I'm sorry. Please forgive me’ … wow romantis banget! Siapa ini, Kak?" sahut Rosalind sambil membaca kartu ucapan yang tersemat di antara bunga. Clarinta mencoba mengingat-ingat nama temen-temennya yang berinisial JB seraya berkata dalam hati, "JB? Siapa itu JB? Perasaaan aku nggak punya teman yang punya inisial tersebut," batinnya gusar. Sesaat gadis itu teringat pada kartu nama pemberian Bramad semalam. Segera diambilnya kartu nama tersebut dari dalam tas dan dibaca nama yang tertera di sana. "Janitra Bramantyo! J-B!" rutuknya dalam hati dengan perasaan kesal. "Buang bunga itu!" bentak Clarinta tiba-tiba. Rosalind dan Nadine yang sedang memuji keindahan bunga itu pun terkejut dan jadi penasaran dengan sikap kakaknya yang aneh. "Apa dibuang? Kalau kakak nggak mau, biar buat aku saja!" "Iya aku juga mau!" Kedua adik Clarinta malah saling berebutan dan ingin memiliki rangkaian bunga segar tersebut. "Aku bilang buang! Ya buang! Nggak boleh buat siapa-siapa! Nggak juga kalian berdua! Buang nggak!" bentak Clarinta kesal. "Nggak! Nggak mau! Ayo keluar, Kak!" Rosalind dan Nadine bergegas lari keluar dari kamar sambil memegang vas rangkaian bunga segar itu erat-erat, mereka tahu kalau Clarinta sudah marah-marah begini, kakaknya itu tidak akan membiarkan mereka begitu saja. Clarinta segera mengejar mereka dan berusaha merebut rangkaian bunga segar itu. Tepat pada saat itu, Ratnaduhita—ibu kandung mereka—datang menghampiri dan melihat ketiga putrinya sedang saling berkejar-kejaran sambil mengelilingi meja makan, persis seperti dulu ketika mereka masih kecil. Ratnaduhita hanya bisa menghela napas seraya berkata, "Heii, heii heii! Ada apa ini? Pagi-pagi sudah pada ribut?" ujar Ratnaduhita cemas. "Ibu, Ibu! Tolong kami, Bu. Masa bunga secantik ini mau dibuang, kasihan ‘kan, Bu?" Rosalind meminta perlindungan dari sang ibu dengan gayanya yang manja sambil menunjukkan rangkaian bunga segar itu. "Bunga dari siapa ini?" "Dari JB, Bu!" sahut Rosalind dan Nadine kompak berbarengan sambil tertawa geli, Clarinta hanya bisa memutar kedua bola matanya dan mendengkus kesal, melihat sikap kedua adiknya. "Pengagum rahasia Kak Kay, Bu. Secret admire," bisik Rosalind lirih sambil berlindung di balik tubuh ibunya, lalu tertawa cekikikan bareng Nadine, kakaknya. "Rosalind!" bentak Clarinta kesal hingga matanya melotot seolah-olah mau copot keluar. "Kay! Kamu ini kenapa sih? Hanya karena sebuah bunga kamu membentak adikmu sendiri seperti itu?" "Ibu, bukan begitu, Bu. Ini bukan soal bunganya, tapi-- ...." "Tapi soal JB, Bu ...." Nadine menyela ucapan kakaknya sambil kembali tertawa cekikikan bareng Rosalind. Clarinta semakin kesal dengan sikap adik-adiknya. "Siapa itu JB?" tanya Ratnaduhita penasaran. "Dia bukan siapa-siapa, Bu. Nadine! Dan kamu juga Rosalind! Kalau kalian suka sama bunganya, ambil saja, aku nggak peduli!" sahut Clarinta kesal sambil ngeloyor pergi ke kamarnya lagi. Ratnaduhita hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan putri keduanya itu, sementara Rosalind dan Nadine saling menepukkan kedua tangan mereka sambil tertawa cekikikan lagi, sedangkan Clarinta sendiri begitu tiba di depan pintu kamar, gadis itu berpapasan dengan Hilman—kakak kandungnya. "JB itu bukannya Janitra Bramantyo?" Clarinta memicingkan mata tanda tidak suka sambil menatap ke arah sang kakak, "semalam dia ke sini nyariin kamu, trus dia kasihin kartu namanya, nih!" Hilman memberikan kartu nama itu padanya. "Ibu tau dia ke sini?" tanyanya cemas sambil menerima kartu nama itu. "Nggak, tenang aja. Ibu sudah tidur, nggak ada yang tahu. Tenang aja, Kay … rahasiamu tetap aman sama kakakmu yang ganteng ini." "Iiih rahasia? Siapa yang punya rahasia? Biasa aja tuu!" cicit Clarinta sambil memutar kedua bola matanya dan bergegas menutup pintu kamar dengan kesal. *** Pagi itu Bram sedang bersiap berangkat ke kantor, di rumahnya. Sambil berjalan menuju ke ruang makan di lantai bawah, Bram kembali bersenandung lagu Once ‘Kuyakin pasti suatu saat, semua kan terjadi, kau kan mencintaiku, dan tak akan pernah melepasku. Aku mau mendampingi dirimu, aku mau cintai kekuranganmu, selalu bersedia bahagiakanmu, apapun terjadi, kujanjikan aku ada ...." "Good morning, Dear." Suara lembut Sasikirana Bachtiar—ibu kandung Bram—langsung menghentikan senandungnya. "Bonjour madam! Selamat pagi, Ibu." Bram bergegas mencium punggung tangan ibunya sambil tersenyum manis, sebuah kebiasaan yang selalu dilakukannya sejak kecil. "Ibu kok rapi sekali? Mau kemana pagi-pagi begini?" "I have to go to hospital, Honey. Biasa, mau cek lab, kebetulan Nabilla, adikmu juga mau ngecek kandungannya," sahut perempuan bule itu yang rambutnya sudah berwarna abu-abu sambil mengambilkan nasi goreng kesukaan putranya. "Emangnya suaminya nggak bisa ngantar dia?" tanya Bram heran sambil menyesap orange jus buatan sang ibu terlebih dulu. "Kamu ‘kan tahu gimana Ghaffar. Sejak subuh tadi sudah berangkat ke bandara, ada penerbangan pagi katanya," sahut Sasikirana sambil meletakkan piring berisi nasi goreng di atas meja di depan Bram. "Selamat pagi!" Suara Nabilla—adik kandung Bram—terdengar begitu riang menyapa mereka sambil menghampiri meja makan. "Pagi, Sayang! C’mon let’s have breakfast first!" sahut Sasikirana sambil menghampiri putri bungsunya dan mengelus-elus perut Nabilla yang mulai kelihatan membuncit, "pagi juga putri kecilku, cucu Oma tersayang," sapanya lagi sambil mengusap-usap perut putrinya seolah-olah tahu kalau janin yang ada di perut sang anak ini bisa mendengar suaranya, sementara Bram hanya tertawa kecil melihat kelakuan ibunya yang lucu. "Emang Ibu yakin kalau dia perempuan?" tanya Nabilla sambil mengelus-elus perutnya sendiri. "Sepertinya sih begitu, abis kamu kelihatan tambah cantik sih. Kata orang ‘kan begitu kalau ibunya terlihat tambah cantik, anaknya pasti perempuan, tapi kalau ibunya malas berdandan dan semaunya sendiri, biasanya laki laki, tapi itu sih cuma mitos. Bisa iyaa bisa juga nggak! Ayo ... sekarang kamu harus sarapan dulu, kamu harus banyak makan, biar cucu Oma ini sehat. Nih, Ibu sudah buatin minuman sehat yang bervitamin buat kamu." Nabilla hanya tersenyum sambil mengambil gelas yang berisi minuman tersebut dan meminumnya hingga habis begitu duduk di kursi yang ada di sebelah Bram, sementara Sasikirana kembali duduk di kursinya. "Sudah berapa bulan sih kandunganmu ini, Bil?" "Bulan ini masuk bulan yang kelima, Kak!" "Apa nggak sebaiknya kamarmu mulai saat ini pindah ke bawah saja? Supaya kamu nggak capek naik turun tangga. Iya, ‘kan?" tanya Bram sambil menikmati nasi goreng buatan ibunya. "Iya betul itu, Billa! Betul yang dibilang kakakmu itu dan lagi kita ‘kan juga harus waspada kalau ada apa-apa sama kamu, apalagi kamu sering ditinggal suamimu terbang." "Iyaa deh, boleh lah aku turun, tapi kamarku yang di atas tetep lho, yaa! Aku ‘kan cuma sementara di bawah, nanti kalo sudah tujuh bulanan, aku ingin hias kamar di sebelahnya ya, Bu. Buat kamar bayi!" "Boleh, Sayang. Kamu bisa hias kamar itu sesuka hatimu, lalu ngomong-ngomong kapan ni kakak kita yang satu ini akan kasih cucu juga buat Ibu?" Sasikirana menoleh ke arah Bram yang sudah selesai menikmati sarapannya. "Ibu ini aneh, ibunya aja belum dapet, masa langsung dapat bayi? Tapi ya, sebenarnya bisa aja sih dapet bayi dengan cara adopsi, tapi aku belum kepikiran seperti itu." Bram jadi sedikit canggung begitu didesak dengan pertanyaan seperti itu oleh ibunya. "Bram, sampai kapan sih kamu akan seperti ini terus? Ini sudah tahun ke tiga lho kamu menduda. Ayahmu sendiri sampai di hari akhirnya juga sangat sedih memikirkan kamu,” ujar Sasikirana sedih, “lalu dari sekian banyak gadis yang Ibu jodohkan ke kamu tempo hari itu, apa nggak ada yang sedikitpun membuat kamu terpesona? Apa suka gitu?" "Ada, Bu. Namun, sayangnya bukan gadis yang Ibu jodohkan ke aku," batin Bram dalam hati. "Bram?" Sesaat Bram sedikit tersentak begitu mendengar panggilan ibunya. "Aku belum memikirkan soal itu, Bu ...." Bram menghela napasnya pelan, laki-laki ini paling tidak suka kalau ibunya sudah mulai menyinggung soal ini, karena persoalan ini hanya akan menguak sebuah luka lama yang ingin dia lupakan. "Sudah siang, aku harus segera brangkat. Aku pamit dulu ya, Bu." Bram segera berdiri dan beralih ke Sasikirana kemudian mencium punggung tangan ibunya lagi, perempuan paruh baya itu hanya terdiam dan merasa sedih melihat kondisi putra sulungnya yang seolah-olah tidak peduli dengan kondisi dirinya yang masih jomblo hingga saat ini. Jangankan berencana untuk membangun sebuah rumah tangga baru, mencari pasangan hidup saja, rasanya dia enggan untuk memulai. "Aku berangkat dulu, Bu." Sasikirana hanya tersenyum dan mengangguk sambil memandang putra sulungnya ini yang terlihat semakin mature. "Aku kok nggak dipamiti, Om?" rajuk Nabilla sambil menunjukkan perutnya yang membuncit. "Oke, Om pergi dulu yaa! Hati-hati di jalan nanti yaa, kalau ada apa-apa segera telpon aku! Okay? Bye …," sahut Bram sambil mengelus-elus perut adiknya, kemudian bergegas berlalu dari hadapan mereka. *** Bu Sasikirana dan Nabilla sedang menunggu hasil lab di ruang tunggu rumah sakit yang bernuansa putih dengan hiasan beberapa tanaman hijau yang ditaruh di dalam sebuah pot besar, diletakkan di sudut-sudut ruangan. Pagi itu rumah sakit tampak ramai, banyak pasien dan keluarganya yang keluar masuk rumah sakit, para perawat dan dokter pun tampak sibuk berlalu lalang, sementara Sasikirana hanya duduk terdiam sambil menatap layar persegi panjang yang tertempel di dinding rumah sakit yang menyiarkan sebuah program berita. Sesaat Sasikirana tampak serius menonton beberapa berita yang ditayangkan di layar televisi. Namun, lama kelamaan bosan juga, karena beritanya hanya itu-itu saja yang menyangkut kriminalitas. Sasikirana selalu bergidik ngeri kalau menonton berita-berita seperti itu, perempuan tua itu selalu berdoa dan berharap hal-hal seperti itu tidak terjadi dalam keluarganya. Dengan gayanya yang anggun, Sasikirana mengedarkan tatapannya ke area ruang tunggu. Beberapa orang tampak sabar menunggu sama seperti dirinya. Namun, tiba-tiba perempuan paruh baya itu sedikit tersentak ketika melihat sepasang suami istri dan anak laki-laki mereka yang baru saja datang ke ruang tunggu tersebut. Usianya yang sudah memasuki kepala senja tidak membuatnya lupa akan sepasang suami istri yang baru datang, seketika itu juga Sasikirana segera berdiri dan menghampiri mereka. "Ratna! Ratnaduhita!" Ratnaduhita yang saat itu sedang membimbing suaminya untuk duduk di kursi tunggu sedikit tercengang ketika dilihatnya ada seorang wanita bule—seorang perempuan asing dari luar negeri dengan rambut abu-abunya dan tubuhnya yang tinggi semampai—sedang berdiri di depannya saat ini, memanggil namanya dengan jelas. Ratnaduhita masih ingat siapa pemilik wajah arsitokrat asal Inggris yang berdiri di depannya kali ini, dia adalah Jeanette yang mengganti namanya setelah menjadi mualaf menjadi Sasikirana—istri Bachtiar sahabat suaminya, Maulana. "Sasikirana ...." Ratnaduhita bergegas menghampiri Sasikirana dengan tatapan haru, kedua bola matanya berkaca-kaca. Kedua perempuan tua itu lalu saling berpelukan satu sama lain, seolah-olah melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD