BAB 5 - Keras Kepala

1827 Words
Di dalam angkot, Clarinta hanya bisa terdiam dan sangat menyesali perbuatannya ke Alva barusan. Entah mengapa begitu melihat sosok Bram yang menghampirinya tadi di sanggar tari, tiba-tiba ada semacam kemarahan yang tertahan dan terasa sesak di d**a. Clarinta merasa jijik begitu melihat kehadiran laki-laki itu yang telah menganggapnya sebagai perempuan murahan, meskipun kemudian dia menyadari bahwa semua itu hanya salah paham belaka, tapi hati kecilnya tetap belum bisa menerima 100%. Saat itu rasanya ingin sekali gadis itu menumpahkan semua kemarahannya, agar semua orang tau kalau dia sedang kesal, marah dan semua ini karena Bramad! Laki-laki itu telah membuat darahnya mendidih, tapi tidak adil juga buat Alva yang tiba-tiba saja kena semprotan kekesalannya. Clarinta segera menghentikan angkot yang ditumpanginya dan keluar setelah memberikan beberapa lembar uang kertas ribuan ke sopir angko. Tanpa diduga hujan gerimis mulai turun, bau tanah basah yang masih segar menguar di udara, memberikan aroma yang khas yang menyejukkan hati. Seharian tadi hawa panas memang terasa begitu menyengat di tubuh, maka tak heran kalau hatinya pun semakin terbakar saat melihat laki-laki menyebalkan itu. Clarinta segera berlari kecil ke halte bis yang ada di depannya, untuk sekedar mencari tempat berteduh. "Huufftt! Sialnya diriku! Mana hari sudah hampir malam, hujan lagi!" gerutunya dalam hati. Clarinta teringat Mutya—sahabatnya—segera diambilnya benda pipih berbentuk persegi panjang warna hitam yang ada di dalam tas lalu dipilihnya nama Mutya. Setengah jam kemudian sahabat dekatnya itu sudah ada di depannya. Clarinta meminta gadis itu untuk mengantarnya ke bengkel motor, mengambil motornya yang sedang diservice di sana. Baru setengah perjalanan menuju ke bengkel motor, hujan turun semakin deras, mereka berdua memilih sebuah café terdekat untuk tempat mereka berteduh sementara, sambil menunggu hujan reda. Setelah memesan dua cup caffe latte plus sepotong macaroni schotel ukuran medium, Clarinta bergegas menghempaskan tubuhnya di kursi besar dan empuk yang dekat jendela. "Kamu tahu, Mut. Hari ini rasanya hari terburuk buat aku," ujarnya kesal sambil mengedarkan tatapannya ke sekeliling café. Malam ini café yang mengusung konsep industrial itu tampak sedikit lengang, hanya ada beberapa orang yang hangout atau sekedar berteduh di sana. Mungkin karena hujan turun terlalu deras, membuat banyak orang malas keluar rumah untuk sekedar nongkrong di sebuah café. "Sabar, Kay … sabar. Terus kamu udah nyoba hubungin Alva?" "Belum," sahutnya sambil menggeleng pelan, "tapi dia miskol terus dari tadi ...." "Trus nggak kamu angkat?" Clarinta kembali menggeleng. "Aku lagi nggak pengin ngomong sama dia, Mut ...." "Tapi masalahnya, Kay. Bentar lagi cowokmu itu bakal going abroad, kamu sendiri belum kasih jawaban ‘kan untuk lamarannya?" tanya Mutya sambil melirik ke pelayan yang menghampiri dan membawa pesanan untuk mereka berdua "Terima kasih," ucap mereka berbarengan. "Kamu ‘kan paling jago bikin macaroni schotel, kenapa harus beli sih?" tanya Mutya lagi setelah pelayan itu berlalu meninggalkan mereka. "Aku laper, aku stress! Jadi bawaannya pengin makan muluu, ayoo makan!" "Trus apa jawabanmu ke Alva nanti?" Mutya kembali bertanya sambil menikmati potongan macaroni schotel yang diberikan Clarinta. "Itulah, Mut. Aku bingung, jujur aku belum siap untuk menjadi seorang istri. Aku masih ingin bebas. Yaa … seperti saat ini, aku bisa ngelakuin apa aja yang aku mau, tapi kayaknya dia berharap banyak dari aku. Lalu aku harus gimana, Mut? Apalagi tadi aku ngebentak dia, bodoh banget aku!" "Nih! Telpon dia!” sahut Mutya sambil menyodorkan ponsel hitam yang berada di atas meja ke arah Clarinta, “minta maaf sama dia se-ka-rang! Nggak pake nanti-nanti, buruan!" perintah Mutya tegas. Melihat kesungguhan sahabat dekatnya, Clarinta bergegas memilih nama Alva di ponsel itu dan seketika itu juga suara lembut pujaan hatinya mulai terdengar di ujung sana. Tubuhnya terasa begitu sejuk dan nyaman, seperti baru diguyur air dingin yang menyegarkan begitu mendengar suara bariton Alva yang selalu membuatnya merasa tenang dan nyaman. "Sayang, kamu di mana? Kamu nggak papa, ‘kan?" Clarinta pun berdiri dari kursi dan menjauh dari Mutya. Gadis itu tidak mau jadi bual-bualan sahabatnya yang suka nguping pembicaraannya dengan Alva. Mutya hanya tersenyum sambil menatap Clarinta yang lagi asyik ngobrol sama Alva melalui ponsel. Gadis itu lalu mengedarkan tatapannya ke area café yang masih lengang sambil menikmati lantunan lagu dari penyanyi café yang menghibur mereka malam itu dengan gitar tuanya. Mutya jadi teringat ketika dulu Clarinta pernah ingin melamar jadi penyanyi di café ini gara-gara melihat penampilan penyanyi tersebut. *** "Aku pengin kayak dia, Mut!" "Maksudmu nyanyi di cafe ini dengan gitar bututmu itu?" Clarinta mengangguk mantap sambil menyeringai lebar seraya berkata, "Iyaa, keren, ‘kan? Aku bisa nyanyi sambil main gitar. Tinggal latihan dikit, aku bisa tampil, aku yakin aku bakal diterima!" "Optimis banget!” ejek Mutya, “iya siiih! Yakin sih yakin, tapi apa kabar dengan pekerjaanmu yang segambreng? Seminggu tiga kali bahkan lebih kamu kudu latihan koreo, belum lagi kuliahmu, Inkaimu, lalu mau nyanyi di café? Hellooo? Sibuk banget temenku yang satu ini! Kapan kamu mau seneng-seneng? Kapan pacarannya, Neng? Lagian apa Alva nggak protes?" *** Sesaat Mutya tertawa kecil ketika teringat kejadian itu. Harus diakui kalau sahabat dekat yang dikenalnya sejak SMP ini memang tidak pernah bisa diam, ada saja yang dikerjakannya, apalagi setelah ayahnya mengajukan pensiun dini dari pekerjaannya di perusahaan BUMN gara-gara penyakit stroke yang diderita ketika Clarinta masih duduk di bangku SMA. Gadis itu lalu memutuskan untuk mencari penghasilan sendiri, paling tidak bisa meringankan beban ibunya yang PNS. Mutya yang masih terhanyut dengan lantunan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi café tersebut sambil menikmati makanan dan minuman yang dipesan, tiba-tiba tersentak kaget ketika bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang. Mutya pun menoleh ke belakang, dilihatnya Sonya sedang berdiri di belakangnya bersama Bram, Mirza dan Theo. Mutya jadi gelisah dan salah tingkah. "Emang kalau udah jodoh nggak akan kemindang yaaa wecee!" "Maksudmu?" Mutya pura-pura nggak tahu dengan matanya yang mencoba mencari-cari sosok Clarinta yang pergi entah kemana. "Si Kay, Clarinta, temen ye kemana wecee? Gilingan deh wecee, aqiqa udah cacamarica kemane-mane, kagak nemu-nemu, eeeh taunya ke sindang!" repet Sonya dengan bahasa alay-nya. "Emang aku sama Clarinta?" Mutya berusaha menutupi kebersamaannya bareng Clarinta di depan Sonya dan teman-teman baru si pinky boy ini. "Ciyuuss miapaah? Udah ye nggak usah boong, udah ketauan wecee, noh tasnya!" Sonya menunjuk tas Clarinta yang tergeletak di kursi di depan Mutya, sementara Bram dan dua temannya duduk di kursi di belakang mereka, "geser dikit cyiiin! Aqiqa lapangan bola niii! La-par be-rat, ye mekong aposee? Wuuu ... macaroni schotel! Mauuu! Buat aqiqa aja yaa wecee!" Tanpa bertanya Sonya segera memakan macaroni schotel yang masih tersisa di atas meja, sementara Mutya mulai sedikit was-was begitu menyadari kalau waktunya sudah terlalu lama untuk Clarinta ngobrol sama Alva. "Mau pesen apa?" Tiba-tiba salah seorang pelayan café datang dan menawarkan menu makanan ti Sonya. "Oooh aqiqa? Aqiqa pesen yg kayak gini aja deeh wece, endang markondang-kondang, minumnya juga sama, ya wece! Cuuus!" "Baik, jadi satu macaroni schotel dan satu caffe latte," ujar pelayan itu kemudian berlalu dari sana, tepat pada saat itu ponsel Mutya yang ada di atas meja tiba-tiba berdering dan tertera nama Clarinta di layar depan, tapi dia ragu untuk mengangkatnya. Gadis itu lalu me-reject seketika itu juga. "Haduh, Clarinta! Gimana caranya aku keluar dari Nenek Lampir yang satu ini?" batin Mutya cemas. Tak lama kemudian Bram beralih dan duduk di depan Mutya sambil mengambil tas Clarinta yang tertinggal di kursi dan diletakkan di atas meja. "Selamat malam, kenalkan namaku Bram. Kita pernah ketemu bukan? Tapi kita belum kenalan, ‘kan?" ujar Bram sambil mengulurkan tangannya ke arah Mutya. Gadis itu menyambutnya ragu-ragu, lalu mereka berjabatan tangan, ada sebuah kehangatan yang dirasakan Mutya ketika kulit mereka bersentuhan satu sama lain. Jabatan tangan yang begitu hangat dan tegas. "Aku bisa ngerti kalau temanmu itu nggak mungkin akan kembali ke kursi ini dan lagi pertemuan kita hanya sebuah kebetulan ‘kan malam ini? Oleh karena itu kalau kamu mau pergi, pergilah. Kami nggak akan menahanmu di sini. Silahkan, ini tasnya." Bram menyodorkan tas Clarinta ke arahnya. Diperlakukan seperti itu oleh pria seperti Bram, Mutya jadi speechless, dirinya jadi bingung dan nggak tau mau ngomong apa. "Oh iya, ini kartu namaku, siapa tau dia memerlukan, tapi jujur aku ingin minta maaf secara pribadi dengan temanmu itu atas insiden semalam," ujar Bram sambil menyodorkan kartu namanya ke Mutya. "Emang temenmu itu makannya aposee wece? Tinta deeh! Mister Bram ini ‘kan dah secara baek-baek minta maaf ke ye punya temen, tapi sadis daah si Clarinta! Nggak ber-perikelekongan! Jiaaah, kata-kata aqiqa mengharu biru ye wecee," repet Sonya kesal. Mutya cuma bisa senyum-senyum melihat ulah Sonya, sedangkan Bram hanya tertawa kecil mendengar ucapan Sonya yang kadang banyak yang tidak dia mengerti. "Maaf, sudah malam, aku pulang dulu." Mutya berdiri dari kursinya, Bram pun ikut berdiri, sementara Sonya langsung menggeser tubuhnya keluar dan memberikan ruang untuk Mutya agar bisa keluar. "Jangan lupa wecee! Tolong bilang ke Kay! Tadi kami sempet mampir ke rumsye doi. Daah capcus cyiiiinnn!" Mutya cuma bisa mengangguk pelan dan segera berlalu dari hadapan mereka, kemudian bergegas menuju ke meja kasir untuk membayar makanan yang dipesan. Namun, ternyata semua makanan yang dipesannya telah dibayar oleh Bram, Mutya jadi semakin tidak enak hati sama laki-laki itu. Gadis itu lalu mengangguk canggung sambil tersenyum datar saat Bram menatap ke arahnya. Tanpa menunggu lama, bergegas gadis itu keluar menuju ke lapangan parkir motor. Rupanya hujan telah reda dan Clarinta pun sudah menunggunya dengan cemas di sana. "Mut, sorry banget! Aku tadi lihat Sonya and the gank ...." "Iya aku tau dan dia ngabisin semua makanan kita!" sungut Mutya kesal, "nih si Bramad ngasih kartu nama buat kamu dan dia pesen, katanya mau minta maaf sama kamu secara pribadi." "Nggak mau! Enak aja! Aku kalo liat dia bawaannya jijik! Hiii ...." Mutya terkekeh begitu melihat ekspresi Clarinta yang kesal sama Bram. "Kenapa kamu ketawa?" “Nggak papa, aku cuma geli aja lihat ekspresi wajahmu itu, tapi jujur ya aku bilang ternyata cowok itu lembut juga lhoo,” ujar Mutya lagi sambil mengeluarkan motornya dari barisan parkiran motor yang ada di sana. “Eeeuhh, lembut? Lembut darimana? Dia itu pria terkasar yang pernah aku temui!” Clarinta tidak terima sahabatnya malah berbalik membela laki-laki yang telah menginjak-injak harga dirinya. “Iyaa deh, iya! Dia memang kasar, aku setuju, tapi semua orang itu punya kesempatan kedua, ‘kan?” “Mutya! Kamu tahu, ‘kan? Aku paling nggak suka kamu balik ngebela laki-laki itu, sekarang lebih baik nggak usah ngebahas dia, oke?” Kalau sudah begini, Mutya tidak bisa berkutik lagi, Clarinta memang keras kepala. "Sekarang jadi ambil motormu nggak?" "Jadi dong! Yuk!" Clarinta bergegas duduk di belakang Mutya, di atas motornya. "Kalau boleh aku kasih saran, nih! Lebih baik motormu itu dijual aja daripada bolak-balik masuk bengkel, service aja terus sampai tua!" "Eeiit nggak bisa! Itu motor nilai history-nya banyak, Mut! Semakin tua semakin bersejarah, macem nggak kuliah di fakultas Sejarah aja kamu!" "Yaa cuma sekedar kasih saran sih, boleh, ‘kan? Oh iya, tadi Sonya bilang katanya mereka sempet mampir ke rumahmu," ujar Mutya sambil mulai menyalakan mesin motornya dan meninggalkan tempat tersebut, sementara Clarinta terperangah sesaat begitu mendengar ucapan Mutya. "Apa? Bramad mampir ke rumahku tadi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD