BAB 11- Berdamai Dengan Diri Sendiri

1845 Words
Ketika Clarinta tiba di rumah sakit bareng Mutya, kedua adiknya sedang menangis sambil saling berpelukan di sebuah bangku panjang, sementara sang ibu terpaku menatap ke arah sebuah ruangan yang bertuliskan ICU melalui jendela kaca yang besar dan terbuka lebar bersama Hilman—kakaknya. Gadis itu bergegas menghampiri mereka dan dari jendela kaca tersebut dia bisa melihat dengan jelas bagaimana para dokter dan paramedis yang sedang mengeksekusi ayahnya. Saat itu salah satu dokter sedang melakukan tindakan resusitasi sambil melihat ke monitor EKG yang menunjukan garis datar, pertanda jantung pasien telah berhenti berdetak. "Siapkan defibrillator!" perintah dokter dan perawat segera membawa defibrillator atau alat kejut jantung, salah seorang perawat segera mengoleskan gel bening ke d**a Pak Maulana yang terbuka lebar, lalu dokter memberi aba-aba. "200 joule, all clear?" "Clear!" Para perawat menjawab serentak dan kompak sebagai pertanda tidak ada seorang pun yang menempel ke pasien maupun ranjang pasien dan segera selepas itu kedua bilah alat kejut jantung yang berbentuk seperti sepasang setrika ditempelkan oleh dokter ke d**a Pak Maulana. Tubuh laki-laki tua itu tampak kejang sejenak hingga melambung ke atas lalu lunglai kembali. Monitor EKG masih menunjukan garis datar, dokter melanjutkan tindakan resusitasinya sekali lagi. "360 joule, all clear?" "Clear!" Para perawat kembali, lalu tubuh Pak Maulana kembali kejang bahkan hingga melambung agak tinggi ke udara. Namun, monitor EKG masih saja memunculkan garis datar, harapan Pak Maulana selamat dari sakaratul mautnya telah sirna dan Ratnaduhita sepertinya sudah bisa membaca apa yang akan dikatakan oleh dokter. Tak terasa pipi Clarinta mulai basah, apalagi ketika dokter keluar dari ruangan tersebut dan mengabarkan tentang kondisi ayahnya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Bu. Tapi Allah berkehendak lain, tabah ya, Bu. Dalam beberapa jam ke depan Ibu bisa membawa Bapak pulang, kami akan siapkan semuanya." Bu Ratnaduhita hanya mengangguk pelan dengan matanya yang sembab sambil menutupi mulutnya. Clarinta sangat tau kalau ibunya sedang menahan tangis dan sesak di d**a. Kepergian sang ayah membuat luka bagi mereka semua, terlebih ibu yang telah menemani dan setia sampai saat ini. Tak berapa lama kemudian, gadis itu menghampiri sang ibu dan memeluknya erat sambil menumpahkan semua kegundahan yang ada. Bu Ratnaduhita dan Clarinta saling menangis satu sama lain sambil saling berpelukkan, bukan hanya kepergian sang ayah yang dia tangisi, tapi peristiwa yang bertubi-tubi yang menimpa dirinya membuat gadis itu merasa semakin nelangsa. Kenapa hidup ini rasanya tidak adil baginya? Kenapa kebahagiaan serasa ingin menjauh darinya, adakah kesalahan terbesar yang telah dilakukannya selama ini, sehingga Tuhan pun marah dan menghukumnya sedemikian rupa? Clarinta benar-benar merasa hidupnya hampa, baru saat ini dia merasa sangatlah tidak berarti dan ini semua karena Bramad! Laki-laki menyebalkan itulah yang menyebabkan semua ini. *** "Kay, apa kamu tetap akan menikah sama Bram?" tanya Mutya sedih saat bertandang ke rumah Clarinta, seminggu setelah kepergian Pak Maulana. "Nggak! Aku nggak sudi nikah sama dia, Mut! Lihat dia aja aku jijik! Apalagi harus menjadi istrinya dan hidup bersamanya! Hiii, nggak deh! Mending jadi perawan tua, daripada nikah sama dia! Aku nggak bisa ngebayangin hal itu!" sahutnya ketus sambil bergidik ngeri. "Lagian kemarin itu 'kan baru tahap perkenalan, bukan perjodohan!" "Tapi apa nggak kepikirkan sama kamu, Kay?" "Soal apa?" sela Clarinta cepat. "Kamu nggak khawatir kalau nanti akhirnya kamu hamil? Kamu masih inget 'kan insiden di hotel sama Bram?" ujar Mutya lirih sambil melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan percakapan mereka tidak di dengar oleh anggota keluarga sahabatnya, karena saat ini mereka sedang ngobrol di ruang tamu, "kalau itu terjadi, lalu kamu harus nuntut sama siapa?" "Hamil?" balas Clarinta tak kalah lirih, "nggak aaah! Aku yakin aku nggak akan hamil, Mut!" lanjutnya tegas, "karena aku ngerasa kalau aku nggak melakukan apapun sama laki-laki bebal itu!" "Tapi kamu 'kan nggak sadar waktu itu, Kay." Clarinta jadi bimbang. "Aku hanya nggak ingin kamu menyesal dikemudian hari. Apa yang akan kamu bilang ke ibumu kalau perutmu mulai membuncit nanti? Apa kamu ingin memberikan penderitaan lagi untuk ibumu? Pikirkan itu, Kay. Karena kamu nggak mungkin menyembunyikan kehamilan ini. Pikirin ... sebelum semuanya terlambat." Ucapan Mutya yang terakhir sangat mengganggu tidur malamnya. Malam itu, Clarinta tidak bisa tidur, hatinya gelisah. Apa iya, nanti dirinya akan hamil? Walaupun hanya satu kali melakukannya. Clarinta jadi teringat akan berita yang dibacanya di koran-koran dan di televisi yang mengabarkan bahwa seorang gadis korban p*******n akhirnya dikabarkan hamil setelah diperkosa. "Jadi benar yang dikatakan oleh Mutya, bisa jadi mungkin nanti aku bisa saja hamil, tapi apa Bram mau mengakui anak yang aku kandung nanti? Atau malah mungkin dia akan semakin menghinaku dan semakin menginjak-injak harga diriku ?" batinnya sedih. Malam itu adalah malam terberat bagi Clarinta dalam menentukan sebuah keputusan. Di satu sisi dirinya menolak kehadiran Bram, tapi di sisi lain hatinya bimbang, bagaimana bila terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Mutya, sahabatnya? Kalau tiba-tiba saja dia hamil? Kalaupun dia memilih tetap tidak menikah dengan Bram dan membesarkan anak itu seorang diri, bagaimana sikap ibunya nanti? Ibu pasti akan sangat sedih dan kecewa dengannya. Apalagi beberapa hari ini setelah kepergian sang ayah dari kehidupan mereka, ibu sering terlihat murung dan melamun. "Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menerima lamaran Bramad atau membiarkan semuanya terjadi begitu saja?" Clarinta berada pada sebuah dilema yang membuat hatinya gelisah. Menceritakan semua ini ke Alva, rasanya juga tidak mungkin. Alva pasti akan minta putus dengannya. Gadis itu benar-benar bingung dalam menentukan sikap yang harus diambilnya segera. Di satu sisi ada Bramad, laki-laki yang sangat dibencinya, sedangkan di sisi lain ada ibunya yang masih terpukul akan kematian ayahnya. Ibu masih saja menangis, meratapi kepergian sang ayah. Seperti pagi itu ketika Clarinta mencoba bicara dengan ibu. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan pakaian ayah di kamar, ditatanya satu per satu pakaian yang sudah tidak terpakai lagi ke dalam sebuah dus sambil sesekali menyeka airmata yang membasahi pipinya yang tirus. Dari arah belakang Clarinta memeluk perempuan tua itu sambil duduk di tepi tempat tidur di belakang sang ibu. "Maafkan aku, Ibu ...." ujar Clarinta sedih. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kay. Semua ini demi kebaikan Ayah, Ibu sudah bisa menerimanya. Ibu ikhlas," sahut Ratnaduhita sambil memegang pipi putrinya lembut. Suara sang ibu memang selalu bisa membuat Clarinta merasa nyaman. Gadis itu jadi semakin merasa sangat bersalah. "Ibu, ada yang ingin aku bicarakan." Bergegas Clarinta beringsut ke depan sang ibu dan menatap wajahnya yang sayu dengan perasaan haru. Ratnaduhita hanya tersenyum dan menanti kata-kata selanjutnya dari putri keduanya ini. "Ibu, aku ... aku ... aku mau, aku mau menikah sama Bram anak Bu Sasikirana." Sesaat Ratnaduhita tersentak dengan ucapan putrinya. Sebelah alisnya melengkung ke atas, dicarinya kesungguhan di kedua manik mata Clarinta yang bulat. "Ibu nggak akan memaksamu untuk menikah dengannya, Kay. Ibu tahu, Ibu sadar karena ini adalah hidupmu. Jadi kamu berhak menentukan siapa yang akan menjadi pendampingmu kelak. Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap hidupmu, siapa yang akan menjadi suamimu. Itu semua terserah kamu, jangan karena--..." "Nggak, nggak, Bu!" sela Clarinta cepat, "aku sungguh-sungguh, aku serius. Paling nggak dengan cara ini aku bisa membuat Ayah bahagia di sana. Aku bisa memenuhi janji Ayah ke sahabatnya. Bukankah sebuah janji adalah hutang?" lanjutnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu sungguh-sungguh, Kay? Kamu nggak bohong sama Ibu, 'kan?" Clarinta menggeleng pelan sambil terus menatap wajah perempuan tua itu dengan ekspresi wajahnya yang pilu. Harapannya cuma satu yaitu membalaskan dendamnya pada Bramad! *** Sore itu, setelah selesai latihan koreo, Clarinta bergegas menuju ke sebuah resto yang ada di ujung jalan, dekat dengan sanggar tari. Setibanya di sana dilihatnya Mutya sudah menunggu bersama seorang pria paruh baya. Mutya segera melambaikan tangan ke arahnya, begitu melihat kehadiran gadis itu. Clarinta pun bergegas menghampiri sahabatnya yang selalu membantu di setiap kesempatan. "Kay, masih ingat 'kan pamanku, Om Malik?" ujar Mutya sambil memperkenalkan pamannya yang seorang advokat ternama di kota mereka. "Bagaimana aku bisa lupa, Mut! Selamat sore Om Malik, apa kabar?" sahutnya sambil mengulurkan tangan untuk memberi salam. "Selamat sore, Kay! Semakin cantik saja kamu ini," sapa oom Malik sambil menjabat tangannya erat. "Terimakasih, saya sering sekali mengikuti kasus kasus yang anda tangani, khususnya kasus selebriti," "Hahahaha ... bisa saja kamu ini, Kay. Memang kasus para seleb itu selalu menjadi konsumsi public dan merupakan makanan renyah bagi para kuli tinta. Nah, sekarang kembali ke kasusmu, apa kamu sangat merasa perlu untuk melakukan hal ini ?" "Sangat dan harus, Om !" jelas Clarinta mantap "Apa kamu sudah memikirkan untung ruginya dengan mengadakan perjanjian pra-nikah ini ?" tanya Om Malik heran. "Om, Kay merasa perlu melakukan hal ini karena pernikahan yang akan dijalaninya nanti adalah hasil dari perjodohan orangtuanya, jadi dia merasa perlu untuk menjaga asset dan beberapa kepentingan pribadi yang nggak bisa diganggu gugat walaupun mereka sudah menikah nanti," Mutya ikut menimpali pembicaraan mereka. "Oooh I see. Baiklah kalau begitu, apa saja yang bisa aku bantu?" Clarinta lalu memberitahu Om Malik, apa-apa saja yang harus tertulis dalam surat perjanjian pra-nikahnya dengan Bram. Tepat pada saat itu laki-laki menyebalkan itu sudah masuk ke resto di mana Clarinta dan Mutya berada. Gadis itu memang sengaja mengundang Bram ke sana untuk membahas surat perjanjian pra-nikahnya tersebut. "Selamat sore, apa aku datang terlambat?" tanya Bram sambil membuka kacamata hitamnya dan menatap ke tiga orang yang ada di depannya satu per satu. "Selamat sore, silahkan duduk! Kenalkan ini Om Malik, pengacaraku," Clarinta memperkenalkan Om Malik ke Bram, laki-laki itu menyambut uluran tangan pria tua yang sedikit perlente dengan rambut putihnya dengan mantap lalu duduk di kursi yang kosong yang ada di sebelah Om Malik dan Mutya. "Sebelum kita bicara lebih jauh, aku ingin bicara berdua denganmu, Bram!" Clarinta berusaha untuk berkompromi dengan dirinya sendiri, karena jauh di dasar lubuk hatinya yang paling dalam, gadis itu sebenarnya merasa jijik dengan laki-laki menyebalkan yang telah merenggut semua masa depannya ini, tapi dia harus menerima semua dengan lapang d**a demi almarhum ayahnya dan ibunya. Sesaat kemudian mereka berdua beralih pindah ke kursi yang lain yang berada di ujung resto tersebut. "Kamu sudah tahu untuk apa aku mengundangmu ke sini?" "Kamu bertanya atau marah padaku?" goda Bram ketika melihat raut muka gadis itu yang berubah tidak ramah lagi seperti tadi, apalagi suaranya juga terdengar ketus di telinga. "Aku serius, Tuan Bram!" "Oke oke, baiklah! Tapi sebelumnya aku ingin mengucapkan bela sungkawaku terlebih dulu, aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu. Maaf, aku nggak bisa datang waktu itu, karena aku ada urusan kerjaan di luar kota, jadi hanya ibuku saja yang ke rumahmu," sahut Bram dengan nada lirih. "Terima kasih! Karangan bungamu yang segede gajah itu juga sudah mewakilinya kemarin," ucap Clarinta sambil menatap ke arah lain. "Tapi kalau bisa langsung bertemu denganmu seperti ini, rasanya lebih berarti. Aku benar-benar turut berduka cita." "Nggak usah banyak basa basi! Sekarang kita fokus pada apa yang ingin aku sampaikan ke kamu!" sela Clarinta yang masih mengalihkan tatapannya ke beberapa pengunjung yang memenuhi resto tersebut, sore-sore seperti ini, resto favouritenya ini memang selalu ramai. "Hei! Kalau kamu ingin bicara sama aku, tatap mataku!" Entah mengapa Clarinta selalu merasa aneh bila melihat kedua bola mata laki-laki menyebalkan ini, tapi dikuatkannya untuk menatap kedua mata Bram yang sedikit liar dan tajam menurutnya. "Nah, gitu lebih baik, apa yang mau kamu bilang?" "Jawab dulu pertanyaanku, apakah kamu tahu untuk apa kamu, aku undang ke sini ?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD