Kemudian datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu.
Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk
tidur di tempat tidurnya di malam tersebut. Datanglah
pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari
rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung rumah.
Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam
tanah lalu beliau melemparkannya ke arah kaum
sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw
dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari
Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang diberkati ini, kaum Muslim
menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam
adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi
menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini
disebut dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun
Islam, maka ia ditanggali pertama kalinya saat
Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT.
Hijrah Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari
dari kebekuan; hijrah tersebut bukan keluar dari
keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di Mekah
hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia
keluar ke Madinah ia mempertahankan dirinya ketika
menyerang. Dan selama beberapa tahun masa yang
dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim
yang mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke
Madinah, mereka mulai membawa senjata dan mulai
menyalakan obor peperangan. Islam mulai membawa
senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat
152
jika diobati. Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak
akan menghabiskan usianya hanya untuk melawan
serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin
mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara
yang belum pernah dikenal di muka bumi negara seperti
itu. Negara yang mencapai keadilan, kasih sayang, dan
idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum Allah
SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar
dijaga.
Inilah kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu
pendirian negara Islam setelah sebelumnya membangun
individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw
membangun masyarakat Muslim dan membangun
masjid, maka beliau membangun suatu negara Islam.
Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya
pembangunan masjid ditingkatkan sementara Islam
masih mengalami penindasan di muka bumi. Kami kira
pembaca lebih pintar daripada orang yang tidak
mengetahui bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw
di Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan,
tetapi masjid merupakan pusat dari kepemimpinan
pergerakan Islam dan kepemimpinan menuju peperangan
Islam.
Manusia mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT
setelah itu mereka mandi di kancah peperangan dengan
darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah di antara
153
mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum
saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam perbaikan
terjadi di antara mereka. Dengan cara demikianlah Islam
tersebar.
Sementara itu, Nabi berlindung di suatu gua; di gunung
yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu bersama
sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi
menyusul beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu
mereka sampai ke gunung itu. Abu Bakar berkata kepada
Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah
seorang mereka melihat di bawah kakinya niscaya
mereka akan melihat kita."
Dengan tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan
Abu Bakar dan berkata: "Wahai Abu Bakar apa yang
kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat yang
sepi sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara
mereka?" Sebelum Rasulullah saw mengakhiri
kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai dari menenun
rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah
mengatakan bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang
Nabi sehingga mereka sampai di gunung Tsur lalu di
situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka
mendaki gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka
melihat di atas pintu gua itu terdapat tenunan laba-laba.
Mereka mengatakan, seandainya seseorang masuk di
dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba
di atas pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga
malam.
154
Demikianlah keimanan tenunan laba-laba yang lembut
dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik
sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini,
kedua orang itu menuju Madinah. Dan Madinah pun
menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan
sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula masyarakat
tidak mengenal siapa di antara mereka yang menjadi
Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap
sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah.
Beliau membangun masjid dan mendirikan negaranya
serta memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam
dan Mekah pun ditaklukkan dan Baitul Haram disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya
yang tidak akan pemah padam. Kemudian
berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di
Madinah di mana beliau tidak menggunakannya untuk
berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas
tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun tidak
mendapatkan istirahat yang cukup. Semua kehidupan
beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam.
Beban berat yang dipikul oleh punggung beliau yang
mulia lebih berat dari beban yang dipikul oleh gunung.
Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu
memikul amanat yang pernah Allah SWT tawarkan
kepada langit dan bumi serta gunung namun mereka pun
enggan untuk memikulnya, karena mereka menyadari
bahwa mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu
datanglah beliau dan beliau pun mampu memikul amanat
155
itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat
untuk menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk
menyucikan akal manusia dari polusi khayalisme dan
khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan
hanya sujud kepada Allah SWT.
Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu
arus dari gambar-gambar hidup: bagaimana saat beliau
memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa
memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun
kepadanya dengan membawa risalah di gua Hira,
kemudian berubahlah pandangan dan bertiuplah angin
kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa pasir-
pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci
beliau. Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya
dipenuhi dengan kesedihan di hadapan gelombang gurun
dan kesendirian serta badai kesengsaraan. "Wahai
manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah
kalimat yang beliau katakan. Meskipun kalimat itu
tampak sederhana namun ia mampu membangkitkan
dunia. Dan bergeraklah patung-patung yang begitu
banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka
membekali dirinya dengan kegelapan dan kebencian
yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar,
para penguasa, uang, emas, serta kebencian dan
kedengkian setan yang klasik dan banyaknya orang-
orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang
Nabi pada saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain
Allah SWT." Nabi mengingat kembali Waraqah bin
Nofel ketika menceritakan kepadanya apa yang terjadi
dan apa yang dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia
mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat panjang dan berat. Matahari
sangat dekat dengan kepala dan rasa panas sangat
mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun
semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki
Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan
sambutan luar biasa. Beliau datang sendirian lalu mereka
menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut lalu
mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan
lapar lalu mereka memberinya makanan; beliau datang
dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan
perlindungan.
Bangunan Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau
mulai membangun negaranya setelah beliau membangun
sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang pertama
kali dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu
beliau baru membangun negara. Tidak ada nilai yang
berarti dari satu sistem yang hanya berdasarkan prinsip-
prinsip besar yang tidak lebih dari sekadar tinta di atas
kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur final
dari nilai apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam
telah berhasil menerapkan pada masa-masa pertamanya
suatu sistem yang belum pernah dikenal dalam
kehidupan manusia suatu sistem seperti itu. Yaitu sitem
yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan kasih
157
sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama kali
dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid di
mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti.
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari pasir-
pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang
kurma. Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya
akan menjadi lumpur karena mendapat siraman air
hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang,
maka ia akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw
mendidik generasi Islam yang tangguh yang dapat
menghancurkan orang-orang yang lalim dan para
penguasa yang b***t dan mereka mampu mengembalikan
kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas.
Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi.
Mesjid itu tampak kecil dan sederhana sekali tetapi ia
dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak
menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-
Qur'an dibaca lalu orang-orang yang mendengarnya
menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan
perintah harian untuk menerapkan dan melaksanakan
apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di masjid bukan seperti nyanyian yang
orang-orang duduk akan merasa terpengaruh dengan
keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di
dalam Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah.
Menurut kaum Muslim semua burni adalah masjid
namun masjid adalah simbol peradaban yang beriman
158
kepada Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia
menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara tentang persaudaraan dan
mengajak kepadanya dengan ribuan kata-kata.
Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan
persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika karakter
masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur’an. Nabi
mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar di
mana sahabat Anshar Sa’ad bin Rabi’, seorang kaya dari
Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin
’Auf, seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata
kepada Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa
bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang
banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku
menjadi dua bagian dan sebagiannya aku peruntukkan
bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita, maka
lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu
sehingga aku menceraikannya lalu engkau dapat
menikahinya." Abdul Rahman bin ’Auf menjawab:
"Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu,
keluargamu, dan hartamu. Di manakah pasar yang
engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin ’Auf keluar menuju ke pasar untuk
berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang dapat
dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa’ad
dan kedennawanannya. Ia bersandar pada keimanan
kepada Allah SWT dan lebih memilih untuk bekerja dan
membanting tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali
ia tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali
dirinya dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk dan
menampakkan identitasnya berdasarkan cinta,
kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut
Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti
atau potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban
kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam Islam melebihi
ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang lebih
tinggi:
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang muhmin akan melihat
pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat
oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu mendapat
cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui
nikmatnya memakan roti dan daging. Setelah bekerja,
datanglah cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya
perasaan yang menetap dalam hati dan tidak diwujudkan
oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam merupakan
langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan
di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam
semesta dan mencintai Rasulullah saw dan mencintai
kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai dengan
orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka
berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai
160
makhluk secara keseluruhan: ia mencintai anak-anak,
hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan benda-benda
mati pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang
Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim akan
merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud terhadap
alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan
sufi yang tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta
yang sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa terhadap
lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya di mana
ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka
Nabi Isa tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam kehidupan kaum
Muslim di mana cinta itu pun tertuju kepada binatang
dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan
terwujud dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan
dengan suatu undang-undang, tetapi cinta itu datang
biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan
adanya kepemimpinan besar yang hati cenderung
kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang
dimaksud dengan kepemimpinan besar tersebut adalah
keberadaan sang Nabi. Beliau adalah cennin terbesar
dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang
yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling
banyak sedikit mengharapkan balasan darinya. Meskipun
beliau seorang pemimpin namun beliau hidup dalam
kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang
paling sederhana. Tempat tidurnya bersih tetapi kasar,
dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di
161
dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau
justru menyiapkan hidangan yang sangat sederhana.
Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur
dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah
tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa kesempurnaan Islam
tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT dan
Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri,
cinta kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan,
kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak ada
hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Demikianlah kaum Muslim sangat mencintai pemimpin
mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan
Islam yang berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan,
musyawarah dan jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang
dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan
tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah
membebaskan kaum Muslim dari penyembahan selain
dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu
yang hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang
Muslim memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang
diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan
akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya.
Dan hendaklah ia merasa puas dengan sesuatu yang
dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam
bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada
162
anarkisme dan diskriminasi tetapi kebebasan dalam
Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat
dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di
hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk