bc

Miracle (Ruby & Galaksi)

book_age16+
947
FOLLOW
6.7K
READ
billionaire
comedy
sweet
bxg
first love
like
intro-logo
Blurb

Apakah kamu percaya dengan keajaiban?

Ruby adalah gadis berusia 22 tahun yang memiliki tubuh seberat 101 kilogram. Seperti mimpi yang menjadi nyata, ia dijodohkan oleh seorang pria mapan, tampan dan populer di kalangan atas bernama Bintang Galaksi. Ruby tahu, Galaksi tidak mencintainya. Tapi kenapa pria itu mau membantunya untuk menurunkan berat badannya hingga mencapai 55 kilogram? Mungkinkah sebenarnya Galaksi menaruh hati? Ataukah Ruby yang terlalu menanggapi semua perhatian itu secara berlebihan? Ikuti kisah manis ini agar kamu menemukan jawabannya.

chap-preview
Free preview
Prolog
Aku Bianca Ruby. Orang-orang terkadang memanggilku Bianca ataupun Ruby. Namun, aku lebih dikenal sebagai Ruby si Gendut, Ruby si Tukang Makan, atau... Ruby si Beruang Madu. Beruang madu? Nama yang manis, bukan? Tentu saja. Dia yang memberi julukan itu padaku. Dia yang akan kuceritakan kepadamu. Dia yang begitu indah dan menakjubkan. Dia, Bintang Galaksi. Ini adalah kisah cinta yang manis namun juga penuh tangis. *** Kisah ini dimulai sejak aku masih berusia sebelas tahun. Pada saat itu, kakekku mengajakku ke rumah seorang temannya yang kaya raya di Uluwatu, Bali. Kami datang dengan sebuah mobil butut kesayangan kakek. Rumah itu sangat megah, bergaya Eropa dengan padang rumput yang amat sangat luas. Di tengah halamannya ada kolam air mancur dengan patung mermaid yang memesona. Sejauh mata memandang, aku melihat ada sebuah danau buatan di ujung sana, dikelilingi oleh pohon-pohon kecil yang teduh. Kedatangan kami disambut oleh beberapa orang staf wanita muda berseragam putih. Mereka menuntun kami berjalan masuk ke dalam mansion tersebut. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa takjubku melihat segala apa yang ada di sana. Pilar-pilar putih berukuran besar, menopang langit-langit tinggi yang berhiaskan lampu kristal. Ada banyak lukisan di setiap jengkal dindingnya. Di tengah-tengah ruangan ada dua tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan bagian atasnya. "Kakek, rumahnya besar sekali," kataku pada kakek yang hanya menanggapi perkataanku dengan sebuah senyuman. "Silakan masuk, Tuan. Beliau sudah menunggu Anda," ujar seorang pelayan berwajah cantik kepada kakek. Ia membuka sebuah pintu kayu yang ada di sudut ruangan, tidak jauh dari tangga yang ada di sisi kanan. "Terima kasih," sahut Kakek dan menggandengku masuk ke dalam ruangan. Di sanalah aku melihat seorang pria tua. Mungkin seusia kakek. Rambutnya putih dimakan usia dan tubuhnya kurus. Ia duduk di atas kursi tepat di depan jendela kaca yang besar. Pada saat itu kulihat dia sedang membaca sebuah buku. "Selamat pagi, Alex. Bagaimana kabarmu?" sapa Kakek dengan senyum selebar bulan sabit. "Oh, hahaha! Wicaksono! Sahabat baikku! Aku baik sekali. Kemarilah, aku sudah menunggumu sejak tadi, hahaha," sahut pria yang kakek panggil Alex tersebut. Ia menyambut kedatangan kakek dengan penuh sukacita. Mereka terlihat sangat akrab sekali. Dan dalam sekejap, mereka sudah terlibat obrolan seru sehingga membuat kakek melupakanku. "Omong-omong, siapa gadis kecil ini?" Ia menoleh menatapku, dan barulah aku menyadari jika bola matanya memiliki warna yang berbeda dari orang kebanyakan. Abu-abu muda. "Oh, ya Tuhan, aku melupakannya. Dia pasti sangat kesal sekarang," kata Kakek sambil melirik ke arahku. Aku hanya memberengut namun tetap melangkah maju menghampiri kedua pria itu. "Ini Ruby, cucuku dari anak perempuan pertamaku. Nah, Ruby, perkenalkan dirimu." Aku tersenyum sambil berkata, "Halo, aku Ruby." "Nama yang cantik. Berapa usiamu sekarang, Nak?" tanyanya dan menatapku dengan intens. "Sebelas tahun." "Oh, hahaha. Aku juga punya cucu seusiamu." "Oh, ya? Siapa namanya? Di mana dia sekarang?" Pada saat yang sama, pintu kayu di belakangku membuka dan menampilkan sesosok anak laki-laki bertubuh gemuk. Pipinya bulat, kulitnya putih bersih, dan ia terlihat sangat tampan. Siapa dia? Aku bertanya-tanya saat itu. "Itu dia!" Alex berseru, membuatku terkejut karena suaranya yang besar. "Kemarilah, Nak!" panggil Kakek Alex. Anak itu melirikku dan kakek dengan alis berkerut. "Kakek bilang kita akan bermain golf." "Nanti saja. Kemarilah sebentar," tukas Kakek Alex lagi. Anak itu berjalan dengan malas-malasan. Setelah ia tiba di depan kami, Kakek Alex mengenalkan dirinya padaku. "Nah, Ruby, ini cucuku yang usianya sama denganmu. Namanya, Galaksi." Galaksi menatapku tanpa minat. "Halo, aku Ruby. Senang bertemu denganmu," ucapku sambil mengulurkan tangan. Ia melirikku sejenak, lalu melirik kakek. Setelahnya, ia tidak melakukan apa-apa. Huh, sombong sekali! "Hahaha, jangan khawatir, Nak. Galaksi memang seperti itu." Aku menarik kembali tanganku dan meringis malu. "Galaksi, ajak Ruby berkeliling melihat rumah kita." "Tapi, aku mau bermain golf, Kek." "Ajak dia bermain golf. Mulai sekarang, kalian berteman, hahahaha. Benar kan, Wicak?" "Ruby, jangan membuat Galaksi kesal. Ikuti apa katanya. Kita akan pulang sebentar lagi," kata Kakek padaku. Galaksi melirikku dengan mata hitamnya yang tajam. "Ayo, ikut denganku!" "Huh? Ba-baiklah." Aku pun berlari kecil, mengejar langkahnya yang cepat keluar dari kamar. *** "Rumahmu besar sekali!" Galaksi tidak merespon. Dia menaiki tangga dan aku terus mengikutinya. "Kita mau ke mana?" Ia masih tidak menjawab. "Hei, apa kamu punya seorang adik atau kakak? Di mana orangtuamu?" "Jangan banyak tanya!" ketusnya. Aku langsung menutup mulutku. Aih, saat itu dia benar-benar menyebalkan. Sifatnya dingin dan angkuh. Galaksi membuka sebuah pintu dan masuk ke sana. Aku ikut masuk dan seketika takjub melihat pemandangan samudera Hindia yang membentang luas sejauh mata memandang. Ternyata, rumah ini berada tepat di pinggiran pantai. "Waaah! Indah sekali pemandangannya! Ini kamarmu?" Galaksi melihatku. "Ya." "Pasti sangat menyenangkan punya kamar seluas ini!" kataku lagi dan mengitari ruangan itu. Ketika aku hendak menyentuh miniatur mobil di salah satu rak di sana, kudengar dia berseru. "Jangan sentuh itu!" Tanganku bergerak ke benda lain dan dia kembali berseru. "Dan itu." "Itu juga." "Apalagi itu." Aku mendengus kasar. "Pelit sekali," gerutuku kesal. Lalu, Galaksi mengajakku ke lapangan golf dan dengan bangganya dia menunjukkan kemampuannya. Setelahnya, kami pergi ke pinggir danau dan duduk di sebuah kursi tepat di bawah pohon, menikmati keindahan yang ada di sana dalam diam. Habisnya dia benar-benar menyebalkan. Setiap aku bertanya, tidak ada jawaban. Aku seperti bicara dengan patung saja. Bersamaan dengan itu, seorang staff datang menghampiri kami. "Saatnya makan siang. Kakek Alex sudah menunggu," ucapnya santun. Galaksi mengangguk lantas beranjak. Aku mengikutinya, masih tanpa suara. *** Ya ampun! Ada banyak makanan di sana! Udang, kepiting, ayam, daging! Dan es krim! Aku langsung duduk di sebelah Kakek dan menatap semua makanan di atas meja itu dengan penuh harap. "Kamu pasti lapar, ya?" tanya Kakek Alex padaku. Aku mengangguk malu. "Cacing-cacingku pasti sudah kelaparan, hehehe." Galaksi memasang ekspresi terkejut. "Dia cacingan?" tanyanya kemudian. "Hahaha." Kakek Alex tertawa mendengar kepolosan cucunya tersebut. "Bukan hanya cacing. Di perutnya ada naga besar yang selalu kelaparan, hahaha," timpal Kakek. Kakek Alex ikut tertawa. Ia sungguh orang yang humoris. Mudah tertawa dan suka melontarkan lelucon. Persis seperti Kakek. Mungkin, itulah sebabnya mereka menjadi teman baik. Tidak seperti Galaksi. Ia kaku dan terlalu serius. "Galaksi, kenapa diam saja? Apa kamu merasa malu dengan Ruby?" tanya Kakek Alex dan tersenyum menyeringai ke arahku. "Biasanya, dialah yang akan menghabiskan semua makanan yang ada di meja ini. Tapi, hari ini sepertinya dia sedang malu. Hahaha." Aku melihat ada semburat merah di wajahnya yang putih bersih. "Di rumah, Ruby-lah yang menghabiskan semua makanan. Lihat saja badannya. Sudah seperti snowman, hahaha." "Kakek," tegurku dengan pipi yang terasa panas. Di usiaku saat itu, tubuhku memang sangat gemuk. Bahkan, angka timbangannya melewati batas usiaku. Jika dibandingkan dengan Galaksi, dia sedikit lebih kurus dariku. "Ayo, makanlah sepuasnya. Jangan sungkan," ucap Kakek Alex dan tersenyum hangat padaku. Sewaktu aku hendak mengambil satu potong daging ayam, rupanya Galaksi juga melakukan hal yang sama. Sejenak kami saling pandang, dan saling menarik sendok garpu yang sudah menancap di dagingnya. Karena dia tidak mau mengalah, aku lantas mengambil daging sapi yang ada di piring sebelahnya. Namun, si bocah tengil itu juga mengambilnya. Alhasil, kami tarik-menarik lagi. "Hahaha, Galaksi, seharusnya kamu mengalah dengan anak perempuan." Galaksi cemberut dan menarik kembali tangannya yang memegang garpu. "Aku makan di kamar saja." Galaksi lantas bergegas meninggalkan ruang makan dengan wajah kesal. "Apa dia baik-baik saja? Dia pasti tidak nyaman makan bersama kami," celetuk Kakek dan tersenyum meminta maaf. "Hahaha, tenang saja, Wicak. Cucuku yang satu itu memang agak berbeda. Dia tidak biasa berkumpul dengan orang yang belum dikenalnya." "Oh, baiklah. Kami akan pulang setelah makan siang." "Jangan terburu-buru. Menginaplah di sini. Kita akan minum kopi dan menonton pertandingan bola malam ini." "Sebenarnya, kedatanganku ke sini untuk berpamitan denganmu, Alex." Kakek Alex mengerutkan dahinya tanda tak mengerti. "Memangnya kamu mau pergi ke mana?" "Kami semua akan pindah ke Singapura. Usaha toko roti menantuku bangkrut. Kami terlilit utang dan harus menjual rumah itu. Jalan satu-satunya, kami akan pindah ke Singapura. Ke kampung halamanku. Ada rumah kosong di sana. Mungkin, akan kami renovasi menjadi sesuatu," jelas Kakek sementara pria di hadapannya itu mendengarkan dengan seksama. "Aku bisa membantumu. Katakan saja berapa yang kamu butuhkan." Kakek mengangkat tangannya. "Tidak, tidak, Alex. Aku bisa mengatasinya." "Apa yang bisa dilakukan pria tua renta sepertimu selain makan dan tidur di depan televisi?" "Hahahaha. Tenang saja. Aku akan mengurus keluargaku dengan baik." Kakek Alex sebenarnya tampak kecewa hari itu. Ia kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Aku akan sangat kehilanganmu. Selain Galaksi, dirimulah yang menjadi temanku di masa tuaku ini." Aku melihat ada kesedihan yang mendalam terpancar di bola matanya. Dan kakek hanya tersenyum mendengarkan. "Jangan seperti anak perempuan. Kita masih bisa berbicara melalui telepon." Kakek Alex tertawa. "Baiklah." Kemudian, ia menoleh menatapku. "Nah, Ruby, apa kamu menginginkan sesuatu dariku? Ini adalah hari pertama kita bertemu. Dan bisa juga menjadi yang terakhir." "Hati-hati dalam berbicara," tukas Kakek. Pria bermata abu-abu itu lantas terkekeh-kekeh. "Aku ingin meminjam buku itu," ujarku, menunjuk sebuah buku di atas meja yang kuperhatikan selalu dibawa oleh Kakek Alex ke mana pun dia pergi. "Ruby—" Sebelum kakek sempat berkata-kata, Kakek Alex langsung menjulurkan tangannya, memberikan buku itu padaku. Sebuah buku berjudul 'Romeo & Juliet' karya William Shakespeare. "Ambillah, jangan meminjamnya. Simpan saja untukmu." Aku segera mengambil buku itu dengan penuh semangat. "Terima kasih. Aku akan menyimpan buku ini dengan baik." "Ruby suka membaca sejak ia duduk di taman kanak-kanak. Di kamarnya ada banyak sekali buku-buku. Setiap hari dia akan membersihkan buku-buku itu dari debu dan melarang siapapun mengambilnya tanpa izin," jelas Kakek sehingga membuatku merasa tersipu malu. Kakek Alex menatapku lamat-lamat. "Kamu pasti punya mimpi dan harapan yang besar, Nak." Mimpi dan harapan terbesarku saat itu tidak ada. Namun, bertahun-tahun setelah itu, aku memilikinya.... *** Beberapa tahun kemudian, kakek menerima sebuah telepon yang mengatakan kalau Kakek Alex sudah tiada. Kakek sangat sedih waktu itu karena selama tidak bertemu, Kakek Alex selalu meneleponnya dan menanyakan kabarnya. Ia sungguh-sungguh merasa kehilangan. Seminggu setelahnya, kakek menerima sebuah surat. Aku tidak sempat membacanya saat itu karena kakek tidak mengizinkannya. Sampai pada akhirnya ia pergi untuk selamanya. Kakek pun meninggalkan sepucuk surat wasiat. Surat yang menjadi bab baru dalam kisahku dengannya. Bintang Galaksi. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook