Tengah malam itu, Sidra yang seharusnya sudah tertidur bersama dengan Camilo, justru berdiam diri di halaman belakang gubuk milik Sieana.
Entah apa yang membuatnya masih terjaga. Dia hanya tidak bisa tidur hingga memutuskan untuk keluar dari kamar yang sempit dan pengap karena harus dia tinggali bersama dengan Camilo.
Di tangannya ada sebuah pedang kayu yang sering dia gunakan untuk berlatih. Ketika dirinya kecil, sering kali Sidra melihat prajurit yang pulang dari istana dengan membawa banyak barang bahkan harta benda. Mereka akan menjadi sosok yang diidolakan penduduk desa karena dianggap sebagai pejabat tinggi yang bekerja di istana. Karena untuk bisa masuk ke dalam istana dan menjadi prajurit, mereka setidaknya harus memiliki keahlian pedang yang tidak sembarangan.
Maka Sidra juga memiliki keinginan untuk menjadi seperti mereka. Dia membayangkan bisa disambut dengan suka cita oleh penduduk desa ketika dirinya pulang dari istana.
"Kau seharusnya tidak duduk sendirian di tengah malam."
Terkejut, Sidra langsung waspada dengan mengacungkan pedang kayunya ke depan. Dia mencari-cari siapa gerangan yang datang tengah malam dan bahkan bisa masuk ke dalam halaman belakang rumah neneknya.
"Siapa kau?!" teriaknya.
Matanya menoleh ke sana kemari, tubuhnya dia arahkan ke arah manapun untuk bersiaga. Kalau-kalau orang itu adalah perampok yang berniat menjarah rumah neneknya.
Kemudian seseorang turun dari atas pohon yang cukup jauh, mengenakan jubah berwarna merah gelap yang hampir serupa dengan malam.
"Apa kau pikir bisa melukai lawan mu dengan pedang kayu itu?"
Sontak Sidra menatap pedang kayu yang ada di tangannya.
"Bahkan tanpa ini, aku bisa mengalahkan mu," katanya yakin.
Seseorang di depannya langsung tertawa. Berjalan mendekat tanpa melepaskan jubah yang dikenakannya.
"Ucapan mu bagai lelucon, tapi sayangnya aku memang harus percaya mengingat siapa dirimu."
Pria itu mengulurkan tangan, memegangi pedang kayu yang sedang dipegang oleh Sidra lalu mematahkannya dalam sekali hentak.
Sidra terkejut, dia menatap tidak percaya pada pedang kayu miliknya yang kini sudah terbagi dua.
"Jangan sedih dan jangan terlalu menyalahkan aku, aku akan menggantinya dengan pedang sungguhan agar kau bisa berlatih dengan benar," ujar pria itu.
Mendengus, Sidra membuang kayu yang masih ada di genggamannya.
"Aku tidak butuh. Lagi pula aku tidak mengenal dirimu. Tunjukkan siapa dirimu!"
Sayangnya pria di hadapannya justru melenggang dengan tenang, duduk di sebuah potongan kayu besar yang ada di sana.
"Apakah kabar mu selama ini baik-baik saja? Masih butuh waktu satu tahun lagi sampai kau tumbuh menjadi seorang tingkat satu."
Kening Sidra berkerut, dia memandang aneh pada pria yang bahkan wajahnya pun tidak terlihat.
"Mengapa kau malah menanyakan kabar ku? Siapa sebenarnya dirimu?" tanyanya tidak mengerti. Lalu sedetik kemudian matanya membulat, dia berjalan ke depan hingga jaraknya dengan pria itu hanya beberapa jengkal saja. "Apakah...kau adalah Ayahku yang sering diceritakan oleh Nenek?"
Mendengar pertanyaan darinya, pria itu langsung bangkit berdiri.
"Jangan berkata seperti itu. Aku bukan ayahmu. Ayahmu adalah seseorang yang tidak bisa dibandingkan dengan siapapun," tolaknya.
"Lalu siapa kau? Dan apa mungkin kau mengetahui siapa ayahku?"
Bukannya menjawab, pria itu justru mengeluarkan dua pedang dari balik punggungnya. Dia melemparkan dua pedang itu begitu saja ke arah Sidra hingga tanpa sadar Sidra bergerak mundur untuk menghindar.
"Itu pedang untukmu. Satu yang emas adalah milikmu sedangkan yang perak adalah milik temanmu. Gunakan pedang itu sebaik mungkin, belajarlah dengan giat sampai kau yakin tidak akan ada yang bisa mengalahkan dirimu selain Kaisar."
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh pria itu, Sidra tidak bisa untuk tidak tertawa.
"Jangan meracau! Bagaimana mungkin aku bertanding dengan Kaisar," katanya terkekeh pelan. Namun begitu, Sidra menunduk, mengambil dua pedang itu yang tergeletak di lantai. "Tapi aku berterimakasih karena kau sudah memberikan pedang ini secara cuma-cuma padaku. Walaupun aku tidak tahu siapa kau dan bagaimana kau bisa mengenalku dan juga saudara ku."
Bisa Sidra lihat dalam gelap saat pria itu terkejut mendengar ucapannya.
"Jangan anggap siapapun sebagai saudaramu," katanya dengan nada tegas.
"Hah? Mengapa?"
"Karena kau memang tidak memilikinya!"
"Tapi Camilo adalah--"
"Sudahlah! Ingat saja perkataan ku dan berlatih lah dengan keras. Aku akan datang lagi untuk mengetahui perkembangan mu."
Tak sempat Sidra kembali bertanya, sosok itu sudah melompat tinggi melewati pagar dan kemudian hilang di tengah malam.
Sidra kebingungan, namun dia memutuskan untuk tidak lagi memikirkannya. Dengan membawa dua pedang di tangannya, dia berjalan masuk ke dalam rumah.
*
"Bagaimana dia?"
Loiz menunduk, membuka tudung jubah yang dia kenakan.
"Dia tumbuh dengan baik. Hanya saja sepertinya selama ini dia bahkan tidak memiliki pedang. Dia menggunakan pedang kayu."
Lauda tersenyum kecil, dia berbalik badan dan menatap ke arah Loiz.
"Padahal nenek tua itu kaya dan aku sudah mengirimkan banyak koin emas setiap bulannya," gumam Lauda.
"Itu karena Pangeran tidak pernah mau membeli barang untuk dirinya sendiri. Bahkan Nenek itu mengembalikan semua koin emas yang selama ini Kaisar berikan karena dia kebingungan menggunakannya. Pangeran menolak untuk menerima itu jika bukan Kaisar langsung yang memberikannya."
Mata Lauda membulat kaget.
"Apa maksudmu?"
Kembali Loiz menunduk dalam.
"Maafkan saya yang tidak segera melaporkan ini pada Yang Mulia. Itu semua karena Yang Mulia tengah sibuk menyambut tamu dari Negara dan Kerajaan lain," ucapnya lebih dulu. "Pangeran mengira jika seseorang yang selalu datang dan memberikannya uang adalah ayahnya. Sehingga ketika Nenek itu memberikan uang yang Yang Mulia berikan, Pangeran meminta agar Ayahnya sendiri yang datang dan tidak menitipkannya pada Nenek. Maka dari itu semua koin yang Yang Mulia kirimkan tidak pernah terpakai sama sekali dan kemudian Nenek itu mengembalikannya. Saya yang menyimpan semua koin itu, Yang Mulia."
Lauda mendesah berat. Keningnya tampak berkerut ketika berbalik menghadap jendela yang terbuka.
"Bagaimana mungkin aku bisa menemuinya secara langsung? Bahkan jika aku ingin, aku tetap tidak bisa melakukannya. Aku tidak ingin nyawanya berada dalam bahaya jika dia sampai tahu bahwa dia adalah anakku."
Loiz terdiam. Dia mengerti bagaimana kekhawatiran yang dirasakan oleh Kaisar nya.
Sampai kapan pun, Sidra tidak akan bisa memasuki istana karena dirinya dianggap sudah mati oleh Ratu. Jika sampai keberadaannya diketahui, maka Ratu tidak akan tinggal diam dan akan langsung kembali berusaha melenyapkan Sidra.
Apalagi setelah Pangeran Arderl nantinya resmi menjadi seorang Putra Mahkota.
"Apakah kau sudah memberikan pedang dariku?" tanya Lauda.
Ketika dia membuatkan pedang resmi untuk Arderl yang akan dikenakan di hari upacara, dirinya juga meminta agar pandai besi membuatkan satu pedang lagi dengan bentuk yang sama. Pedang itu dia peruntukkan bagi Sidra yang juga merupakan putranya.
"Saya sudah memberikan pedang itu pada Pangeran, Yang Mulai."
"Apakah dia senang?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, membuat Loiz yang sejak tadi menunduk langsung mengangkat wajahnya. Dia agak terkejut melihat betapa Lauda begitu semangat membicarakan tentang Sidra. Padahal Loiz pikir segala macam perhatian yang diberikan Kaisar nya itu pada Sidra selama ini hanya lah bentuk tanggung jawab dan rasa bersalah. Namun ternyata Kaisar nya juga memiliki rasa belas kasih pada Sidra yang juga merupakan putranya.
"Tampaknya, Pangeran senang. Saya juga meminta Pangeran untuk berlatih dengan pedang itu hingga menjadi seseorang yang ahli dalam pedang. Saya berkata padanya, bahwa saya akan datang lagi untuk melihat perkembangan Pangeran setelah menerima pedang itu."
Lauda mengangguk. "Setidaknya keahlian yang dia miliki akan menjadi dasar untuk melindungi dirinya sendiri. Aku berharap dia bisa hidup lebih lama, bisa tumbuh dewasa walaupun tidak pernah mengetahui siapa dirinya sebenarnya," gumamnya kemudian.
Mata Lauda memandang jauh pada rembulan yang ada di atas langit. Betapa dia sendiri ingin melihat perkembangan dan pertumbuhan Sidra seperti yang dia lakukan pada Arderl.
"Saya akan pastikan Pangeran baik-baik saja. Jika itu adalah perintah dari Yang Mulia, maka saya bahkan bisa mempertaruhkan nyawa saya untuk melindungi Pangeran," ujar Loiz yakin.
Lauda tersenyum, kemudian dia menggeleng pelan.
"Kau tidak perlu sampai melakukan itu. Untuk membuat dia tetap aman adalah dengan tidak membiarkan keberadaannya diketahui siapapun. Dengan begitu dia akan bisa hidup lama walaupun hanya sebagai rakyat biasa."
Berbalik badan dengan kedua tangan yang bertaut di belakang tubuh, Lauda menara sosok pengawal setianya dalam ruangan yang gelap.
"Kerja bagus, Loiz. Kau sudah bisa kembali ke kediaman mu," titahnya.
Loiz menunduk dalam, memberikan penghormatan pada Lauda sebelum kemudian keluar melalui jendela yang terbuka.
Usai kepergian Loiz, Lauda kembali menghampiri jendela dan menutupnya. Lalu dia bergerak ke kursi baca, membuka buku yang belum selesai dia baca.
Namun, pikirannya melanglang jauh. Dia sangat penasaran dengan wajah Sidra setelah tumbuh. Pertama dan terakhir kali dia melihatnya adalah saat Sidra baru saja menetas dari dalam telur. setelahnya, Lauda mulai mempercayakan anak itu pada Nenek dan juga pada Loiz yang dikirim mengunjunginya sewaktu-waktu.
"Harusnya dia bisa tumbuh normal jika saja Ibunya masih hidup," ujar Lauda pelan sambil menatap kosong pada buku yang ada di tangannya.
Dia masih menyesalkan bahwa dirinya tidak berhasil menyelamatkan wanita itu dan bahkan kakaknya yang merupakan prajurit terbaik di Kekaisaran. Hidupnya mulai dihantui rasa bersalah karena penyebab kematian mereka adalah istrinya sendiri.
"Kau harus hidup, Sidra. Karena jika kau juga mati, maka aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri."
Menutup buku di tangannya, Lauda bangkit dari kursi goyang yang menjadi tempat favoritnya itu.
Harusnya malam ini dia berada di kamar Ratu, tapi dia enggan datang kesana karena biasanya yang terjadi di antara mereka bukan lah sebuah hal yang baik antara suami dan istri, melainkan sebuah pertengkaran yang melelahkan. Maka Lauda memutuskan untuk berdiam diri di kamar, menyibukkan dirinya dengan buku dan juga beberapa kertas gulung yang berisi pekerjaan dan tinjauan yang harus dirinya lakukan.
Padahal dulu dia tidak bisa sehari saja tanpa istrinya, namun sepertinya sekarang dia sudah lelah.
__