Apa itu?

1893 Words
Mataku hanya fokus pada Kak Riska Zoylia yang berada di seberang jalan. Aku sedang menunggu kendaraan yang masih banyak lalu lalang Dan ini membuat aku kesulitan untuk pergi ke tempat Kak Zoy. Tiba-tiba dari belakangku terdengar sebuah suara yang terdengar sangat jelas. “Amerlin…” kata suara itu. Aku mencari ke sana ke sini asal suara itu, namun orang-orang yang di belakangku hanya sibuk berjalan sesuai dengan arah yang mereka tuju masing-masing. Siapa yang memanggil namaku. Dalam beberapa hari ini, orang-orang hanya memanggilku dengan nama Tina. Baru kali ini, ada orang yang mengenal namaku adalah Amerlin, dan siapakah dia. “Siapa yang memanggil namaku,” teriakku. Serentak orang-orang pada berhenti dan melihat ke arahku. Mereka menganggap aku aneh, atau beberapa dari mereka ada yang bilang aku gila. Namun, aku tidak peduli, aku hanya ingin melihat orang yang sudah memanggilku. Kemudian, tiba-tiba aku melihat seseorang yang wajahnya pernah aku lihat. Dia berdiri di barisan paling belakang dari orang-orang yang berdiri mengelilingiku. Seorang perempuan yang sangat familiar, tetapi aku tidak mengetahui pernah mengenal dia di mana. Perempuan itu tersenyum kepadaku. Aku berusaha keluar dari kerumunan orang ini, dan pergi mendekati dia. Namun, ternyata perempuan itu menghilang. Dia tidak ada di tempat tadi dia berdiri. Dan aku baru ingat kembali tentang Kak Zoy yang tadi sedang aku awasi. Dengan segera, aku melihat posisi Kak Zoylia tadi. Tetapi, dia juga ikut menghilang. Aku langsung berlari menyeberangi jalan. Aku tidak lagi mempedulikan kendaraan yang lewat. Aku hanya melangkahkan kakiku tanpa mempedulikan apa yang akan menabrak diriku. Mobil dan motor berhenti mendadak karena ulahku. Para supir juga terdengar marah, namun aku tidak peduli. Aku hanya ingin ketemu Kak Zoy. Setelah sampai di seberang, hanya hampa yang aku dapati. Tidak ada jejak Kak Zoy sama sekali. Kepalaku mulai sakit kembali, karena kondisi badanku sendiri juga dalam keadaan tidak sehat. Dan sekarang aku tidak tahu sedang berada di mana. Aku lupa arah menuju tempat Krisna tadi. Dan aku juga baru sadar, bahwa handponeku juga tertinggal di lokasi syuting. Dengan pasrah, aku berjalan menyusuri jalan tanpa tahu arah dan tujuan. Aku lelah, haus, lapar. Namun, aku tidak membawa apa pun saat pergi tadi. Handpone, dompet, semuanya tertinggal di tempat Krisna. Dan lokasi ini sangat asing. Satu-satunya tempat yang aku ketahui, hanya kantor tempat aku bekerja. Tetapi, aku merasa jalan ini sedikit berbeda dengan jalan yang sering aku lalui setiap hari, saat aku hendak pergi bekerja ke sana. Dari tempat aku berdiri, aku masih bisa melihat puncak perusahaanku dengan nama perusahaannya tertera paling atas. Aku pergi ke sana, karena di sanalah harapanku satu-satunya. Walaupun, aku sedikit ragu untuk sampai ke perusahaan. Bagaimana pun, sudah beberapa hari ini aku tidak memberi kabar. Bos pasti akan marah besar saat bertemu aku. Saat aku sampai di gerbang, aku dengan percaya diri masuk ke dalam. Tetapi, tiba-tiba satpam menjegatku. “Mau ada perlu apa, mbak?” tanya satpam itu sambil memperhatikan aku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku akui, penampilanku memang seperti anak kuliah ketimbang karyawan kantor. Dan lagi, aku juga mengenakan celana jeans. Mana ada seseorang yang mau masuk perusahaan besar berpenampilan seperti ini. “Saya karyawan sini, Pak? Bapak baru ya kerja di sini?” Aku juga memperhatikan satpam yang ada di depanku. Dia bukan salah satu satpam yang bekerja di sini. Aku hapal semua satpam yang bekerja di sini. “Saya sudah sepuluh tahun Mbak kerja di sini. Dan saya juga tidak pernah melihat Mbak sebelumnya,” jawab dia dengan tegas. “Saya Amerlin, sekertaris utama bos besar di sini.” Aku tidak terima dibilang tidak pernah ada di sini. “Mbak jangan mengada-ngada. Sekertaris Bos di sini namanya Ibu Mariana, dan mobil mereka baru saja keluar,” jelas Pak Satpam, sepertinya dia mulai curiga terhadapku. “Mbak, di sini kalau tidak ada keperluan yang jelas dilarang masuk.” Dia mulai terlihat marah. “Tapi saya benar karyawan di sini. Masak baru beberapa hari saya tidak masuk sudah dipecat, dan tidak ada pemberitahuan juga. Ini namanya pemecatan sepihak.” Aku mencoba membela diri. “Coba aja bapak tanyakan sama bagian personalia, pasti nama saya ada. Dan saya tidak terima diperlakukan seperti ini. Saya sudah bertahun-tahun bekerja di sini, diusir begitu saja tanpa hormat.” Aku meminta satpam itu segera mencari tahu kebenarannya, karena aku sangat yakin aku bekerja di sini. Nama perusahaannya saja sama dan gedungnya juga sama. “Maaf, Mbak. Tidak ada karyawan yang namanya Amerlin,” kata satpam itu setelah menelepon bagian personalia. “Bapak jangan bercanda, minggu lalu saya masih bekerja di sini. Masak rekam jejak saya tidak ada, Pak?” tanyaku heran, mengapa namaku bisa tidak ada di data karyawan yang bekerja di sini. “Mbak yang jangan becanda. Banyak orang yang pura-pura seperti Mbak, yang mengaku-ngaku kerja di sini. Padahal enggak.” Satpam itu mulai kasar padaku. “Tapi, Pak…” “Saya harap Mbak segera pergi dari sini. Sebelum saya pakai kekerasan untuk mengusir Mbak dari sini.” Satpam yang ada di belakang juga mulai melihat ke arah kami. “Tapi…” Aku masih tidak terima, aku sudah dipecat begitu saja dari perusahaan ini. “Udah Mbak, gini aja. Kalau emang Mbak karyawan perusahaan ini, pasti Mbak punya kartu yang semua karyawan punya kan?” tanya satpam yang dari tadi duduk di belakang. Aku hanya terdiam. Karena semua identitasku memang hilang semua, bahkan aku hanya memiliki KTP dan ATM atas nama Tina semua. Tidak ada kartu identitas yang menunjukkan jika aku adalah Amerlin. “Kalau enggak ada, Mbak silahkan pergi dari sini. Bisa saja Mbak kami bawa ke kantor polisi, karena kami menganggap Mbak sudah punya niat jahat untuk masuk ke dalam perusahaan,” katanya. Satpam ini mengancam tetapi masih dalam nada suara yang lembut. Tidak seperti satpam yang tadi, yang langsung marah-marah. Tetapi, perkataannya memang benar. Aku tahu sendiri peraturan perusahaan ini memang sangat ketat, tidak boleh sembarang orang yang bisa masuk ke dalam. “Hah… Baiklah.” Aku menghelakan napas panjang, kemudian pergi dari perusahaan itu. Satu-satunya tempat yang menjadi harapanku, sekarang hilang juga. Sekarang, aku seperti orang hilang. Ingin rasanya menghentikan taksi, namun alamat rumah Krisna aku tidak tahu. Alamat om dan tante yang kemarin mengaku sebagai Mama dan papaku, aku juga tidak tahu. Alamat rumahku juga tidak tertera lokasinya di mana internet. Begitu pula dengan alamat Mama, juga sama-sama menghilangkan entah kemana. Sekarang aku hanya bisa berjalan kaki, mencoba menyusuri kembali jalan yang tadi aku lalui saat mengejar Kak Zoy tadi. Dengan harapan, aku bisa sampai kembali ke tempat Krisna syuting. Semoga saja aku ingat jalan yang tadi aku lalui. Sampai tiba-tiba, aku melihat kembali orang yang aku kenal. Dia berada di dalam sebuah salon. “Mama…” Aku melihat Mama dari luar jendela sebuah salon. Aku langsung masuk ke dalam salon dan pergi ke meja rias yang berada di dekat jendela. Tanpa sadar, air mataku mengalir. Baru kali ini, aku sangat senang melihat Mama. Biasanya, saat main ke rumah Mama, perasaanku hanya biasa saja saat melihatnya. Dan terkadang, aku malah tidak ingin bertemu dengan Mama, karena pertanyaan yang akan Mama tanya selalu sama, ‘kapan nikah?’. Tetapi, saat beberapa hari ini aku merasa benar-benar kehilangan Mama. “Mama…” Aku langsung memeluk perempuan ini. “Siapa kamu?” kata perempuan yang ada dalam pelukanku. Betapa terkejutnya aku saat melihat perempuan yang ada di pelukanku. Dia bukan Mama. Tetapi aku sangat yakin, perempuan yang aku lihat dari luar tadi memang Mama. Namun, mengapa sekarang jadi bukan Mama. “Eee… Maaf Bu, saya pikir tadi Mama saya,” kataku. Aku keluar dari salon tersebut dengan hati kecewa. Lagi dan lagi, kekecewaan terus yang aku alami hari ini. Mungkin karena aku terlalu rindu sama Mama, dan ditambah lagi kebuntuan yang sedang aku alami. Sehingga aku salah melihat orang. Sekarang aku sudah ada di luar salon lagi. Dan aku ingin memastikan kembali, jika penglihatanku tidak salah. Namun, aku tetap melihat Mama yang sedang duduk di depan meja rias yang berada di dekat kaca. Aku berusaha mengucek mataku dan menegaskannya. Namun, tetap wajah Mama yang aku lihat dari luar sini. Karena aku penasaran, aku masuk kembali ke dalam salon dan melihat pantulan wajah perempuan yang duduk di depan meja rias. “Itu bukan mama!” kataku sambil memperhatikan dengan jelas perempuan yang tadi aku peluk. Kemudian, aku kembali lagi melihat dari luar jendela. “Tapi, ini mama!” Aku mulai merasa bingung. Aku tidak sedang halusinasi. Aku cubit berkali kali tanganku, tetap terasa sakit. Aku berulang kali mengucek mata ini, tetap tidak berubah. Aku tetap melihat Mama dari luar sini, dan mama seperti terlihat senang sedang berbicara dengan temannya yang duduk di sampingnya. Dan aku tahu temannya itu. Tante Neta, Dia adalah teman mama jalan. Tiba-tiba dari belakang, aku melihat bayangan perempuan berambut panjang dan memakai baju putih. Perempuan itu yang tadi tersenyum di kerumunan orang. Dan aku yakin perempuan itu juga yang memanggil aku Amerlin. Dengan segera, aku memutar kepalaku untuk melihat ke belakang. Dan lagi-lagi dia tidak ada di sana. Kemudian, aku melihat lagi di dalam kaca. Dia masih ada di sana, tidak pergi. Tetapi, aku tidak bisa melihat wujudnya ada di belakangku. Bulu kudukku mulai bangun, aku mulai ketakutan. Aku berlari dari sana seperti orang gila. Dan lagi-lagi aku menemukan perempuan itu berdiri di bawah lampu jalan di seberang jalan. “Aaaa….” Aku teriak ketakutan. Jalanan yang tadi aku rasa sangat ramai, tetapi mengapa saat ini menjadi sangat sepi. Bahkan, kendaraan juga tidak ada yang lalu lalang. Aku terus berlari tanpa arah. Padahal, sekarang masih siang hari, tetapi aku merasa sangat ketakutan. Perempuan itu seperti sedang mengikutiku terus. Dia menghilang dan muncul secara tiba-tiba di tempat yang kita tidak duga. Aku tidak bisa berlari darinya. Dia terus dan terus menemukan diriku. Tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebat, membuat pandanganku terhalangi dengan derasnya air hujan. Ingin rasanya aku berteduh, karena hujan semakin deras dan bajuku sudah sangat basah. Namun, aku masih merasa belum aman selama belum bertemu orang satu pun. Aku terus melanjutkan pelarianku dari kejaran perempuan itu. Setiap aku melihat sosok perempuan itu, aku tidak pernah melihat kakinya menapak di tanah. Dan anehnya, perempuan itu muncul di tempat yang seharusnya aku lalui. Karena ada dia di depan, aku malah harus berputar menjauh. Dan sekarang, aku makin tidak yakin dengan jalan yang sedang aku lalui. Entah sudah berapa gang sempit yang aku lewati, dan aku yakin tempat ini semakin jauh dari tempat syuting Krisna. Tetapi satu yang baru aku sadari, setelah hujan ini turun. Aku belum melihat bayangan perempuan yang tadi mengejarku. “Ciplak… ciplak….” Aku mendengar suara kaki orang yang sedang mengejarku di belakang. Perasaan aku semakin ketakutan. Sekarang, bukan makhluk halus lagi yang mengejarku. Tetapi sekarang, orang sungguhan. Bisa saja, dia adalah orang jahat. Bisa saja aku dibunuh, kemudian dimutilasi. Pikiranku sudah tidak bisa diajak berpikir jernih. “Mengapa jalanan ini sepi sekali, pada kemana semua orang.” Aku menggumam seorang diri, sambil terus berlari tanpa henti. Sampai, aku menabrak seseorang. Dia seorang perempuan, namun aku tidak jelas melihatnya. Karena aku sudah sangat lelah, aku tidak kuat lagi membawa badan ini. Bayangan semuanya tiba-tiba menjadi gelap dan menghilang. Hanya terdengar, sayup-sayup suara orang yang minta tolong. Dan sampai, aku tidak dapat melihat dan mendengar apa pun lagi.                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD