Berbeda?

1769 Words
Indera penciumanku sudah mulai berfungsi kembali. Aku mulai mencium bau obat-obatan di mana-mana. Suara orang yang merintih kesakitan dari ranjang sebelahku juga terdengar. Sebuah gerobak dorong yang sedang didorong juga tidak luput dari pendengaranku. Aku mulai membuka mata ini. Aku lihat sinar lampu yang sangat menyilaukan mata. Sebuah tirai yang mengelilingi tempat tidurku dan juga sebuah meja kecil yang berada di sampingku. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang baru saja aku alami. Namun, aku hanya ingat seorang perempuan yang wajahnya pernah aku lihat beberapa kali, dia terus menerus mengejarku. Dan kemudian, aku menabrak seseorang tetapi setelah itu aku tidak mengingat apa pun lagi. Dan sekarang aku terbangun di sini. “Aku di rumah sakit? Siapa yang bawa aku ke sini?” Aku mencoba mengingat-ingat kembali, apa yang sebelumnya terjadi. “Kamu udah sadar?” seseorang tiba-tiba masuk ke dalam bilikku. Aku hanya mematung melihat seseorang yang berada di depanku. Seorang laki-laki yang sangat aku kenal. Aku tidak bisa berkata-kata melihat sosok yang aku kenal akhirnya ada di depanku. Tanpa terasa air mata ini mengalir begitu saya. “Kamu enggak kenapa-napa?” Lelaki ini panik melihatku menangis. “Yang mana yang sakit?” tanyanya lagi. “Ada apa, Kak?” seorang perempuan tiba-tiba masuk ke dalam, dia juga terlihat panik karena mendengar lelaki yang di depanku panik. “Huwaaaa…” tangisku semakin keras setelah melihat perempuan yang baru masuk. Bahkan pasien yang ada di sebelahku juga ikutan terkejut, dan langsung membuka tirai pemisah di antara para pasien. “Ada apa???” perempuan itu bertanya padaku setelah dia berdiri di sampingku. Aku langsung memeluknya. Aku sangat senang, akhirnya orang yang aku kenal sekarang sudah ada di sampingku. Kak Adrian, akhirnya Kakak datang di saat aku sudah seperti ini. Risma, teman akrabku dan juga salah satu teman bisnisku di sebuah butik. Akhirnya, kamu juga ada di sampingku. Aku sangat takut, karena semua orang tiba-tiba menghilang. Tetapi,  “Kalian jahat!” kataku kepada mereka berdua. “Jahat kenapa?” tanya perempuan ini setelah lepas dari pelukanku. “Kalian baru datang setelah aku sakit seperti ini, kemarin kalian kemana aja? Aku mencari-cari kalian kemana-mana.” Aku menunjukkan perasaan kesal, kecewa dan bercampur bahagia. “Kenapa kamu nyariin kami?” Pertanyaan perempuan ini seolah-olah tidak tahu dengan kondisi yang sedang aku alami. “Kamu diapain sama Krisna?” lelaki ini ikut berbicara. “Udah dong, Kak. Jangan ikut-ikutan sandiwara Mama.” Aku memohon kepada Kak Adrian untuk tidak meneruskan sandiwara ini. “Sandiwara apa? Aku enggak paham?” tanya Kak Adrian. “Kak Adrian, pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu.” Aku mendumel sendiri di dalam hati. “Trus, kamu juga enggak tahu rencana Mama, Ma?” tanyaku pada Risma. “Rencana apa?” Risma dan Kak Adrian sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku maksud. “Rencana aku diam-diam udah dinikahin sama Krisna,” jelasku. “Apa maksudmu diam-diam. Kan Krisna melamar kamu terang-terangan di depan aku dan Pandu. Iya, kan?” kata Risma kepada lelaki yang ada di sampingnya. Tunggu dulu, mengapa Risma memanggil Kak Adrian dengan nama Pandu. “Pandu…” aku mengulang menyebutkan nama yang Risma sebutkan tadi. “Iya, Pandu. Kamu kenapa sih, Tin. Kenapa kamu panggil Pandu, Kak Adrian? Siapa dia?” tanya Risma. “Kamu jangan begitu dong, Ma. Aku udah pusing, nih. Jangan becanda kayak gini,” kataku. “Aku enggak becanda,” Risma menjawab dengan tegas. “Kamu kenapa, Dek. Kamu disakitin sama Krisna?” tanya Adrian –Pandu– “Kak, Ma… tolong dong… Cariin Mama. Iya, aku janji mau nikah, tapi jangan biarkan keadaanku seperti ini.” Aku memohon kepada kedua orang ini untuk berhenti bersandiwara. “Kamu kenapa Tina? Kepala kamu sakit?” tanya Risma sambil melihat aku dengan teliti. “Tolong… jangan panggil aku Tina. Aku Amerlin .…” suaraku mulai keras karena melihat mereka berdua tidak juga berhenti bersandiwara. “Ma, kamu panggil dokter sana. Sepertinya, kondisi Tina ada yang salah.” Adrian –Pandu– menyuruh Risma memanggil Dokter. “Kak Adrian… tolong, Kak. Jangan kayak gini…” Aku memohon kepada Adrian sambil memegang kedua tangannya. “Tina… sadar, Tin. Ini Mas Pandu… sahabat kamu dari kecil. Kamu kenapa Tin?” “Aaaaaa….” Aku teriak histeris melihat Kak Adrian yang masih kekeh dengan sandiwaranya. “Kenapa, Pak?” tanya dokter yang baru saja masuk ke bilikku. “Ini, Dok. Teman saya jadi aneh setelah ditemuin pingsan kemarin,” jelas laki-laki yang ada di sampingku. Aku bingung, mau menganggap dia siapa. Dia mengaku sebagai Mas Pandu, sahabat dari kecilku. Tetapi, dia sangat mirip dengan Kak Adrian. Apakah ini memang, masih masuk dalam skenario drama yang Mama atur atau bagaimana. Tetapi, Kak Adrian yang aku kenal dia tidak bisa berbohong. Apalagi, jika dia harus bergabung dalam sandiwara ini, dia pasti langsung tertawa tidak bisa melakukan akting yang seharusnya dia lakoni. Dulu waktu SMP, kami sekeluarga pernah berniat mengerjai Kak Zulian, saat dia sedang berulangtahun. Kami sudah menyiapkan sebuah drama yang bertujuan membuat Kak Zulian menangis saat itu. Tetapi, karena ulah Kak Adrian yang tidak bisa menjalani perannya, rencana kami pun gagal saat itu. Seharusnya, Kak Adrian tetap pura-pura pingsan karena meminum sesuatu. Dan saat itu, Kak Zulian sudah mulai panik karena melihat Kak Adrian mengeluarkan busa dari mulut, setelah meminum sesuatu yang Zulian kasih. Setelah itu, Kak Adrian pura-pura pingsan. Tetapi, setelah melihat wajah panik Zulian, Kak Adrian malah tidak sanggup menahan tawanya. Akhirnya, Zulian sadar jika dia sedang dikerjai. Kak Adrian adalah orang yang tidak bisa diajak kerjasama dalam sebuah sandiwara. Tetapi, Kak Adrian yang sekarang ada di depanku, dia terlihat sangat menghayati perannya. Bahkan. Seperti tidak ada celah yang terlihat, jika dia sedang berbohong. Karena laporan Kak Aldrian dan Risma, akhirnya aku harus menjalani semua pemeriksaan yang seharusnya tidak perlu aku jalani. Aku beberapa kali harus keluar masuk laboratorium yang ada di dalam rumah sakit ini. Dari pemeriksaan darah sampai pemeriksaan seluruh tubuh yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Aku juga bingung dengan kedua orang ini, mengapa mereka harus repot-repot melakukan ini semua. “Bagaimana Dok, hasilnya?” tanya Kak Aldrian. “Semua normal, Pak. Hanya tekanan darahnya saja yang kurang. Tapi yang lainnya, tidak ada masalah.” Dokter tersebut menjawab sambil melihat semua hasil laboratorium yang ada di dalam foldernya. “Sudahlah Kak, Amerlin sehat. Enggak kenapa kenapa,” kataku. “Tuh, kan Dok. Dia bilang namanya Amerlin. Enggak ada yang salah sama otaknya, Dok?” tanya Kak Aldrian lagi. “Tidak ada, Pak. Semua normal. Tidak ada yang aneh dari hasil scan kepalanya,” kata Dokter itu sambil meneliti hasil scan kepalaku. “Sudahlah Kak, kalian mau pura-pura sampai kapan?” kataku. Kak Adrian dan Risma saling bertukar pandangan. Mereka seolah sedang berbicara dengan bahasa isyarat, seperti hanya mereka berdua yang tahu. Ada makna ganda dari tatapan mereka berdua. ‘bagaimana ini, Amerlin susah diatur.’ Atau ‘Apa yang terjadi pada Tina’. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka berdua pikirkan.  “Sampai kapan Tina dirawat, Dok?” tanya Kak Adrian. “Kalau dilihat dari hasil lab, dia tidak perlu dirawat. Hanya perlu makan banyak dan minum vitamin. Tetapi, untuk masalah kepalanya, sepertinya Bu Tina harus dibawa ke psikiater untuk diperiksa lebih lanjut,” jelas Dokter. “Kalau ke psikiater berarti aku orang gila! Tega mereka mau memasukkan aku ke rumah sakit jiwa.” “Tapi Mas, sepertinya kita bawa Tina pulang dulu. Sepertinya dia lagi ada masalah dengan Krisna. Kalau diajak bicara, mungkin dia bisa tenang,” kata Risma. “Iya, Dok. Saya akan bicara dari hati ke hati dulu dengan Tina. Jika kami tidak bisa mengatasinya, baru kami akan bawa Tina ke Psikiater,” kata Kak Adrian. “Baiklah kalau begitu, jika itu keinginan keluarga silahkan diurus kepulangannya.” Setelah Dokter itu menyapaku, kemudian dia mempersilahkan kami untuk meninggalkan ruangannya. Risma pun mendorong aku yang sedang berada di atas kursi roda. Dia sepertinya akan membawa aku kembali ke kamar tempat aku di rawat tadi. “Ma, kamu enggak ikut-ikutan sandiwara keluargaku kan, Ma?” tanyaku pada Risma. “Sandiwara apa?” Risma sepertinya tidak paham dengan apa yang aku maksud. “Sandiwara yang membuat aku tiba-tiba menikah dengan seseorang, padahal aku tidak pernah menikah dengan siapa pun.” Aku mencoba menjelaskan dengan suara sedikit kencang, berharap Kak Aldrian juga mendengarnya. Tiba-tiba, Kak Aldrian menghentikan laju kursi rodaku. “Tin, kamu kenapa? Kamu sendiri yang mau menikah dengan Krisna. Tetapi kenapa kamu jadi seperti ini setelah menikah dengan Krisna?” Kak Aldrian terlihat sangat marah.  “Kakak yang kenapa! Kenapa Kakak sama Mama harus mengatur semua kepalsuan ini?” Aku juga tidak mau kalah, aku yang harusnya marah di sini. “Tina… Sadar Tin, kamu yang bilang sendiri kalau kamu mau menikah dengan Krisna, karena dia baik dan sangat mencintai kamu. Dan sekarang kamu malah menyesal menikah dengannya.” “Siapa bilang menyesal, jika benaran nikah dengan jelas, aku tidak menyesal menikah dengan Krisna,” kataku di dalam hati. “Kamu kalau ada masalah cerita aja sama aku, Tin,” kata Risma. “Ma, kamu jangan ikut-ikutan panggil aku Tina,” kataku kesal, karena semua orang memanggilku Tina. “Trus aku harus panggil kamu siapa sayang?” kata Risma. “Amerlin lah, kamu gimana sih, pake nanya.” Aku semakin kesal dengan akting mereka berdua. “Udah, Ma. Aku serahin Tina sama kamu. Mungkin Ema bisa membujuk Tina.” Kak Adrian sudah putus asa menanggapi diriku. Dan aku sangat yakin, sebentar lagi akting Kak Adrian pasti terbongkar. “Ema…” kataku terkejut saat Adrian memanggil nama Risma dengan sebutan Ema. “Iya, sayang, ada apa?” tanya Risma sambil berjongkok di depanku.  “Ada apa ini semua, kenapa ….” Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua orang tetap ingin berada di dalam perannya masing-masing. Dan aku sangat yakin, jika drama ini akan berakhir jika aku sudah hidup bahagia dengan Krisna. Dan di mana dia, saat aku masuk rumah sakit dia tidak ada di sini. Om dan Tante yang mengaku sebagai Mama dan papaku, di mana mereka. Kenapa semuanya tidak berakting bersamaan. Aku tambah kesal dengan kelakuan semua orang. Jika aku tidak mau mengikuti sandiwara ini, apakah adegan selanjutnya aku akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa, sesuai dengan saran dari dokter tadi. Itu artinya, jika aku tidak mau dimasukkan ke rumah sakit jiwa, aku harus ikut berpura-pura sebagai Tina.  Tetapi, setidaknya sekarang aku merasa sedikit tenang. Karena ada Kak Adrian walaupun dia mengaku sebagai Mas Pandu. Dan juga ada Risma, walaupun sekarang nama dia adalah Ema. Sekarang aku tidak lagi seorang diri. Ada orang-orang yang aku kenal, walau dalam identitas lain. “Baiklah, kalau itu keinginan kalian.” Aku akhirnya mau mengikuti sandiwara ini. “Keinginan apa?” tanya Risma. “Ya, aku mengaku kalah. Ya, aku Tina.” Aku menyerah, karena percuma satu lawan banyak orang dan pasti aku kalah. “Emang kamu Tina sayang,” kata Risma yang masih tetap berjongkok di depan aku. “Iya… iya, aku Tina. Puas kalian.”  “Kamu enggak boleh becanda kayak tadi lagi, paham.” Adrian masih terlihat sangat marah. “Dan satu lagi, jangan panggil aku Kak, apalagi… siapa tadi namanya?” lanjutnya. “Kak Adrian…” kataku. “Iya… jangan panggil aku Kak Adrian. Panggil seperti biasa aja, Mas pandu.”  “Iya… Kamu Mas pandu dan kamu Ema, ya aku mengerti.” Aku menunjuk Adrian dan Risma secara bergantian. Sekarang aku harus melakukan peranku dalam drama ini. Menjadi Tina, istri Krisna dan teman baik Ema dan Pandu. Drama ini akan selesai, jika aku hidup bahagia dengan Krisna. Namun, bagaimana caranya supaya aku bisa hidup bahagia dengannya.                                                                                                                                                                                               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD