Tina di mana?

1778 Words
Krisna Pov “Sial, aku enggak bisa konsen syuting.” Aku terus mengkhawatirkan ke adaan Tina. Setiap saat, aku selalu memperhatikan Tina di tempat duduknya. Perasaanku tidak enak, dia baru saja enakan, dan aku sudah memaksa dia untuk ikut ke sini. Seharusnya, aku biarkan dia pulang duluan. Sekarang, aku merasa sangat bersalah. Aku sangat takut, jika kondisi Tina akan semakin parah. Semalam, tidurnya juga tidak nyenyak karena terbangun karena mimpi buruk. Entah apa yang dia mimpikan, sampai dia mengeluarkan keringat dingin. “Hari ini panas sekali, apakah Tina akan baik-baik saja menungguku di sana.” Pikiranku selalu dipenuhi dengan kekhawatiran tentang Tina. Aku terus-terusan melihat Tina. “Cut!” Sutradara memberhentikan lagi adeganku. Sutradara dan para kru sepertinya sudah sangat lelah mengulang adegan yang sama berkali-kali. Dan semua karena ulahku yang tidak serius mengikuti dialog yang ada. Jika keadaannya seperti ini terus, aku tidak akan bisa konsentrasi dalam melakukan semua adegan ini. Apalagi, adegannya termasuk adegan sulit, harus naik turun tali berkali-kali. “Mas Krisna kenapa? Sutradara kayaknya marah banget tuh, Mas,” kata asistenku sambil merapihkan riasan. “Baiklah, aku harus cepat selesai. Ayo konsen-konsen.” Aku memberi semangat diriku sendiri. Jika aku terus seperti ini, Tina juga akan semakin lama menungguku. Dan itu juga bisa membuat kondisinya semakin buruk. Aku harus bisa menyelesaikan syuting lebih cepat dari biasanya. *** Akhirnya, sutradara memperbolehkan kami istirahat juga. Aku sudah sangat lelah dan lapar. Pasti Tina juga sama. Aku pun langsung berlari ke tempat Tina menunggu. “Di mana dia?” Betapa terkejutnya yang aku temui hanyalah bangku kosong. Aku pun mencoba meneleponnya. “Kring kring… kring kring… kriiiiiing… kring.” Aku mendengar suara ring tone handponenya Tina. Dan aku juga melihat tas Tina tergeletak di bawah kursi. Aku pungut tasnya dan aku lihat isi dalam tasnya. Ternyata handphonenya ada di dalam, begitu pula dengan dompetnya. Dua hal ini yang tidak mungkin Tina tinggal saat dia akan bepergian. “Kemana dia? Apa dia sedang mencari makan bersama Olin.” Aku melihat ke sana kemari. Aku juga tidak melihat sosok Olin, orang yang selalu mengurus makan para Kru. Tiba-tiba, aku melihat Olin dan beberapa orang datang ke tempat para Kru berkumpul. Dia membawa makanan dan minuman di dalam box. Aku berlari ke tempat Olin, ingin menanyakan tentang Tina. Namun, aku mulai khawatir, karena aku tidak melihat Tina balik bersama Olin. “Lin, Olin…” Aku menepuk pundak Olin yang sedang membagikan kotak kepada semua Kru. “Kenapa Mas Kris, Mas Krisna lapar? Punya Mas Krisna ada di sana Mas,” kata Olin sambil menunjuk ke tumpukan kotak yang ada di meja yang lain. “Enggak… saya mau nanya, Tina ikut cari makan sama kamu enggak?” tanyaku. “Enggak, Mas. Tadi pas saya mau jalan, Mbak Tina masih duduk di sana.” Olin melihat ke tempat duduk Tina. “Lho, kok, enggak ada?” lanjutnya. “Itu dia, saya bingung. Kemana dia pergi ya? Ada yang liat enggak?” Aku menanyakan pada Kru yang lain. Dan semua serempat menggelengkan kepalanya. Jelas mereka tidak ada yang tahu, mereka semua sibuk dengan bagian-bagian mereka masing-masing saat pengambilan gambar tadi. Aku pun pergi untuk mencari tahu, kemana Tina pergi. “Mas… Mas Krisna enggak makan dulu?” Olin bertanya sambil memberikan aku sebuah kotak dan teh dalam botol. Aku hanya menjawab dengan mengangkat sebelah tanganku. Aku memang lelah dan lapar, tetapi nafsu makan tiba-tiba menghilang bersamaan dengan Tina menghilang. Bagaimana aku bisa makan dengan tenang, saat aku tidak mengetahui apakah Tina sudah makan atau belum. Sekarang, dia ada di mana, aku sangat khawatir. Tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebat. Semua Kru langsung berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Sedangkan aku masih terdiam di tempat aku berdiri, pikiran semakin kacau menyadari hujan turun dengan sangat lebat. Otakku terus memikirkan Tina, tidak bisa memikirkan yang lain. “Tina, kamu di mana?” “Mas, Mas Krisna… Ayo Mas, hujan.” Mbak Linda tiba-tiba datang membawakan aku sebuah payung. Dan mengajak aku untuk mengganti baju. Dia sangat khawatir, jika aku jatuh sakit. Mbak Linda, Dia adalah salah satu asisten yang sangat pengertian padaku. Walaupun aku tidak menceritakan apa-apa kepada dia, dia pasti langsung tahu jika aku sedang dilanda masalah. Dan dia juga tidak ada cerewet menanyakan apa yang sedang terjadi padaku. Dia sangat tahu, aku orangnya pendiam. Aku cenderung tidak mau membicarakan masalah yang sedang aku alami. Aku selalu merasakan kegelisahan seorang diri, tidak mau merepotkan orang dengan masalah yang sedang aku alami. Aku dan Tina sebenarnya memiliki sifat yang sama. Kami berdua sama-sama pendiam dan tidak mau terbuka dengan orang. Kami selalu menerima apa yang terjadi pada diri kami, walau kami tetap berusaha memperbaikinya. Namun, kami tidak pernah mengeluh dengan semuanya. Tetapi beberapa hari ini, Tina tidak seperti Tina yang biasanya. Dia terlihat seperti orang lain. Tina tidak cerewet dan sangat penurut, namun tidak dengan Tina yang aku lihat setelah kami menikah. Apakah ini ada pengaruhnya dengan sindrom setelah menikah. Tetapi yang aku tahu, sindrom pra nikah. Aku tambah khawatir dengan kondisi Tina. Aku sudah mencari toko-toko yang ada di sekitar sini, tetapi dia tidak ada. Aku juga sudah mencoba menghubungi rumah, tetapi kata orang rumah Tina belum pulang. Aku juga sudah menelepon Mama, tetapi Tina juga tidak kembali ke sana. Sekarang, tempat mana lagi yang harus aku cari. “Oh ya, Ema. Tina sangat dekat dengan Ema.” Aku teringat salah satu teman dekat Tina. Langsung aku ambil handponeku, dan mencoba menghubungi nomor Ema. Tetapi, nomor Ema tidak juga bisa aku hubungi. Aku coba berkali-kali menelepon ulang Ema, namun hasilnya sama, tetap veronica yang menjawab teleponnya. Kemudian mataku tiba-tiba melihat sebuah kontak lain dan dia juga salah satu teman dekatnya Tina, Mas Pandu. Tetapi, aku ragu untuk menghubungi dia. Dan aku yakin Tina tidak sedang bersama dia. Waktu SMP dan SMA, kami bertiga selalu satu sekolah. Setiap ada Tina, Mas Pandu juga ada. Dia lebih tua dari kami, dia adalah kakak satu tingkat dari kami. Tetapi setiap istirahat, Mas Pandu selalu datang ke kelas untuk mengajak Tina jajan bareng ke kantin. Tina yang pendiam berada di sisi Mas Pandu yang sangat supel dengan orang, membuat Tina juga terkenal saat SMP dan SMA. Mas Pandu juga pernah menjadi ketua OSIS saat SMA. Dan banyak siswi perempuan yang tergila-gila sama Mas Pandu, tetapi aku tidak pernah mendengar dia pernah pacaran dengan perempuan mana pun. Satu-satunya perempuan yang pernah ada di samping Mas Pandu, hanya Tina seorang. Namun saat kuliah, Mas Pandu mengambil jurusan manajemen. Sedangkan kami mengambil jurusan yang sama yaitu bahasa. Dan mulai kuliah aku bisa lebih dekat dengan Tina. Saat masih ada Mas Pandu di samping Tina, aku tidak berani mendekati Tina. Mas Pandu tidak galak, tetapi aku kalah ganteng dari Mas Pandu. Namun setelah aku menjadi artis, kepercayaan diriku mulai tumbuh. Aku pun mulai berani mendekati Tina dan sedikit merubah sikapku menjadi agresif dan manja. Aku suka melihat wajah Tina tersipu malu saat aku melakukan sesuatu yang agresif, dan Tina tidak menolak atau marah. Sehingga, aku menarik kesimpulan Tina juga menyukaiku. Walaupun, setelah aku menyatakan perasaanku padanya sampai kami menikah kemarin, Tina tidak pernah bilang jika dia menyukaiku atau pun dia menerimaku atau tidak. Namun, sekarang itu tidak penting lagi. Tina dan aku sudah menikah sekarang. Aku hanya ingin membuat Tina bahagia di sampingku. “Tina… kamu di mana?” Aku melihat hujan yang semakin deras dan disertai dengan guntur yang mengelegar seperti mengguncang bumi. “Aku sangat khawatir sama kamu, Yang. Semoga kamu enggak kenapa napa ya.” Aku menggumam seorang diri, menikmati kegelisahan yang melanda hati. *** Hari sudah sangat gelap, namun belum ada tanda-tanda keberadaan Tina. Syuting pun akhirnya dihentikan, karena hujan tidak kunjung berhenti. Aku pun mengendarai mobilku untuk pulang ke rumah. Sebelum aku mengarahkan mobilku ke rumah, aku sempat mampir ke rumah Ema. Namun rumahnya kosong, tidak ada seorang pun yang membukakan pintu. Ema memang tinggal seorang diri, tidak punya orangtua dan saudara. Sebelum menikah, Tina sangat sering menginap di rumah Ema. Apalagi setelah mengalami kekerasan dari Mama. Aku terus membawa mobilku dengan kecepatan di bawah rata-rata dan mengambil jalur kiri. Aku berharap menemukan Tina yang sedang berjalan di pinggir jalan. Tina tidak membawa uang dan handpone, bagaimana cara dia bepergian. Bagaimana juga cara dia membeli makanan. Hari sudah sangat malam, aku khawatir dia belum makan apa-apa sampai sekarang. Seharusnya jika dia tidak membawa semuanya, tempat yang dia tuju pasti rumahku atau rumah Mama. Dengan memesan taksi, dan bayar saat sudah sampai di rumah. Tetapi di kedua tempat itu, Tina tetap tidak ada. Aku sangat cemas, apakah Tina pingsan di jalan. Lalu, dia dibawa ke rumah sakit. Namun, rumah sakit yang mana. Tiba-tiba handponeku berdering, ada sebuah panggilan masuk dari seseorang. Di layar tertera nama Mas Pandu. Kenapa dia meneleponku, aku mulai berpikir Mas Pandu mau menanyakan keadaan Tina. “Hallo, Mas…” Aku mengangkat panggilan Mas Pandu. “Hallo.” Nada suara Mas Pandu terdengar tidak bersahabat. “Ya Mas, ada apa?” “Kamu tahu rumah saya?” tanya Mas Pandu. “Iya, Mas. Saya tahu.” Aku pernah berkunjung ke rumah Mas Pandu saat kuliah. Dia diangkat sebagai manager di sebuah perusahaan terkenal. Sebenarnya saat itu, dia hanya mengundang Tina. Namun saat itu Tina sudah menjadi pacarku, walau hanya aku yang mengganggap Tina sebagai pacarku. “Kamu datang sekarang juga ke rumah.” Mas Pandu menyuruh aku untuk datang ke rumah dia sekarang juga. Ada apa, mengapa tiba-tiba dia menyuruhku seperti itu. “Iya, Mas.” Aku langsung menuruti perintahnya. Entah kenapa, firasatku berkata, Mas Pandu mengetahui keberadaan Tina. Aku langsung membalik arah menuju rumah Mas Pandu. Tidak sampai lima belas menit, aku sudah sampai di rumahnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke pintu rumahnya dan membunyikan bel rumahnya. Betapa terkejutnya aku, saat melihat Ema yang membukakan pintu rumah Mas Pandu. Sejak kapan Ema dan Mas Pandu jadi sedekat ini. “Malam, Mas Kris,” sapa Ema. “Malam.” “Ayo masuk.” Ema mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba dari ruang tengah, Mas Pandu keluar. Dari tampangnya terlihat dia sangat marah. Dia langsung bergegas melangkah ke tempat aku berdiri. “Kamu!” tiba-tiba Mas Pandu menarik kerah kemejaku dengan kasar. “Ada apa ini, Mas?” Aku bingung, tiba-tiba dia memperlakukanku seperti ini. “Sabar, Mas. Nanti Tina bangun.” Ema berusaha melerai kami. “Tina ada di sini?” tanyaku pada Ema. “Enggak perlu kamu pura-pura peduli kayak gitu.” Mas Pandu terlihat sangat marah padaku. “Sebenarnya ada apa, Mas?” tanyaku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Udah… ayo kita duduk dulu.” Ema berusaha menjadi penengah diantara kami. “Ma… sebenarnya Tina kenapa?” tanyaku pada Ema. “Tina ditemukan pingsan di tengah hujan dan sepertinya dia sedang dikejar oleh seseorang.” Ema mencoba menjelaskan keadaan Tina. “Trus sekarang Tina di mana?” Aku langsung berdiri untuk mencari Tina. Tiba-tiba Mas Pandu mencegatku, kemudian mendorongku dengan kasar. “Mas… Tina istri saya!” Aku tidak terima Mas Pandu melarang aku untuk menemui Tina. “Suami macam apa kamu, membiarkan Tina seperti ini. Bahkan dia tidak ingat pada kami, dan dia juga bilang kalau dia tidak pernah menikah dengan kamu. Sebenarnya kamu apakan Tina?” Mas Pandu menuduh sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya. “Maksud Mas apa?” tanyaku. “Jangan pura-pura tidak bersalah kamu.” Mas Pandu tetap menuduh aku melakukan sesuatu terhadap Tina. “Beneran Mas, saya tidak paham,” kataku. “Kamu!” hardik Mas Pandu. “Sudah-sudah, tenang dulu. Kita bicarakan pelan-pelan biar tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Ema berusaha membuat kami tenang. “Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?” Aku masih tidak mengerti situasi yang sedang terjadi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD