Tolong!

2051 Words
Pov Krisna Aku langsung berlari mencari keberadaan Tina. Berjam jam aku lalui tanpa melihat Tina di sampingku. Jika aku tidak memberikan perhatian yang penuh sekarang, besok pasti aku tidak punya waktu yang banyak yang bisa aku habiskan bersama Tina. Bulan madu yang sangat singkat. Bahkan, setelah menikah aku belum pernah merasakan ciuman yang biasa aku curi diam-diam saat kuliah dulu. Aku menjadi seorang artis bukan karena keinginan pribadi. Tina adalah alasan utama aku menjadi seorang bintang. Aku adalah seorang yang sangat pendiam dan pemalu. Karakter Aku dan Tina hampir sama, sama-sama pendiam. Namun, saat aku mulai dekat dengan Tina, entah kenapa tubuh ini selalu bergerak agresif. Dan Tina pun cenderung diam, tanpa respon saat menerima perlakuan agresifku. Namun, aku belum dapat mengartikan diamnya Tina. Dia menerima atau dia menolak.  Setelah menikah, harapanku adalah aku bisa lebih mesra dengan Tina. Setidaknya, ciuman yang biasanya aku curi secara singkat bisa aku dapatkan dengan sangat mesra. Namun, keadaan Tina malah berubah setelah menikah. Dia seperti orang lain. Dan dia seperti menolak semua aksi-aksi nakalku yang sering aku lakukan dulu.  “Itu dia…” Akhirnya aku menemukan dia sedang bermain air di tepi kolam renang. “Dor…” Aku mengejutkan Tina dan mendorong dia dari belakang. Setelah aku menjatuhkan ke dalam air, aku ingin sekali melihat wajah dia yang marah karena aku kerjai. Namun, sudah lama Tina masuk ke dalam air tetapi wajahnya belum juga muncul ke permukaan. Sedangkan, gerakan Tina seperti orang yang sedang tenggelam. Padahal, Tina sangat jago renang. Dia salah satu pemenang dalam pertandingan lomba renang di kampus.  “Tin… Kamu jangan becanda gitu. Ayo keluar. Iya, aku ngaku salah.” Aku terus melihat dia sambil berjongkok di tepi kolam.  Tina tidak juga keluar dari dalam kolam renang, ini sudah lama. Aku mulai khawatir, dan melompat ke dalam kolam untuk segera menangkapnya. Setelah aku berhasil menggapai tubuh Tina, dia langsung memelukku dengan sangat erat. Bahkan, kedua kakinya mengapit dengan sangat kencang di perutku. Aku yang tadinya gelisah mendadak menjadi senang melihat Tina yang seperti ini.  “Jadi… kamu seperti ini karena mau memelukku,” kataku sambil membalas memeluk dirinya.  “Tolong…” terdengar suara Tina dari belakang leherku. “Ini kan enggak dalam sayang.” Saat ini aku sedang berdiri menapakan kaki di dasar kolam, dalamnya hanya sebatas dadaku. Dan itu artinya masih di bawah kupingnya Tina. Tetapi kenapa Tina seperti sangat ketakutan. “Tenang, sayang. Ada abang Krisna.” Aku membisikan pelan di kupingnya.  Dan spontan dia langsung melepaskan pelukannya. Tina lagi-lagi bergerak tidak beraturan seperti tidak bisa berenang.  “Enggak usah pura-pura gitu kalau mau dipeluk,” kataku sambil melihat Tina yang masih gelagapan di dalam air. “Tolong… tolong…” suara Tina terdengar tidak jelas tercampur air. Aku langsung menarik pinggangnya agar wajahnya berada di atas permukaan air. Kemudian, tangan Tina langsung mengalung erat di leherku. Wajah Tina sangat dekat denganku. Terdengar napas tidak beraturan dari mulutnya. Aku sempat heran kenapa Tina harus pura-pura tidak bisa berenang. “Kamu mau pura-pura sampai kapan?” “Bilang saja kalau mau di peluk, enggak usah pura-pura tenggelam” Aku mengoda Tina dan membelai lembut punggungnya.  Tina terlihat terkejut menerima belaianku di punggungnya. Dia seperti ingin pergi menjauh dari pelukan ini. Tetapi dia urungkan, dia terlihat pasrah di dalam pelukanku. Wajahnya terlihat merah merona saat matanya tidak sengaja bertemu dengan mataku. Dan dia kembali bersembunyi di balik leherku. Hembusan napas dia yang sudah mulai teratur, terasa hangat di sana.  Aku kembali memainkan tangan nakalku. Aku masukan tanganku ke dalam baju Tina yang sudah basah karena air. Aku mainkan tanganku di pinggangnya. Tiba-tiba Tina menjauhkan wajahnya dari leherku dan membuat jarak dengan meletakan kedua tangannya di depan dadaku. Namun, tangannya masih memegang erat bahuku tidak mau melepaskanku. Wajah terlihat marah dengan tingkah nakalku. Wanita yang ada dihadapanku seperti bukan Tina yang aku kenal. Dulu Tina tidak pernah marah. Kalaupun dia tidak suka, dia pasti bilang dengan pelan. Tetapi, Tina yang aku kenal setelah menikah, terlalu mudah marah dan suka teriak. Seperti bukan Tina yang selalu lembut. Aku mencoba untuk mendekati wajahku ke wajahnya, agar wajah cemberutnya bisa berubah. Dan membuat dia bicara kalau dia tidak suka. Aku sangat rindu Tina, padahal kami sering bertemu. Entah perasaan apa ini, walaupun Tina ada di depanku aku tetap merasa sangat rindu dengannya. Aku sangat ingin mengecup bibirnya yang merah dan ditambah seksi karena basah karena air kolam.  Aku lepas salah satu tanganku dari pinggangnya. Tiba-tiba dia mencengkram kedua bahuku dengan sangat kuat, seperti takut terlepas. “Tenang sayang, abang enggak akan melepaskan dirimu.” Aku mulai meraba pipinya yang lembut. “Abang…” katanya dengan senyum mengejek. “Sejak kapan jadi abang-abangan,” lanjutnya. “Sejak di dalam kolam. Sepertinya seru kalau pengantin baru panggilannya jadi abang dan ade.” Aku menggoda Tina, dan menunggu reaksinya. “Ogah banget…” Tina masih sangat kesal. Dan bibir bawahnya dia majukan ke depan. Ulahnya membuat aku makin gemas dan ingin segera mencium bibirnya yang nakal ini. “Ehem…” suara deheman berat terdengar dari kejauhan. Kemudian, aku melihat mama dan papa sedang memperhatikan kami dari pinggir. “Kalau mau mesra mesraan jangan di sini, nanti masuk angin,” teriak Mama. “Tuh kan.” Tina memukul pelan dadaku. “Lepasin nih.” Godaku. “Eh… jangan…” Tina mengalungkan tangannya di leherku dengan kencang dan menjepit perutku dengan kedua kakinya, seperti sedang menggedong anak kecil. Aku langsung bergerak menuju tepian. Tina masih tetap menempel tidak mau bergerak sama sekali. Sesampai di tepi, Tina masih terlihat syok. Entah apa penyebabnya, syok karena habis berenang atau syok menempel lama pada diriku. Namun, harusnya kedua-duanya bukanlah yang bisa membuat seorang Tina syok.  “Sayang kamu kenapa?” tanya Papa pada Tina. “Enggak Pa, Tina hanya takut,” jawab Tina. “Takut kenapa? Kan ada abang sayang,” godaku. Lagi-lagi Tina memajukan bibir bawahnya, matanya terlihat sangat kesal. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku sangat senang membuat Tina merajuk seperti ini. Biasanya, Tina tidak pernah memperlihatkan semua sikapnya. Aku tidak pernah bisa membedakan kapan Tina kesal, senang dan sedih. Dia hanya diam tanpa ekspresi. Namun, Tina yang sekarang sangat mudah menunjukan emosinya. Aku makin suka. “Udah… sana ganti baju,” kata mama, aku pun keluar dari dalam kolam.  “Gimana persiapannya?” Mama berbisik pelan padaku. “Siap ma, sudah rapih.” Aku mengacungkan dua jempolku. “Ya, udah sana. Semoga berhasil ya, “ kata mama. Aku berlari mengejar Tina yang sudah berjalan lebih dulu. Namun, tiba-tiba aku lihat dia berhenti dan melihat sesana kemari seperti sedang kebingungan. “Lagi cari apa, yang,” kataku sambil membuka bajuku yang sangat basah. “Aaaa… “ teriak Tina saat melihat diriku yang tidak mengenakan baju. “Kenapa?” tanyaku heran.  Ini bukan kali pertamanya Tina melihat aku seperti ini. Sewaktu di kampus setelah olahraga, aku sering membuka kaos olahragaku di depannya. Dan saat kami lomba renang, Aku selalu tidak mengenakan atasan. Namun sikap Tina seolah-olah dia baru pertama kali melihatku seperti ini. “Jangan sembarangan buka baju, napa!” katanya seraya menutup matanya dengan kedua tangannya. “Kenapa emangnya, kitakan suami istri,” bisikku di telinganya. Tina melotot setelah mendengar itu. “Ya, udah ayo kita cepetan ganti baju. Dingin. “ Aku berjalan cepat kemudian menaiki tangga menuju kamar di lantai dua.  Aku hentikan langkah kakiku, karena aku tidak kunjung melihat Tina di belakangku. Aku menuruni kembali beberapa anak tangga yang aku sudah naiki. Aku mencari keberadaan Tina dengan kembali ke jalan menuju kolam renang. “Tina…” Aku berteriak saat menemui Tina tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Badan Tina sangat dingin. Padahal, tadi kita di dalam kolam tidak terlalu lama. Aku langsung mengangkat Tina dan membawanya ke kamar. Aku sangat cemas, semoga Tina tidak kenapa-kenapa. ***  Amerlin Pov “Aduh… kepalaku pusing banget.” Aku memegangi kepalaku yang terasa sangat berat. Aku mencoba untuk bangun, tetapi badanku terasa sangat kaku. Badanku juga terasa sangat panas, sepertinya aku demam. Aku lihat sekeliling ruangan. Di mana-mana terdapat balon-balon yang menggantung di langit-langit ruangan. Beberapa lilin aroma terapi juga berjejer di beberapa sisi ruangan. Namun, api lilinnya sudah pada padam semua, hanya meninggalkan aromanya saja. “Ini di mana?” Aku memperhatikan ruangan yang sangat asing. Terakhir yang aku ingat, aku sedang berjalan mengikuti Krisna. Namun, setelahnya pandanganku menjadi gelap. Dan sekarang, aku berada di sini. Jika Krisna membawaku ke kamar ini, pasti ini kamar dia. Namun, mengapa ruangan ini di dekorasi seperti ini. Siapa yang sedang berulangtahun. Atau jangan-jangan. “Sekarang dia di mana?” Aku mencari orang yang dari tadi membuat aku naik darah. Sejak di dalam kolam renang, dia selalu mencari kesempatan di dalam kesempitan. Dia juga sangat suka berkelanjang d**a di depanku, membuat pemandangan jadi enak. Namun, jika tidak kuat iman bisa-bisa aku terbawa oleh rayu manisnya. Aku harus bisa bertahan dari permainan sandiwara ini. “Sayang… kamu udah bangun?” Suara berat yang menakutkan, hampir sama menakutkannya saat mendengar suara hantu. “Ini, abang bawain sop panas.” Terlihat di tangan Krisna semangkuk sup yang masih mengeluarkan asap. “Stop deh, panggil abang.” Aku sangat terganggu saat mendengar kata ‘abang’ keluar dari mulut Krisna. “Biar romantis kan.” Krisna duduk di sebelahku dan meletakkan sup di atas nakas. “Badan kamu makin panas, yang,” kata Krisna sambil meletakan tangannya di keningku. “Kamu pakai baju dulu gih. Habis itu baru makan sup, trus minum obat.” “Pakai baju?” Aku langsung melihat tubuhku yang dari tadi tertutup selimut.  Aku baru sadar hanya mengenakan bathrobe saja. Kemudian, aku periksa juga dalamanku, ternyata aku juga tidak mengenakannya. Kapan aku membuka semua bajuku. Terakhir, bukannya bajuku basah semua karena tercebur kolam renang. “Siapa yang ganti bajuku?”  “Ya, siapa lagi.” Krisna menjawab dengan santai sambil mengaduk sup, agar cepat dingin. “Bukan, kamu kan?” tanyaku sambil menaikan selimutku sampai tertutup semua badanku. “Abang… jangan kamu kamu an,” kata Krisna sambil memasukkan sup ke dalam mulutku.  “Tapi…” Aku tidak bisa membalas ucapan Krisna, dia terus memasukan sup ke dalam mulutku. “Emmm… sudah… cukup.” Aku mencoba menghentikan Krisna untuk terus menyuapiku tanpa henti. “Dikit lagi, yang.” “Enggak ah, aku udah kenyang.” “Adek udah kenyang….” Krisna mengelap ujung bibirku dengan jarinya. Ini orang, sangat susah diatur. Sikap agresifnya, kapan bisa dia rem ya. Aku belum bisa menerima status dia sebagai suamiku. Bagaimana pun aku tidak pernah merasa sudah menikah dengan dia. Jika aku harus bersayang sayang dengan orang asing, itu bukan diriku. Aku salah satu orang yang tidak mau berhubungan di luar nikah. Bahkan, untuk menjaga diri dari para hidung belang, aku mempelajari bela diri. Namun, mengapa saat aku berada di dekat Krisna tubuh ini terasa luluh, seperti berat menolak belaian Krisna. Antara tubuh dan hatiku, mengapa aku merasa suka tidak sejalan. “Kamu lagi ngelamunin apa, yang,” kata Krisna sambil memasukan obat ke mulutku. “Enggak… aku hanya risih ada sama kamu di kamar ini,” kataku. “Kenapa, aku kan suamimu. Ya sudah pasti aku ada di sini. Aku kan juga tidur di sini.” Krisna terlihat heran dengan ucapanku. “Aku enggak biasa ada laki-laki di sampingku.” “Karena itu, kamu harus belajar terbiasa ada laki-laki di sampingmu.” Krisna tiba-tiba masuk ke dalam selimut yang sama denganku. Spontan, aku langsung keluar dari dalam selimut dan merapatkan bathropeku.  “Kamu mau kemana sayang.” Terlihat senyum menggoda menghiasi wajah Krisna. Aku terus berjalan ke arah kamar mandi dengan membawa baju tidur yang ada di tepi tempat tidur. Sesampainya di dalam, aku lihat betapa tranparannya baju tidur ini. Tidak mungkin aku mengenakan baju seperti ini, sama saja mempertontonkan seluruh tubuhku. Kemudian, aku teringat ucapan Krisna tadi, bahwa yang membuka seluruh baju basahku adalah dia. “Berarti, dia sudah melihat seluruh badanku.” Aku melihat diriku seutuhnya dari dalam cermin. “Tidak!” teriakku. “Ada apa, yang.” Krisna tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi. “Aaaaa… keluar!” aku memegang rapat jubahku sambil memutar membelakangi Krisna. “Kamu enggak papa, yang.” Krisna mendekati diriku. “Enggak, tolong keluar!” Aku masih sangat malu melihat Krisna. “Oke, aku keluar. Jangan lama-lama ya, nanti tambah masuk angin.” Aku hanya membalas dengan anggukan, tanpa melihat wajah Krisna. Aku masih sangat malu untuk bertemu dengan Krisna. Dia sudah melihat seluruh tubuhku, lalu apa lagi yang sudah dia lakukan saat aku tidak sadar. Pikiranku entah melayang kemana, bayangan yang tidak-tidak terlintas di benakku. Aku bertambah pusing memikirkan hal ini. Padahal, kondisi badanku sendiri sedang tidak fit. Bagaimana aku harus bersikap di depan Krisna nanti, aku bingung, takut dan malu.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD