Siapa mereka?

1877 Words
Rumah bertingkat tiga dengan gaya modern, sekarang aku sudah ada di halamannya. Mobil yang aku tumpangi belum lama memasuki pekarangan rumah ini. “Rumah siapa ini?” tanyaku di dalam hati sambil terus mengamati setiap sudut pekarangan rumah ini. Rumah yang mewah dan indah. Namun, aku tidak tahu rumah siapakah ini. Krisna bilang dia mau mengajak aku ke rumah orangtuaku, tetapi mengapa Krisna membawaku ke sini. Siapa yang akan Krisna kenalkan kepadaku. Apakah ini rumah orangtua Krisna. Apakah Krisna mau mengajak aku bertemu orangtuanya terlebih dahulu. “Kenapa kamu diam saja? Ayo kita turun,” ajak Krisna. “Biasanya kalau udah sampai di rumah kamu langsung lari, lupa kalau kamu sedang bersamaku. Aku jadi ingat pertama kali datang ke sini sebagai pacar kamu. Aku ditinggal begitu saja di dalam mobil, aku seperti driver online yang kamu sewa. Bahkan, mama juga mengira aku seperti itu.” Krisna menceritakan panjang lebar kisahnya, namun tidak aku mengerti. “Mama kamu?” tanyaku. “Ya mama kamu, sayang.” Krisna mencubit pelan hidungku. “Kamu tuh ya, suka melupakan semuanya,” lanjut Krisna. Aku masih terdiam di depan pintu mobil yang sudah tertutup. Aku terus melihat-lihat sekitarnya, namun tidak ada satu orang pun yang berada di halaman rumah ini. “Mama kamu di mana?” tanyaku. Aku bingung harus menanyakan apa kepada Krisna. Karena Krisna tidak juga berjalan menunjukkan jalan masuk rumah tersebut. Halaman rumahnya sangat luas, bahkan pos satpamnya saja tidak terlihat dari tempat aku berdiri sekarang. Pintu masuk rumahnya juga tidak terlihat, karena banyaknya pepohonan rindang yang menutupi penglihatan. “Kenapa kamu nanyain mamaku? Mamaku ya di rumah.” Krisna terlihat bingung dengan pertanyaanku. “Lalu ini rumah siapa?” tanyaku. “Ini rumah kamu sayang, masak baru beberapa hari kamu enggak ke sini, kamu udah lupa,” kata Krisna. “Tapi….” Aku sulit mengatakannya kepada Krisna. “Ayo sayang kita masuk,” ajak Krisna sambil menarik pinggang dan menuntunku ke pintu masuk. “Ternyata di sana pintunya, baru kelihatan,” kataku pelan. “Apa yang kelihatan?”  “Enggak….” Kami terus berjalan berirama mengikuti jalan di depan rumah yang megah ini. Namun, ini bukan rumah orangtuaku. Rumah mama memang luas seperti ini, tetapi tidak tingkat. Mama melarang rumahnya dibangun bertingkat, karena ketiga anak-anak mama umurnya tidak jauh berbeda. Jadi mama kewalahan harus menjaga tiga anak kecil dengan umur yang berdekatan. Jika rumahnya bertingkat dan para bayi bermain naik turun tangga membuat mama bisa serangan jantung mendadak.  Tangan Krisna masih tetap berada di pinggangku. Aku sangat risih, ingin segera aku berlari menjauh. Setidaknya berjalan lebih cepat dari Krisna, agar tangannya bisa lepas dari pinggangku. Namun, jika aku berjalan duluan, aku tidak mengetahui arahnya. Mau tak mau, aku membiarkan Krisna. “Krisna….” Teriak seorang perempuan yang berlari ke tempat kami. Dilihat dari paras wajahnya, umurnya sekitar empat puluh tahunan. Namun, dia masih sangat cantik, sepertinya dia sangat suka melakukan perawatan wajah. “Mama….” Krisna ikut berteriak menyambut pelukan perempuan itu. “Anak mama sayang, mama kangen,” kata perempuan itu sambil memeluk erat Krisna, dan mencium pipi Krisna. Sehingga, bekas lipstiknya tertinggal di pipi Krisna. “Tu kan, mamanya Krisna,” kataku pelan. Perempuan itu mendengar apa yang aku katakan dan langsung melihat ke arahku. “Ya tentu saja mama kamu dong, sayang,” Perempuan itu tiba-tiba memelukku. “Mama kan, mau menganggap mantu mama juga anak dong, apalagi Krisna ganteng,” Perempuan itu tersenyum centil dan mengedipkan sebelah matanya ke Krisna. “Kamu sehat sayang? Gimana malam pertamanya?” tanya perempuan itu. Seketika mukaku menjadi merah, kenapa ada orang yang berani menanyakan malam pertama. Itu adalah hal yang tidak mungkin diceritakan. Siapa perempuan ini? “Ayo, masak sama mama sendiri malu,” katanya. “Mama… sendiri?” Aku bingung, kenapa perempuan yang tidak aku kenal mengaku mamaku.  “Ya udah, kalo kamu enggak mau cerita, mama tanya sama Krisna aja.” Perempuan itu kembali bergelayutan manja di tangan Krisna. Entah kenapa, aku menganggap perempuan ini sangat menyukai Krisna. Namun, bukan menyukai terhadap anak. Sikap manjanya, bukan sikap manja ibu terhadap anaknya. Dan muncul perasaan aneh di dalam hatiku. Perasaan panas dan sangat menyesakan d**a. Perasaan apa ini. “Ayo, Krisna. Kita masuk.” Perempuan itu menarik Krisna untuk masuk ke dalam rumah.  “Nanti ceritain ke mama ya ….” Perempuan itu berbisik pelan ke Krisna, namun masih sayup-sayup terdengar olehku.  “Tina….”  Seorang lelaki gagah, namun sedikit beruban di sekitar pelipisnya berteriak memanggil nama Tina. Dia berlari ke arahku dan tiba-tiba memelukku.  “Siapa om-om ini?” tanyaku di dalam hati. “Papa kangen banget sama kamu sayang,” laki-laki itu tiba-tiba menciumi pipi kanan dan pipi kiriku. “Jangan terlalu lebay, baru juga kemarin dia menikah,” kata orang yang masih setia memegangi tangan Krisna. “Kamu kayak ibu tiri aja sih, Mam. Anaknya pulang, tapi yang dipeluk siapa?” laki-laki itu terlihat tidak senang dan tidak mau kalah. “Ayo sayang.” orang ini yang mengaku Papa mengajak diriku untuk ikut dia masuk ke dalam.  Siapa sebenarnya kedua orang ini. Mereka orangtua Krisna atau orangtua Tina?  Rumah bagian dalam tidak kalah indah dari bagian luarnya. Interior rumah yang sangat elegan dan masih bernuansa modern. Kami sekarang sudah berada di ruang tengah, dan sepertinya ini adalah ruang keluarga mereka. “Kamu kenapa sayang? Seperti baru pertama kali ke sini aja? Ini kan rumah kamu,” kata pria yang ada di sampingku. “Sudahlah, Pap. Mungkin Tina sudah tidak menganggap ini rumah dia lagi, jadi pura-pura jadi orang asing di sini,” kata wanita itu. “Sini sayang, kamu duduk samping mama.” Wanita itu langsung berubah sikap saat bicara dengan Krisna. “Sabar ya, mama kamu emang seperti itu. Dia sangat menginginkan anak laki-laki.”  Dari penjelasan pria ini, berarti mereka berdua adalah orangtua Tina. Dan mereka menganggap aku Tina. Atau ini bagian dari skenario orangtua asliku. Membuat aku seolah-olah orang lain, agar aku mau merasakan kehidupan berumah tangga bersama Krisna. Dan setelah mereka melihat aku bahagia dengan Krisna, baru mereka akan muncul menceritakan kebenarannya. “Aku tidak akan semudah itu masuk jebakanmu, Ma,” kataku pelan. “Jebakan apa?” tanya Papa -Papa Tina- “Enggak, Pa.” Aku berusaha mengikuti alur cerita yang sudah orangtuaku rancang. “Sayang, mama udah menyewa orang dan rumah semewah ini jika aku gagalkan usaha Mama begitu saja,” kataku di dalam hati sambil tersenyum sinis melihat sandiwara yang sudah Mama siapkan. “Kakak kakakku, mereka pada di mana, Pa?” “Sttt… kamu ngomong apa!” Papa seperti menyuruh aku memelankan suaraku. “Emang kenapa, Pa?” “Kamu ya, kalau Mama kamu sampai denger apa yang kamu tanyakan, bisa marah besar dia.” Ada apa sebenarnya. Mengapa aku tidak boleh menanyakan tentang kakak-kakakku. Bagaimana pun, aku kangen dengan Kak Zul dan Kak Adri. Selama aku tinggal sendiri jauh dari rumah aku jarang bertemukan dengan mereka. Saat main ke rumah juga, aku hanya bertemu dengan mama dan papa. Dan pertemukan kami terakhir, membicarakan tentang pernikahanku. Mereka sangat ingin aku segera menikah. Karena Kak Adri mau menikah, jika aku mau menikah duluan. Namun di sini, di rumah ini, semua orang yang aku harap bisa ditemui, tidak ada satupun. Jadi, aku harus berpura-pura jadi Tina. Seorang perempuan yang sudah menikah dengan Krisna. Dan mempunyai mama yang lebih sayang mantunya daripada anak aslinya. Hanya saja, Tina juga memiliki Ayah yang baik dan selalu melindunginya. “Kamu kenapa diam aja di situ, sayang?” tanya Krisna kepadaku. “Sini dong.” Krisna memintaku untuk duduk di samping dia. Mama yang sedang menuangkan teh untuk Krisna, melihat aku dengan pandangan dingin. Sebenarnya, Tina punya salah apa, sehingga mamanya sampai sedingin ini sama dia. Namun, untuk apa juga aku pikirkan, ini kan hanya sandiwara rancangan Mama. “Kalian mau bulan madu kemana?” tanya Mama. Krisna yang sedang meminum teh, tiba-tiba tersedak. “Kamu enggak apa apa sayang?” Mama menepuk nepuk pelan punggung Krisna. “Enggak, Ma. Enggak papa.” Krisna menjawab sambil sedikit terbatuk-batuk.  “Kita enggak bakal bulan madu, Ma,” Aku coba menjawab pertanyaan Mama. “Hah… kenapa?” tanya Mama. “Krisna besok sudah mulai syuting, Ma,” jawabku. “Film yang lagi Krisna peranin, lagi kejar tayang, Ma.” Krisna mencoba menjelaskan. “Jadi, mama kapan punya cucu?” tanya Mama lagi. Dan kali ini, aku yang tersedak dengan minumanku. Dan Krisna pun mengusap mulutku dengan tisu yang dia ambilkan untukku. “Cu… cu, Ma?” tanyaku. “Iya, cucu. Kamu udah enggak mau tinggal di sini setelah menikah, sekarang kamu juga mau menunda punya anak. Sampai kapan kamu enggak mau turuti kemauan mama.” Wanita ini terlihat sangat kesal. “Wah, benar-benar akting yang sangat bagus. Dari mana mama dapat artis-artis yang pandai akting seperti ini ya?” tanyaku di dalam hati sambil menahan tawaku. “Tenang, Ma. Secepat mungkin mama bakalan punya cucu,” Krisna mencoba menenangkan hati perempuan itu. “Uhuk… uhuk…” Aku kembali terbatuk-batuk mendengar perkataan Krisna. Padahal, aku tidak sedang minum apapun. “Secepatnya,” Aku mengulang perkataan Krisna. “Iya kan, sayang,” Krisna merangkul diriku dengan manja. “Udahlah, Ma. Biarkan mereka menghabiskan waktu muda mereka dulu, mereka kan masih pada muda,” kata Papa. Aku langsung mendapatkan udara yang segar, setelah mendengar perkataan Papa. Walaupun, dua lawan satu. Namun, masih ada satu orang yang mendukungku di sini. Ingin rasanya aku mengalirkan air mata bahagia, karena dukungan Papa. “Apanya yang masih muda, Pa. Tina udah dua puluh empat tahun, usia pas untuk punya anak,” kata Mama. “Hah, dua puluh empat?” Aku terkejut saat Mama menyebutkan umurku. “Iya, kamu pikir umur kamu sekarang berapa?” Mama terlihat kesal. “Tiga puluh lima,” jawabku datar. Tiba-tiba semua orang di ruangan ini tertawa, kecuali mama.  “Kamu jangan becanda, Mama lagi serius. Kamu udah enggak muda lagi… makanya kamu harus segera punya anak. Usia yang pas untuk melahirkan adalah sebelum umur dua puluh lima tahun, kamu tahu enggak?” Mama menjelaskan masih dalam keadaan kesal. “Tapi aku juga enggak becanda, umurku benaran tiga puluh lima,” kataku. “Stttt… kamu jangan ngebantah mama kamu terus. Lagian, kalau cari umur yang mudaan napa, mama kamu aja umurnya baru empat puluh tahun,” kata Papa sambil menahan tawa. Empat puluh tahun. Wanita ini umurnya baru empat puluh tahun, dan sudah punya anak usia dua puluh empat tahun. Beda lima tahun usianya denganku. Berarti dia menikah umur berapa. Dan punya anak umur berapa.  “Kamu denger enggak?” tanya Mama. “Iya, Ma,” Aku mencoba mengikuti alur cerita mereka. “Bagus, Mama mau secepat mungkin mendengar kabar bagus dari kalian,” kata Mama lagi dengan nada yang sudah sedikit reda dari marahnya. “Iya, Ma,” jawabku. Aku melihat senyuman di wajah Krisna, setelah aku menjawab iya. Semoga Krisna tidak salah tanggap tentang iya yang aku katakan. Namun, senyuman Krisna yang sangat berseri mengandung arti lain di dalamnya. Semoga saja, Krisna tidak mempunyai niat untuk segera mengabulkan permintaan Mama. Krisna masih punya janji yang harus dia tepati. “Ayo, ini sudah siang. Kalian enggak pada lapar?” tanya Papa. “Oh iya, mama sampai lupa,” kata Mama. “Ayo Tina, bantuin si Mbok dan si Mbak siapkan makan siang.” Mama meminta aku untuk ikut dengannya menyiapkan makanan. Padahal, mama kandungku tidak pernah menyuruhku untuk masuk dapur. Namun, di sini Mamanya Tina malah meminta aku untuk menyiapkan makanan. Mama benar-benar berniat merubahku menjadi seorang istri dan ibu yang bisa mengatur rumah. Apa Mama menyesal terlalu memanjakan aku sebelumnya. Setelah meja makan tertata rapih, Mama meminta aku memanggil Papa dan Krisna. Di sana aku lihat mereka sedang asyik mengobrol. Entah, apa yang mereka obrolkan. Mungkin obrolan kerjaan, tetapi Papa bukanlah seorang artis.  “Oh iya aku lupa, mereka semua di sini kan artis bayaran Mama,” dumelku pelan. “Krisna, Papa, ayo kita makan,” ajakku. “Kamu gimana sih, masak panggil suami dengan nama,” kata Papa sambil mencubit pelan pipiku. “Sayang….” Krisna menggerakkan mulutnya tanpa suara. “Sa… yang, ayo kita makan,” kataku terpaksa. “Nah, harus begitu. Mama sama Papa waktu jadi pengantin baru masih panggil sayang sayangan sampai kamu lahir,” jelas Papa. “Sekarang juga masih suka kok, sayang,” kata Mama yang mendengarkan obrolan kami. “Tuh, kan.” Kata Papa. Semua orang tertawa, meramaikan suasana di meja makan. Namun, hanya aku sendiri yang tidak nyaman dengan sandiwara mereka. “Sudah sudah, ayo kita makan. Tina, kamu pimpin doa,” pinta Mama. Suasana meja makan mulai hening dan kami sibuk dengan santapan kami masing-masing. Sampai pertanyaan mama yang tiba-tiba membuat suasana menjadi berubah. “Hari ini, kalian menginap di sini ya?” tanya Mama. “Tapi….” Aku mencoba menolak. “Ini perintah,” tegas Mama.                                                                                                       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD