Terlambat Pulang - Jesika

1457 Words
Siapa yang tidak senang jika diikuti oleh cowok yang kalian suka? Aku yakin sekali tidak ada orang yang seperti itu. Contohnya aku, baru saja diikuti oleh Samuel di IG, aku sudah lompat-lompat kegirangan di warung Mpo Rodiyah. Untung saja tidak ada orang di sini, hanya aku dan bangku serta kursi kosong yang menemani. Kalau sampai ada orang yang baru datang, aku pasti sudah malu banget. Seorang Jesika si kutu buku SMA Angkasa sedang melompat-lompat kegirangan karena IG-nya di-follow oleh Samuel si cowok paling keren di SMA Angkasa. Oke, itu adalah rumor paling menggelikan jika sampai terdengar di telinga seluruh warga sekolah. Kalau sampai hal itu terjadi, hal yang harus aku lakukan pertama kali adalah izin untuk pulang sekolah awal dengan alasan sakit perut. Dari pada aku harus menerima malu yang begitu berat, lebih baik aku pulang saja, bukan? Setelah kepergian Vina, aku tidak langsung pulang jadinya. Aku memilih untuk menunggu jemputan ojek di warung Mpo Rodiyah. Tentu saja, seorang diri. Aku tegaskan sekali lagi, seorang diri tanpa ada sosok manusia yang menemani. Tidak perlu tertawa, aku tahu kalau aku sedang jomblo. Jadi, jangan mengejekku juga! Hal yang aku lakukan dari tadi hanya memainkan permainan di ponsel dan minum es. Jangan pikir aku kutu buku yang tidak tahu kehidupan permainan di ponsel, ya! Aku justru tahu banyak tentang permainan di sana. Aku jamin kalau aku dan murid SMA Angkasa dijejerkan, aku lebih banyak tahu mengenai permainan di ponsel. Kalau mereka mau turnamen, aku siap membantunya juga. Sayangnya aku begitu malas untuk ikut hal-hal yang seperti itu. Omong-omong, kenapa ojek lama sekali datang, ya? Perasaan jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, mengapa dia lama sekali sampainya? Apa jangan-jangan ojek ikut demo tukang ojek pengkolan yang minta kenaikan tarif dari penumpang? Aduh, jadi semakin lama aku menunggu di warung, deh. Sebentar, apa yang aku lihat itu Fajar? Dia mau ke mana? Bukannya dia tadi sudah pulang? Aku panggil saja kali, ya? Hitung-hitung bisa menemani aku di warung Mpo Rodiyah. “Fajar!” teriakku kencang. Sepertinya dia tidak mendengar panggilanku. Tidak masalah, aku juga tidak begitu membutuhkannya sekarang. Aku hanya butuh untuk teman di sini saja, sambil menunggu ojek yang lama datangnya. Tidak lama kemudian, Fajar memasuki warung Mpo Rodiyah. Dia berjalan menghampiriku dan duduk di depanku. “Lo masih di sini, Jes? Gue kira udah balik dari tadi. Vina sama Berly ke mana? Mereka udah pulang dulua, ya?” “Gue masih di sini nungguin ojek, nih. Lama banget datengnya. Si Berly udah pulang tadi dianterin Gibran. Kalau Vina katanya mau ke ruang OSIS sebentar, habis itu dia langsung pulang. Lo sendiri bukannya tadi udah pulang? Kenapa balik lagi ke sini?” tanyaku pada Fajar. Fajar langsung menggaruk tengkuk kepalanya. Bibirnya tersenyum menampilkan jejeran giginya yang rapi. Seperti orang yang menyembunyikan sesuatu saja. Apa yang dia sembunyikan, ya? “Gue mau ke kelas, ambil buku biologi yang ketinggalan. Gue belum buat laporan awal untuk praktikum besok. Si Berly dianterin sama Gibran? Ngapain itu anak dianter Gibran? Apa jangan-jangan gibran ambil kesempatan tadi buat deketin dia? Omong-omong, Lo udah buat laporan awalnya, Jes?” tanya Fajar. Oh, dia ingin mengambil buku biologi saja. Aku pikir dia ingin apa gitu ke sekolah lagi. Mengapa gelagatnya tadi mencurigakan? Dasar Fajar. “Gue nggak tau alasan Gibran nganter Berly itu apa. Dia maksa Berly untuk dianterin doang, terus mereka langsung pergi. Si Berly soalnya kerja, terus balik malem. Alasannya, sih, biar Berly nggak terlalu capek jalan kaki. Gue udah buat dari minggu lalu laporan awalnya. Oh iya gue belum cari jangkrik. Lo udah cari jangkrik, Jar?” Fajar menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar. “Si Berly kerja di mana? Terus balik jam berapa? Hebat ya dia, sampai segitunya buat keluarga. Gue belum cari jangkriknya. Paling nanti pulang dari sini gue mampir ke kebon deket rumah. Nanti gue cari yang banyak. Jaga-jaga kalau misalnya nanti lo nggak dapet, besok bisa minta ke gue.” Beruntungnya aku memiliki teman sebaik Fajar. Kalau begitu aku tidak perlu repot-repot mencari jangkrik nanti. Besok minta saja pada Fajar, dia juga sudah mengatakannya. Namun, itu sama saja aku memanfaatkan orang lain. Tidak, tidak boleh! Aku harus mencari dahulu nanti. Mudah-mudahan saja aku bisa mendapatkan satu atau dua ekor jangkrik. Itu akan memudahkan walaupun hanya sedikit. “Si Berly paling balik jam sepuluh atau jam sebelas. Ya begitu Berly, dia emang baik banget buat keluarga. Terima kasih. Nanti gue coba cari dulu, deh. Kalau misal besok nggak dapet baru gue minta, ya?” tanyaku memastikan. “Oke, Jes. Gue ke sekolah dulu, ya? Bye!” Seperginya Fajar, aku jadi kesepian lagi. s**l banget sepertinya hari ini. Seharusnya aku membawa penyuara jembala tadi, agar aku bisa mendengarkan musik. Kalau sendirian seperti ini, rasanya aku seperti jomlo saja. Memang jomlo, sih, tapi ... sudahlah. “Jesika!” Seseorang memanggilku. Aku menoleh ke arah jalanan, itu Vina dengan motor berwarna hitamnya. “Lo masih di sini?” Vina berjalan ke arahku. Tumben banget Vina tidak bareng Riko, biasanya dia bareng Riko walau mereka naik motor yang berbeda. Setelah Vina duduk di hadapanku, dia langsung merampas gelasku dan meminum isinya sampai hampir habis. “Gue kira lo udah pulang. Kenapa masih di sini? Belum dijemput?” “Nggak tau, deh. Si Ojek gue telepon dari tadi nggak diangkat-angkat juga, Vin. Kalau diangkat seenggaknya gue tau dia dateng kapan. Tadi dia cuma bilang mau jalan, begitu doang. Sampai sekarang dia nggak dateng juga,” jelasku. Vina langsung menyentuh lenganku. “Lo mau bareng sama gue?” Apa aku pulang dengan Vina saja, ya? Dari pada menunggu ojek yang lama, lebih baik aku pulang saja bersamanya. Lagi pula sudah semakin sore sekarang. Namun, kalau aku pulang dengan Vina sekarang, bagaimana dengan si Ojek? Kalau dia datang ketika aku tidak ada, kasihan sekali si Ojek. “Gue nungguin ojek aja, deh. Lo pulang duluan aja nggak masalah, Vin,” sahutku. Vina langsung menganggukkan kepalanya. “Ya udah, gue pulang duluan, ya.” Vina berjalan meninggalkan aku sendirian di warung Mpo Rodiyah. Sekarang tersisa aku sendiri lagi. Astaga, aku sedih sekali rasanya. Kalau nanti si Ojek datang, aku akan langsung marah padanya. “Neng!” panggil Mpo Rodiyah dari dekat pintu gerbang. Perempuan itu berjalan ke arahku dengan wajah yang ditekuk. Mulutnya dia manyunkan dengan langkah kaki yang dia hentak-hentak. “Ini anak-anak tumben banget pada nggak mampir. Biasanya juga rame banget, sampe pada ngantri buat beli. Ini malah cuma lo sama cowok-cowok tadi doang yang beli. Ada apaan, sih? Besok mau ada camping kali, ya? Makanya sampe pada pulang buat siap-siap.” Well, memang wajar kalau Mpo Rodiyah tidak tahu permasalahan yang baru-baru ini terjadi. Secara hidupnya selalu di belakang meja warung. Bagaimana dia bisa mengetahui informasi yang hangat? Sekarang, dia justru bertanya kepada aku. Apakah aku harus menjawabnya? Bagaimana kalau nanti Mpo Rodiyah ketakutan? Rumahnya berada di sekitar area sekolah, dia juga hidup sendirian. Aku jadi serba salah kalau nanti Mpo Rodiyah ketakutan. “Hei! Kok lo diem, Neng?” tanya Mpo Rodiyah yang mengagetkanku. Dia terus memandangku dengan sorot mata penuh kebingungan. Sepertinya aku harus menjawab pertanyaan Mpo Rodiyah. “Mpo beneran mau tau apa yang terjadi di sekolah hari ini?” tanyaku dengan mata yang menyipit ala-ala ingin bercerita seram saja. Omong-omong, hal yang ingin aku ceritakan pada Mpo Rodiyah juga cerita seram, walaupun tidak seram-seram banget. Perempuan itu langsung duduk di sebelahku dan langsung mendekatkan kursinya. Wajahnya yang mengernyit membuatku sadar kalau dia sedang penasaran. Dasar Mpo Rodiyah, bisa-bisanya dia ingin tahu permasalahan yang sangat seram ini. Kalau aku jadi dia, lebih baik tidak tahu masalah ini sama sekali dan bisa tidur nyenyak nanti malam. Aku yakin kalau aku mengetahui dan keadaan rumah di dekat sekolah, aku tidak akan bisa tertidur nyenyak semalaman. Yang ada aku akan ketakutan setengah mati dengan kutukannya. Dengan semua keberanian dan satu tarikan napas panjang, aku beranikan diri untuk berbicara. “Sebelumnya Jes mau ngasih tau dulu sama Mpo Rodiyah kalau masalah ini bukanlah masalah biasa, makanya semua orang pada pulang dan nggak mau ke warung Mpo. Jadi, Mpo tetep mau denger ceritanya atau udahan aja, nih?” tanyaku dengan nada yang lemah lembut. Bukan karena sifatku yang tidak suka bercerita pada orang lain, tetapi aku takut Mpo Rodiyah justru semakin takut kalau aku bercerita dengan gaya yang sok misterius. “Lu ngomongnya udah kayak orang pengin cerita serem aja, Neng. Udah buruan cerita, itu kenapa sekolah tadi? Tumben-tumbenan warung gue sepi, nih,” jawabnya dengan nada yang super cepat. Hal itu sudah biasa, Mpo Rodiyah memang kalau berbicara cepat-cepat dan nyaring, logat bahasanya juga kental banget. “Iya ini emang serem, Mpo. Kalau mau denger, Jes ceritain sekarang. Kalau nggak mau, Jes mau pulang, nih!” sahutku yang sudah siap berdiri. Mpo Rodiyah menahan tanganku dan menyuruh untuk duduk kembali. “Ceritain buruan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD