Siang ini Presiden Vromme memanggil orang kepercayaannya. Seseorang yang sangat beliau percaya untuk mengemban tugas berat. Berbagai macam kasus bisa dia pecahkan dan berhasil memberikan solusi. Kecerdasannya yang Jenius membuatnya terpilih menjadi anggota agen rahasia negara. Dia menjadi komandan Badan intelijen EIA. Tangan kanan Presiden Vromme.
Dialah Thomas Christian. Pria matang dan gagah ini berusia 35 tahun. Rambut berwarna gelap, dengan iris mata gelap, membuatnya tampak misterius. Dirambah lagi pahatan wajah yang sangat tampan bak Dewa Yunani, membuatnya sangat percaya diri. Kehidupan pribadinya sangat tertutup. Kisah percintaannya sangat rumit dan kini telah kandas. Sehingga ia menjadi sangat fokus untuk mengerjakan tugasnya. Apa pun yang diperintahkan oleh Presiden Vromme, Thomas akan melaksanakan dengan baik, rapi, dan tanpa gagal. Perfeksionis dan juga sangat disiplin.
Thomas Christian dipanggil untuk menemui Presiden Vromme di ruangan tertutup yang biasa digunakan Presiden dan agen rahasia negara untuk berdiskusi. Langkahnya yang tegap dan penuh percaya diri membuat Thomas terlihat berwibawa dan sangat disegani oleh banyak orang. Pembawaan yang tenang, fokus, dan teliti membuatnya memiliki nilai lebih di mata Presiden Vromme.
Suara sepatu yang beradu dengan lantai marmer menggema di segala penjuru koridor menuju ruang diskusi mereka. Thomas datang ke ruangan Presiden didampingi oleh ajudannya yang bernama David. Pria muda yang sangat rajin, disiplin, dan gagah ini digadang-gadang akan berkarier cemerlang seperti Thomas. Sehingga Thomas mengangkatnya menjadi ajudan pribadi.
Mereka sudah sampai di depan pintu ruangan Presiden. Dua orang penjaga membukakan pintu untuk Thomas dan David. Wajah dingin terpampang nyata terlihat dari pahatan tegas wajah dan tatapan elang kedua pria itu. Mereka sudah memasuki ruangan Presiden Vromme.
“Selamat siang, Komandan!” sapa Thomas pada Presiden Vromme yang tengah merenung di balik jendela raksasa di ruangan itu.
“Oh, kalian sudah datang?” Vromme terkejut dengan kedatangan mereka.
“Kami selalu datang tepat waktu, agar Anda tidak menunggu kami terlalu lama!” Thomas menundukkan bahunya sebagai rasa hormat pada Presiden Vromme.
“Silakan duduk, Thomas!” Presiden Vromme duduk di sana bersama Thomas. Sedangkan David berdiri tidak jauh dari atasannya.
Presiden Vromme menatap langit-langit ruangan itu sembari menghela napas. Vromme terlihat mengendurkan ikatan dasi yang terpasang pada kerah bajunya. Thomas merasa Vromme sedang memikirkan banyak hal terkait rumor dan kasus yang tengah terjadi di kota Nerve belakangan ini. Terlebih lagi mengenai kasus pembunuhan terhadap anggota Dewan yang terjadi dua bulan lalu dan berita yang masih menjadi trending topik semalam. Berita tewasnya Profesional Nazer yang telah ditembak mati oleh seorang pemuda yang tidak lain adalah Nicolaas Hans, putra dari Edward Hans yang sebentar lagi akan mengikuti pemilihan calon presiden untuk periode berikutnya.
“Thomas! Apa Kau sudah menyelidiki informasi tentang tewasnya Profesor Nazer?” Vromme menatap Thomas dengan sangat lekat.
“Tentu, Komandan! Sejak pertama mendengar berita ini, saya langsung mengumpulkan semua agen untuk mengumpulkan informasi yang valid.” Thomas memang bergerak cepat ketika ada kasus besar yang berhubungan dengan keamanan negara.
“Informasi apa saja yang Kau dapat, Thomas?” Vromme susah tidak sabar ingin mendengar informasi yang diperoleh Thomas.
“Nicolaas Hans putra dari Edward Hans dituduh atas dugaan penembakan terhadap Profesor Nazer. Dua orang saksi sepasang suami istri yang pertama kali melihat Nicolaas di tempat kejadian perkara dan barang bukti masih di tangannya. Lalu berdasarkan keterangan pengacara keluarga Hans, Nicolaas bukan penembaknya. Melainkan ada dua orang penembak yang sesungguhnya, yang sudah terlebih dahulu pergi setelah menyerahkan pistol kepada Nicolaas secara paksa dan dengan terburu-buru mereka kabur begitu saja menggunakan mobil berkelas Rolls-Royce Phantom berwarna hitam. Setelah itu barulah dua orang saksi datang dan memanggil polisi untuk datang ke tempat kejadian perkara. Itu informasi yang kami dapatkan, Komandan!” Thomas dengan serius menatap serta menceritakan pada Vromme.
“Lalu? Apa yang terjadi menurut analisismu?” Presiden Vromme menatap kembali Thomas dengan serius.
“Berdasarkan analisis yang sudah kami cermati, kemungkinan besar kami menduga, pelakunya adalah organisasi pemberontak Bonzoi ... alasannya, hal ini seakan berkaitan dengan tertangkapnya gadis misterius yang menjadi tersangka kasus penembakan salah satu anggota Dewan yang terhormat dua bulan lalu. Mereka seakan sedang membuat teror untuk membuat carut-marut keadaan Endora terutama Ibu kota Nerve,” jelas Thomas pada Vromme.
“Lalu? Apa kau sudah mengetahui identitas gadis misterius yang diduga menembak anggota Dewan itu? Apa motifnya?” Vromme semakin penasaran dengan teka-teki yang terjadi di negerinya.
“Gadis itu tidak memiliki identitas, tapi setelah kami telusuri, gadis itu pernah terlihat berada di kota Namos. Kota kecil di sebelah barat Ibu kota. Kami menduga kalau gadis itu ada kaitannya dengan buronan kelas kakap yang belum lama ini menggelapkan uang salah satu perusahaan kontraktor yang bekerja sama dengan pemerintah dalam membangun infrastruktur beberapa wilayah di negeri ini ... buronan itu pun terlihat di kota Namos ... berdasarkan penelusuran, buronan penggelapan uang itu merupakan tangan kanan Arion, sang calon pewaris Mafia Bonzoi, kami sudah berdiskusi dan menyimpulkan kalau pemberontakan organisasi Mafia Bonzoi adalah dalang di balik kekacauan dan carut-marut yang terjadi belakangan ini,” jelas Thomas setelah dia dan seluruh agen menganalisis apa yang sebenarnya terjadi.
“Lalu? Anak dari Edward Hans? Terlibat?” Vromme menatap Thomas dengan wajah penuh tanda tanya.
“Bukti yang kuat belum kami temukan! Tapi aku memiliki satu cara untuk bisa menelusuri lebih jauh.” Thomas memiliki ide yang cemerlang untuk membongkar kejahatan dan teror yang belakangan ini sangat mengganggu keamanan negeri.
“Apa rencanamu?” Vromme sudah penasaran dengan ide pria Jenius itu.
Lalu Thomas membisikkan rencananya pada Vromme. Terlihat pria paruh baya itu menganggukkan kepala. Raut wajahnya sangat serius, seperti terbawa oleh alur rencana yang dibisikkan oleh Thomas. Tidak heran Vromme memilihnya sebagai tangan kanan, orang kepercayaannya. Segala ide yang muncul dalam menyelesaikan permasalahan selalu brilian.
Setelah beberapa saat Thomas membisikkan rencananya, Vromme menyunggingkan senyuman, seakan pertanda kalau dirinya menyetujui ide brilian Thomas. Presiden Vromme kembali menyandarkan bahunya pada kursi yang ia duduki. Lalu ia tersenyum dan kembali merapikan dasinya yang tadi sempat dilonggarkan.
“Aku memang tidak salah pilih mengenai orang kepercayaanku ... ide yang kau rencanakan sangat cemerlang! Brilian! Silakan laksanakan! Semua instansi sudah mengetahui siapa dirimu! Tangan kanan Vromme ... asal demi ketenteraman Negeri Endora, aku menyetujui ide cemerlang yang baru saja kau ceritakan padaku! Laksanakanlah, Thomas!” Presiden Vromme tersenyum seakan memberikan restu pada Thomas untuk melaksanakan tugasnya.
“Siap, laksanakan! Komandan!” Thomas berdiri dan memberikan hormat pada Presiden Vromme.
“Laksanakan dengan rapi dan sebaik mungkin! Jangan sampai mereka mengetahui apa yang akan kau lakukan untuk menguak kasus Mafia Bonzoi!” Vromme kembali menegaskan.
“Siap, Komandan!”
Lalu Presiden Vromme mengangguk.
“Kami pamit untuk kembali melaksanakan tugas dari Anda, Komandan!” Thomas berpamitan pada Vromme.
“Segera berikan kabar baik padaku, Thomas!” Vromme tersenyum pada Thomas.
“Siap, laksanakan!” Thomas kembali memberi hormat. Lalu dia dan David keluar dari ruangan itu untuk menjalankan tugasnya menemui Nicolaas Hans.
***
Hari ini mulai diberitakan mengenai kasus yang menimpa Nicolaas Hans. Tuduhan itu dikaitkan dengan hubungan antara dosen pembimbing dengan mahasiswanya yang jurang akur. Pro dan kontra mewarnai opini dalam masyarakat. Hal itu membuat Alex penasaran dengan apa yang terjadi. Mahasiswa IT tersebut menghubungi Monita untuk menjala kan aksinya memperoleh informasi yang valid dari keluarga Nico.
Siang itu Alex menyamar menjadi kurir pengantar Pizza. Ketika melewati gerbang yang begitu ketat penjagaan, Alex susah pasrah. Dalam benaknya menggerutu, antara diperbolehkan mengantar langsung atau hanya sampai pintu gerbang saja.
Alex sudah memarkirkan motor yang ia gunakan untuk membawa beberapa Pizza agar meyakinkan para penjaga. Ia berjalan dengan santai. Pemuda dengan tinggi 178 senti meter, bertubuh proporsional, berkulit cokelat dengan iris mata kecokelatan menjadikannya terlihat manis bak orang-orang dari negara latin. Manis dan menawan. Alex berjalan menuju pintu gerbang Kediaman keluarga Edward Hans.
“Hei! Ada keperluan apa kau kemari?” Seorang penjaga menghadang Alex.
“Maaf, Pak! Saya hanya kurir pengantar pesanan makanan. Saya mau mengantar makanan yang sudah dipesan oleh Nona Monita, alamatnya jalan Rose nomor tujuh, Blok lima kota Nerve.” Alex sangat mendalami perannya sebagai kurir pengantar makanan.
Tak lama berselang, seorang penjaga lainnya datang menghampiri mereka. Ia mengatakan pada penjaga yang menghalau Alex, bahwa Nona Monita sudah menunggu Pizza pesanannya.
“Masuklah! Setelah mengantar makanan itu, segera kembali!” Penjaga itu mulai menggeledah pakaian Alex. Setelah diperiksa dan aman, mereka mempersilakan Alex untuk berjalan memasuki rumah mewah itu.
Alex berjalan seperti biasanya. Walau ada yang berbeda, tetap saja Alex berusaha biasa saja. Seorang pelayan sudah menunggu kedatangan Alex. Pelayan itu bernama Rowina. Pelayan Nyonya Sarah yang paling dekat dengan Monita.
“Apa kau Alex?” tanya Rowina pada Alex.
“Benar! Aku mengantar pesanan untuk Nona Monita!” Alex tidak mengetahui kalau Rowina adalah pelayan Nyonya Sarah yang paling dekat dengan Monita.
“Nona? Baiklah! Ayo ikut denganku!” Rowina tersenyum pada Alex.
“Eh?” Alex melongo dibuatnya. Ia mengira kalau pelayan wanita itu akan menyuruhnya kembali setelah selesai mengirim makanan. Ternyata tidak! Pelayan itu justru mengantar Alex menemui Monita di ruangan santai yang berada di dekat taman belakang kediaman Tuan Edward.
Rumah bergaya Eropa klasik yang mewah dengan pilar-pilar tinggi nan kokoh terpampang nyata di sepanjang koridor menuju ruang bersantai di dekat taman belakang. Sesampainya di sana. Rowina meninggalkan Alex dan kembali bekerja. Alex sangat berterima kasih karena sudah diantar menemui Monita.
Gadis berusia dua puluh tahun itu sedang berdiri termenung menatap kolam renang yang membentang di dalam kediaman Tuan Edward. Gadis berambut gelap dengan iris mata kecokelatan dengan tinggi semampai ini mengenakan dress berwarna putih di atas lutut yang kasual. Rambutnya tergerai indah, walau matanya menatap kosong pemandangan di sana.
“Nona Monita?” sapa Alex seolah menjadi seorang kurir benaran.
Monita menoleh dan memberikan senyum yang lembut.
“Hai, Alex! Terima kasih sudah mengantar Pizza untukku!” Monita menerima Pizza itu lalu meletakannya pada sebuah meja yang berada di sana. Ia membuka kardus Pizza itu dan mengambil satu potong untuk ia nikmati satu gigitan.
“Hmm ... perfecto!” Monita tersenyum pada Alex.
“Duduklah, Alex!” Monita meminta Alex duduk di sana bersamanya.
Alex membuka topi yang ia kenakan. Lalu duduk berhadapan dengan Monita yang masih menikmati Pizza yang dibawakan Alex untuknya.
“Maaf, sebelumnya! Bagaimana kabar Nico?” Alex langsung membahas tentang keadaan sahabatnya.
“Aku sangat terpukul ... Kakak masih di dalam sel tahanan, semua terjadi begitu saja ... sekarang dibutuhkan Kakak adalah keadilan.” Monita masih terpukul tidak percaya hal seperti itu menimpa Kakaknya.
“Ceritakan padaku informasi apa yang Kau dapatkan! Aku pasti akan membantu Nico! Hubungi aku di nomor ini! Nomor baru dan email baru khusus untuk kita!” Alex memberikan secarik kertas berisi nomor ponsel khusus miliknya. Monita menerima kertas itu.
“Terima kasih, Lex!” Monita kembali mengulas senyum.
“Baiklah! Aku harus kembali! Sebelum semua mencurigaiku!” Alex tersenyum pada Monita dan langsung beranjak melangkah menuju pintu keluar. Ia bertekad akan membantu Nico apa pun itu.
***
Di balik jeruji besi Nico kembali merenung. Ia kembali mengingat apa yang sudah terjadi. Secara detail, Nico mengingatnya. Namun tetap saja tidak ada hal lain yang bisa memecahkan misteri penembak Profesor Nazer, selain Tato yang ia ingat dengan detail.
Lamunan Nico tersentak kaget ketika seorang polisi yang bertugas menjaga keamanan sel tahanan memanggil Nico karena ada seseorang yang ingin menemuinya. Nico kembali diborgol dan diantar ke ruangan khusus.
Sesampainya di sana, Nico terpaku melihat seorang pria matang yang auranya sangat berwibawa. Pembawaan yang tenang tetapi tetap fokus, rasanya sudah mendarah daging pada keseharian pria gagah itu. Nico sudah duduk pada kursi yang telah disediakan.
“Ma—maaf, sepertinya kita baru bertemu? Siapa nama Anda?” Nico berusaha menyapa pria ktu dengan sebaik mungkin.
“Perkenalkan! Aku Thomas Christian.” Pria itu memperkenalkan dirinya.
Misi seperti apa yang akan diberikan kepada Nico? Mampukah seorang Nicolaas Hans menjalankan itu semua?