2. Malam Tak Terduga

1398 Words
Nico bersemangat menjalani hari. Semua terasa hidup kembali setelah sekian lama Nico tidak sadarkan diri. Menghirup udara segar di Kota Nerve yang menjadi Ibu kota Negeri Endora. Hangat sang mentari seakan menyambut suasana yang berbeda dari sebelumnya. Nico memperhatikan setiap jalan dan melihat dengan detail apa yang ia lalui. Semua terekam jelas dalam ingatan Nico yang kini sudah jauh berbeda. Memiliki kemampuan mengingat yang luar biasa membuat Nico menjadi lebih percaya diri dari sebelumnya. Hingga Ia berencana menemui Profesor Nazer untuk kembali mengajukan proposal skripsinya. Nico sangat memahami bagaimana idealisme seorang Profesor Nazer. Nico yakin dengan kemampuannya kini, ia bisa menjadi lebih baik dan penelitiannya akan sesuai dengan kriteria proposal yang diinginkan Profesor Nazer. *** Nico menunggu kedatangan Profesor Nazer di kampus. Sejak pagi tadi, tetapi hingga petang menjelang, sama sekali belum terlihat batang hidung Profesor Nazer di sana. Sudah tiga kali Nico melihat ruang kerjanya. Namun hasilnya nihil. Nico memeriksa ke laboratorium pun sama saja, tetap nihil tanpa ada bayangannya sedikit pun. Nico teringat ucapan Ibunya bahwa ia dilarang pulang larut malam. Namun ia berharap Profesor Nazer akan mengunjungi laboratorium malam ini, karena biasanya Profesor Nazer selalu mengunjungi laboratorium penelitian, untuk memeriksa penelitian yang sedang dikerjakan oleh mahasiswanya setiap malam. Sudah hampir larut malam, Profesor Nazer tidak juga hadir di sana. Dengan hati yang sedikit kecewa, Nico akhirnya memutuskan untuk pulang sembari berjalan kaki. *** Malam yang sunyi menyelimuti kota Nerve, Ibu kota negeri Endora. Seketika langit mendung menghalangi cahaya rembulan. Awan pun mulai menyelimuti wilayah Kota Nerve. Angin yang berdesir menerbangkan dedaunan yang terlepas dari rantingnya. Udara dingin terasa menusuk tulang hingga Nico merapatkan jaketnya dalam perjalanan pulang dari kampus menuju rumahnya. Jalanan yang sepi akhir-akhir ini disebabkan adanya rumor pemberontak yang menentang pemerintahan Vromme sebagai Presiden Negeri Endora saat ini. Namun Nico tidak mengetahui berita itu, lantaran dirinya baru saja terbangun dari koma setelah tiga bulan lamanya. Nico hanya merasa heran, mengapa malam itu jalanan Ibu Kota terasa sangat sunyi. Sebelum Nico mengalami koma, dirinya sangatlah sibuk menyusun proposal skripsinya yang selalu ditolak oleh Profesor Nazer. Entah mengapa, Profesor Nazer sangat idealis dan perfeksionis. Hal itu membuat Nico merasakan kesulitan yang amat mendalam. Pikirannya hampir frustrasi menghadapi idealisme Profesor Nazer. Namun setelah terbangun dari koma dan Nico menyadari ada kemampuan yang berbeda dalam dirinya, membuat Nico menjadi sangat percaya diri. Kali ini ia yakin proposalnya akan diterima oleh Profesor Nazer. Walau kini Nico harus kembali menelan pil pahit, bukan karena ditolak, melainkan karena Profesor Nazer tidak datang ke kampus seharian ini. *** Malam yang sunyi seakan membuat pikiran Nico sedikit memperoleh kesejukan setelah melewati hiruk pikuk kota Nerve seharian ini. Ia sengaja pulang dengan berjalan kaki, dari kampus ke rumahnya. Mencari udara segar di malam hari sembari menghilangkan penat yang kian membelenggu hati dan pikirannya. Dalam perjalanannya, Nico mendengar suara orang yang sedang bertengkar di perempatan jalan yang sangat sepi di pinggir sebuah taman kota. Nico melihat ada tiga orang di sana. Dua orang terlihat sedang mengancam seseorang yang wajahnya tidak begitu jelas dilihat dari kejauhan. Awalnya Nico ragu untuk melihat situasi di sana. Namun seketika terbersit dalam benaknya, untuk melerai pertengkaran mereka. Nico berjalan memutuskan untuk menghampiri mereka dan berjalan dengan tergesa-gesa agar bisa mencegah jikalau ada perkelahian. Dooorrr!!! Suara senapan yang menggema dalam telinga Nico membuat mata Nico terbelalak, mendapati kenyataan yang ada di depan kedua bola matanya. Suara letusan pistol membungkam mulut Nico hingga tak bisa berucap. Sorot matanya nanar melihat asap yang masih mengepul keluar dari lubang pistol itu. Seseorang terkapar di hadapannya. Darah yang mengalir membuat Nico mematung bermandikan peluh penuh ketakutan. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, dan bergidik tegang bersama keringat dingin yang terus membanjiri tubuhnya. Nico melihat dua orang yang mengenakan penutup wajah beserta sarung tangan itu bertengkar dengan orang yang kini sudah ditembak mati oleh salah satunya. Tatapan Nico menyiratkan ketakutan yang mendalam. Para penjahat itu mengetahui dengan pasti, kondisi psikis Nico yang terpukul melihat kejadian nahas di hadapannya. Sehingga mereka memanfaatkan kesempatan untuk memberikan pistol itu kepada Nico. Dengan cepat salah seorang misterius itu memberikan pistolnya pada Nico yang hingga kini masih mematung di tepi jalan. Nico yang masih terpaku, hanya bisa melihat dan menerima perlakuan mereka yang memaksa Nico untuk memegang pistol itu. Wajah pucat Nico seketika bertambah, saat Nico mengetahui mereka pergi dengan cepat menggunakan mobilnya, tepat setelah mereka menyerahkan pistol itu pada Nico. Mereka meninggalkan Nico bersama jasad yang kini terkulai lemas di hadapan Nico. Dewi fortuna tampaknya sedang tidak berpihak pada Nico. Selang beberapa menit setelah dua penjahat itu pergi, datanglah dua orang saksi yang merupakan sepasang suami istri yang tak sengaja melintas dan melihat Nico memegang pistol di lokasi kejadian perkara. Wanita itu menjerit, seketika suaminya menelepon polisi. Tak butuh waktu lama, polisi sudah datang untuk mengamankan lokasi terjadinya kasus penembakan. Saat mobil polisi berada di hadapannya, Nico baru menyadari bahwa pistol itu masih ia genggam. Tanpa bisa berkutik, Nico langsung diamankan dan di bawa ke kantor polisi. Nico merasa seakan linglung atas kejadian yang baru saja ia saksikan. Nico melihat Profesor Nazer terhempas setelah ditembak mati oleh salah satu dari orang misterius itu, pada bagian kepala dan d**a sebelah kiri. Tubuh Profesor Nazer bersimbah darah. Nico tidak mengetahui siapa orang yang telah menembak dosen pembimbingnya itu. Nico mengingat postur mereka, merek dan tipe mobil yang mereka gunakan, waktu kejadian, jenis pistol, dan mengingat sebuah tato yang tergambar di bawah lengan salah satu pelaku penembakan itu. Walau sedikit tertutup jaket yang ia kenakan. Nico masih bisa melihat gambar tato berlogo burung hantu dengan inisial B di sayap sebelah kirinya. Kemampuan daya ingat yang super, membantu Nico mengingat ciri-ciri pelaku. Namun semua percuma saja karena kenyataannya, pistol pelaku kini masih ada dalam genggaman Nico. Tangan Nico kini sudah diborgol. Ia berjalan lunglai dengan pengawalan pihak kepolisian menuju mobil tahanan. Barang bukti yang diperoleh dari tempat kejadian perkara sudah diamankan pihak kepolisian. Nico melangkah lesu sembari menoleh pada jasad dosen pembimbingnya yang kini sedang diperiksa pihak forensik. *** Nico masih tidak menyangka malam ini dirinya berada di dalam mobil tahanan. Kejadian yang baru saja ia saksikan, terjadi dengan begitu cepat. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benaknya akan mengalami hal yang sangat tak terduga. Sungguh mengerikan apa yang baru saja Nico saksikan. Namun justru dirinya yang ditangkap atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Nico menghirup napas panjang lalu menghelanya untuk menenangkan pikirannya yang tidak bisa berpikir jernih. Jantungnya terus berdegup, rasa takut mulai menyelimuti jiwanya. Pikirannya kosong bahkan tidak bisa berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan permasalahan pelik yang sedang ia hadapi. Nico sudah sampai di depan kantor kepolisian. Ia mulai turun dari mobil tahanan dengan tangan ter borgol. Kedatangannya disambut riuh para pencari berita. Semua menjadi semakin sulit terkendali saat mereka mengaitkan Nico dengan Edward Hans yang akan mencalonkan diri sebagai calon pemimpin baru Negeri Endora. Nico hanya bisa menatap mereka dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat pasi bagai bulan kesiangan. Matanya nanar penuh kebingungan di antara lampu kamera yang sedari tadi mengambil fotonya. Peluh bercucuran menandakan Nico sangat panik ketika ia mengingat Ibunya. Nico bukan pembunuh, hanya saja Nico berada di waktu dan tempat yang salah malam itu. *** Nico dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup yang tidak terlalu luas. Terdapat sebuah meja dan dua buah kursi di sana. Semua dindingnya tertutup. Hanya ada satu jendela mati yang terbuat dari kaca yang cukup tebal. Ruangan itu dilengkapi CCTV. Nico merasa itu adalah tempat untuk memulai interogasi terhadap dirinya. Tak lama berselang, seseorang memasuki ruangan. Pria dewasa yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tatapannya yang dingin seolah sudah mengerti apa yang akan Nico ungkapkan. Pria itu tersenyum, senyumannya seakan menghunjam jantung Nico yang merasa semakin ketakutan. “Nicolaas Hans, seorang mahasiswa semester akhir di Universitas Nerve, jurusan kimia, usia dua puluh tiga tahun ... putra sulung dari Edward Hans, apa kabar?” Pria itu menatap dingin pada Nico. “Kabarku tidak baik.” Nico menjawab seadanya. “Semua bukti sudah mengarah pada seorang pelaku tunggal yang berada di lokasi kejadian perkara, lengkap dengan bukti, berupa sebuah pistol dan dua selongsong peluru ... jadi ... tidak perlu berbelit-belit untuk menjelaskan motif Anda membunuh korban! Kami akan membantu Anda memperoleh keringanan hukuman, jika Anda bersedia untuk bekerja sama mengakui perbuatan Anda! Silakan ceritakan! Sehingga tidak perlu ada kekerasan!” Seorang polisi yang diperintahkan menginterogasi pelaku, sudah mulai beraksi menginterogasi Nico. “Aku bukan pembunuh!” Nico masih membela dirinya. “Tidak mungkin seorang penjahat akan langsung mengakui perbuatannya, jelas?” ujar Pria yang menginterogasi Nico.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD