Bab I: Full Moon part I
"Apa kau tahu? Di kelas kita ada murid tak terlihat." Siswi itu berkata pelan. Ekspresi dua temannya berubah takut. "Aku pikir cerita itu cuma dongeng. Rupanya ada?" sahut salah satunya. Lalu mereka tertawa bersama. Botol mineral tersenggol lengan siswi berbando itu. Jatuh dari pinggir meja milik seorang siswi di tengah mereka. Airnya tumpah seketika ke lantai. "Ups. Maaf, aku tidak sengaja," kata siswi berbando itu. Kemudian mereka beranjak keluar kelas sementara Nixie mengambil botolnya dari lantai. Dia tampak sabar, dan melanjutkan kegiatan menulis lagi. Berpura-pura menulikan telinga acap kali mereka mencemooh dirinya seperti tadi.
Nixie Jacqueline Serilda. Nama yang cantik kalau saja pemilik namanya cukup percaya diri dan berani menindak pembuli. Gadis kuper yang pernah hidup tenang sebelum dia satu kelas dengan seorang pemuda dan menjadi teman dekat. Bisa dibilang hidup tenang Nixie berubah dibenci oleh teman sekelasnya karena keakraban pemuda itu kepadanya. Beruntung atau s**l, Nixie menjaga jarak dari pemuda itu. Seperti sekarang, saat melihat dia masuk ke kelas, Nixie buru-buru memasang earphones lalu beranjak memeluk buku. Bersiap melarikan diri. Atau dianya saja terlalu percaya diri jika pemuda itu hendak menghampirinya?
"Tunggu, Nixie! Kau mau ke mana? Sebentar lagi jam pelajaran berganti," kata suara pemuda itu. Tuh, benar kan? Nixie jadi kikuk memunggunginya. Bodoh! Kenapa dia berhenti? Dia kan pakai earphone untuk mengelabui siapa saja bahwa dia tidak mendengar suara lain selain lagu -yang tidak benar-benar diputar itu. Kalau begini pemuda itu akan menyadarinya.
Brian maju untuk berdiri di hadapan gadis itu. "Nixie? Apa kau mau membolos? Aku ikut, ya." Pemuda itu menyengir lebar. Sedangkan Nixie terbengong berpikir. Dia ingin sendiri dan jauh dari Brian. Lantas, tanpa mengatakan apa pun, Nixie berlari ke luar kelas. Gadis itu berjalan cepat menerobos lorong yang diramaikan siswa-siswi. Brian kaget. Lalu dia menyusul Nixie ke luar kelas. Tapi terlambat. Jejak Nixie tidak terlihat di tengah kepadatan murid di lorong loker. Brian celingukan mencari ke mana arah Nixie berjalan, kanan atau kiri?
"Hey, Brian... Apa yang kau cari?" tegur siswi tadi bersama dua teman gengnya. Mereka bertemu di depan kelas dengan Brian yang berdiri di pintu.
"Ayo masuk. Sepuluh menit lagi guru akan datang." Si gadis berbando -Elena mendorong Brian dengan pelan ke dalam kelas. Brian pikir dia tidak bisa mengejar Nixie yang entah pergi ke mana, jadi dia memilih diam di kelas.
***
Nixie tiba di belakang sekolah. Suasananya sepi. Dia berdiri ditepi danau. Danau luas yang konon memiliki kedalaman lebih dari tiga meter. Nixie melihat ke bawah. Gelap. Tidak bisa melihat apa yang ada di bawah sana.
Lalu Nixie merunduk dan meraih kerikil di bawah kakinya. Dia melempar kerikil itu. Memperkirakan kedalamannya setelah itu dia yakin akan satu hal. Dipandangnya langit mendung di atas, tatapan Nixie hampa. Selelah inikah dia hidup? Dia hanya ingin ketenangan. Tetapi, kehidupan di sekolah tak pernah damai. Dia selalu menjadi target perundungan sejak tiga tahun sekolah menengah.
Baik di sekolah maupun di rumah. Semuanya sama saja. Tidak punya orang tua sejak kecil, dia tinggal bersama orang tua asuh. Mereka tak pernah menginginkan keberadaan dirinya kecuali ayah tiri. Beliau menyayangi Nixie hingga akhir hayatnya. Setelah beliau meninggal ibu tiri dan saudari tirinya memperlakukan dia seperti pembantu. Nixie merasa nasib malangnya sedikit mirip dengan Cinderella.
Nixie menghela napas panjang.
Bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana rupa orang tuanya. Apakah mereka membuang dirinya? Apakah dia memang tidak seharusnya dilahirkan ke dunia ini? Memikirkan semua itu membuat kesedihan tak usai darinya. Dunia ini tertawa. Nixie merasa tidak dibutuhkan oleh semua orang. Mereka justru dengan kejam menghakiminya. Jadi, untuk apa dia hidup?
Hidup bukan anugerah. Tapi penderitaan.
***
Nixie tiba di rumah saat mereka sedang makan malam. Tidak seorang pun bertanya kepadanya. Mereka tak peduli dia pulang larut sekalipun. Mereka hanya tertawa gembira di meja makan sementara dia berjalan lesu ke kamar. Nixie membanting tubuhnya ke kasur. Menatap langit-langit kamar yang tampak putih kosong. Dia lelah. Jiwa dan raga.
Nixie baru saja selesai berpakaian selepas mandi ketika pintu asal dibuka oleh seorang gadis seumuran. Tak bukan adalah saudari tirinya. Elena. "Buatkan aku s**u vanilla dan antar ke kamarku," perintah Elena. Kemudian berlalu begitu saja. Nixie tampak kalem saja.
Pergi ke dapur, dia mendesau melihat tumpukan piring kotor. Bahkan tidak ada makanan yang tersisa di meja makan. Mereka tidak menyisakannya. Dengan sabar Nixie mulai menyuci piring-piring kotor itu. Setelahnya, dia membuatkan pesanan Elena, atau lebih tepatnya melaksanakan perintah gadis itu.
Kamarnya berada di lantai dua dengan jendela mengarah pada jalan. Nixie mengetuk dengan sopan daun pintunya. Saat mendengar suara 'masuk' dari Elena di dalam, Nixie membuka pintu, mengantarkan segelas s**u vanilla. Dia meletakkannya di meja belajar, sedangkan pemilik kamar tampak asik menyisir rambut panjangnya di meja rias. Elena tidak mengatakan apa pun sampai Nixie menutup pintu kamarnya lagi.
Jika kamar Elena berada di lantai dua dengan ruangan yang mewah dan nyaman, lain hal Nixie yang justru dipindahkan ke ruangan sempit di belakang rumah setelah kematian ayah tiri. Ruangan yang biasa digunakan pembantu. Mereka tidak lagi mempekerjakan pembantu, dengan alasan menghemat keuangan. Sebagai gantinya, Nixie melakukan semua pekerjaan rumah di samping tugas sebagai pelajar.
Nixie duduk di kasur sembari memandang ke luar jendela yang berada tepat di sampingnya. Di luar kelihatan sebuah hutan yang gelap. Jauh ratusan meter. Tapi kengerian sudah terasa dari sini. Selama tinggal dan besar di rumah ini, dia tidak pernah bermain-main ke hutan itu. Selain karena jaraknya yang lumayan jauh, hutan dengan pohon raksasa itu kelihatan menakutkan baginya. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan di depan rumah. Terdapat kehidupan pemukiman penduduk yang mengarah pada gemerlap kota.
***
Di sisi lain, tepat di atas atap gedung, seorang pria berdiri memandang jauh. Seluruh pakaiannya berwarna hitam. Ditemani seorang pria blonde di belakangnya. "Instingku tidak pernah salah. Dia ada di kota ini," kata pria berambut hitam. Surainya sedikit panjang hingga telinga.
"Akan lebih cepat jika kita pergi ke tempat para muda-mudi itu. Menurut ramalan kuno, sang darah ada di antara anak muda di sana," sahut pria satunya.
"Baiklah. Ayo kita ke sana."
"Tidak sekarang. Ini sudah malam, itu artinya kegiatan mereka telah berakhir. Kita pergi besok pagi jika cuacanya mendung."
"Kau tahu tentang dunia mereka, ya. Aku mengandalkanmu selama di sini."
"Akan kupastikan semua kebutuhan Anda di sini terpenuhi, My Lord."
***