Bab II: Full Moon part II

1119 Words
Belakangan ini Nixie sering bermimpi. Mimpi aneh yang sama. Terasa mengerikan di mana dia melihat darah di sekitarnya. Lalu terbangun dengan perasaan aneh. Mimpi itu sudah dialaminya sebanyak empat kali, dan Nixie berharap dapat bermimpi indah atau tidak mimpi sekalipun. Berkat mimpi semalam, dia jadi kian malas berada di sekolah. Sementara itu di ruang kepala sekolah, dua pemuda berdiri di hadapan pria gendut yang duduk di kursi kepala sekolah. "Izinkan kami bersekolah di sini," ucap Xalue. Sama sekali tidak terdengar ramah. Malahan terlihat seperti sedang memalak seseorang. Si kepala sekolah memandang aneh. Tiba-tiba saja masuk dan mengatakan hal tersebut, jelas membuatnya bingung. "Aku tak menerima dokumen kepindahan kalian. Jadi, jangan mengada-ada. Pergilah, nak. Aku sibuk." Tentu saja diabaikan, mereka berdua datang tidak membawa berkas identitas diri atau semacamnya. Benar, mereka datang dengan tangan kosong. Kemudian Melvin memegang pundak kawannya seraya berkata. "Hal normal tidak akan berjalan lancar untuk kita." Sehingga sekarang gantian dirinya yang maju ke depan. "Izinkan kami bersekolah di sini kalau sekolahmu tak ingin dihancurkan," ancam Melvin. Kedengaran konyol. Tetapi, Kepala Sekolah itu patuh begitu saja secara ajaib. Dia mengangguk dan segera menerima dua pemuda ini tanpa syarat. Mereka diantar oleh seorang guru menuju salah satu kelas. Mengikuti guru itu masuk ke kelas dan berdiri di hadapan para murid. "Hari ini kelas kita kedatangan murid baru," kata guru itu. Sontak membuat murid perempuan terpukau, dan suasana kelas yang hening berubah jadi dengung bisik-bisik mereka. "Kenalkan dirimu," kata guru. "Namaku Melvin Van De Niro." "Namaku Xalue Lee." "Wow yang satu tampak seperti blesteran Asia!" pekik tertahan salah seorang gadis. Mereka terlihat antusias menyambut kedatangan dua murid baru itu. Lain hal Nixie yang memperhatikan mereka dengan tak minat. Hingga mereka menduduki kursi kosong. Xalue duduk dibarisan ke tiga, sedangkan Melvin tak ada kursi kosong lain selain di samping seorang gadis. Nixie mengangguk kecil sebagai sapaan kepada teman sebangkunya. "Hai, namaku Nixie." Basa-basi Nixie. Melvin tersenyum simpul. "Hai. Aku Melvin." Setelah hampir tiga tahun duduk sendirian, akhirnya ada seseorang yang duduk satu meja dengannya. Nixie tidak terlalu berharap teman baru ini bertahan duduk bersamanya jika mengingat pengalaman yang lalu, ketika temannya menjauh setelah tahu Nixie menjadi bahan perundungan. Tentu saja dia tidak mau menjadi sasaran mereka. Sepanjang pelajaran dimulai, kelas kembali hening selain suara guru yang mengisi suasana. Menjelaskan teori fisika yang tidak mudah dicerna oleh murid-muridnya. Termasuk perhatian Nixie yang sedang berusaha keras memahami penjelasan guru itu. Sedang angin bertiup-tiup sepoi dari jendela di sisi kirinya. Membuat fokus Nixie buyar menjadi rasa kantuk. Nixie mengerjap seketika. Tidak boleh gagal fokus! Aroma melayang dan melewati penciuman Melvin tepat dari arah gadis di sisinya. Melvin mencoba bersikap biasa saja dengan tidak menunjukkan tingkah menutup hidung. Dengan alami, dia sedikit menggeser duduknya ke pinggir bangku. Sikapnya yang tiba-tiba seperti itu, seakan-akan menghindar dari bau aneh, membuat Nixie tersinggung. Apakah dia bau? Begitulah yang dipikirkan Nixie. Diam-diam dia mengangkat kerah bajunya dengan sedikit berpaling ke arah ketiak. Dan, Nixie tidak mencium bau badannya. Ketika jam istirahat berbunyi, dan para murid bangun dari duduk mereka untuk keluar kelas, Melvin bergegas ke luar dengan langkah lebar. Nixie masih bertanya-tanya, apakah pemuda itu pergi karena mencium bau badan dari dirinya? Oh jika benar seperti itu, Nixie jadi amat malu. Xalue melihat Melvin pergi lebih dulu, merasa heran lalu segera bangkit menyusulnya ke luar kelas. Hingga dia berhenti di sebuah taman belakang sekolah yang sepi. Punggung Melvin sudah berdiri menghadap danau. "Kenapa kau pergi terburu-buru?" Xalue menarik langkah mendekati sebelum berdiri sejajar dengan pemuda bersurai hitam ini. "Dari semua bau manusia di kelas itu, aku mencium bau yang nyaris membuatku hilang kendali." Xalue mengenal Melvin lebih baik. Lelaki itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Pernyataan tersebut menarik perhatian Xalue. "Apa dia gadis yang duduk satu meja denganmu?" tanya Xalue menyelidik. "Ya." "Aku jadi penasaran, semanis apa dia," gumam Xalue. "Aku tak ingin ada seorang pun terluka karena kita," timpal Melvin. Dia mengerutkan dahi agak tidak suka jika Xalue melukai anak-anak muda itu. "Mereka terlalu muda dan belum matang. Lebih baik cari yang lebih dewasa. Aku jamin, rasa mereka akan semakin menggugah selera." Melvin menyarankan tanpa perlu berbohong. "Memang sih, darah anak muda kurang nikmat. Tapi aku tak suka dengan darah lansia," sahut Xalue. "Apa kau mengetahui tanda-tandanya?" Kini Melvin membuka topik utama mereka. "Aku merasakan keberadaan dia di gedung sekolah. Tapi aku tidak yakin siapa dia dan ada di kelas apa." "Apa tidak ada cara lain? Aku merasa tak bisa berlama-lama di sekolah itu." "Karena gadis itu?" tebak Xalue tepat sasaran. Sehingga Melvin tidak menjawabnya. "Malam ini aku ingin keluar," ujar Melvin. "Aku juga mau berburu," sahut Xalue. Melvin meliriknya tajam. "Untuk penyelidikan." Dia menyambung kalimat tadi. Muka Xalue muram seketika. *** Nixie tidak bawa bekal makan siang hari ini. Lantaran terlalu sibuk mencuci baju tanpa mesin cuci, lalu memasak sarapan untuk mereka dan membersihkan rumah sebelum berangkat ke sekolah. Kantin adalah tempat yang tidak disukai Nixie. Ramai. Banyak orang. Terpaksa dia mengantre untuk mendapat makan siang. Setelahnya, dia berjalan mencari tempat duduk kosong. Elena dan kelompoknya berbisik sambil melihat ke arah Nixie. Ketika Nixie melewati meja mereka, dengan sengaja salah satu kaki mereka menyandung langkah gadis itu. Dalam sedetik Nixie terhuyung ke depan. Nampan berisi makanan jatuh seketika. Sementara ketiga gadis itu mengobrol seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Suara jatuh alat makan itu membuat sejumlah pasang mata beralih kepada Nixie. Kini dia jadi pusat perhatian para murid di kantin. Nixie malu. Beruntung, wajahnya terhalau oleh rambut panjangnya yang terurai. Pada saat itu, Brian datang dan membantu Nixie bangun. "Siapa yang sengaja membuat dia jatuh?" Brian geram. Menatap ke sekitar. Tapi tidak ada yang mengaku. Sampai perhatian Brian terhenti pada meja kelompok Elena. "Apa kalian yang melakukannya?" tuduhnya. Mereka menyanggah dengan kerut di wajah. "Dia terjatuh sendiri. Untuk apa pula kami melakukannya?" kata salah satu gadis itu. "Jangan sembarangan menuduh kami, Brian." Elena menyambung pembelaan temannya. Brian tidak tahu yang sebenarnya. Jadi dia memilih untuk mengabaikan mereka, dan mendekat pada Nixie. Membawanya ke meja lain. "Tunggu di sini ya. Akan kuambilkan makan siangmu," ucap Brian. Berlalu cepat tanpa sempat Nixie tahan. Tidak berselang lama, pemuda itu kembali dengan membawa makanan baru. Meletakkannya ke hadapan Nixie. "Terima kasih, Brian." Brian sendiri duduk di hadapannya dengan makanan yang baru setengah dimakan. Lalu mereka makan bersama tanpa memedulikan tatapan sinis dari Elena. Semua itu terekam jelas di mata hitam Melvin. Dia berdiri di ambang pintu kantin untuk mencari Nixie. Tapi ternyata dia malah mendapati pemandangan tak mengenakkan: ada rasa marah ketika melihat Brian menyentuh Nixie untuk bangun. Jemarinya mengepal di sisi tubuh. Dan Melvin tidak mengerti dengan perasaan jengkel ini. Mengapa dia harus kesal pada orang lain yang jelas-jelas tidak dia kenal baik? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD