Ch-2 Klinik Raina

1185 Words
Rey sudah pergi meninggalkan ruangan kerjanya beberapa menit lalu, Raina masih terpaku di dalam ruangan kerjanya. Gadis itu duduk sambil melamun. Di sisi lain, Rey Antoni sudah masuk ke dalam mobilnya. Pria itu menyandarkan kepalanya sambil memejamkan kedua matanya. “Aku hanya butuh jawaban, tapi wanita itu menghardikku seperti seorang penjahat.” Ucapnya sambil membuka perlahan kelopak matanya. “Kita ke mana Tuan?” Tanya supir padanya. “Ke pabrik.” Sahut Rey. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju ke pabrik. Rey masih termenung tentang sosok Raina yang baru saja dia temui. Keesokan harinya.. Semuanya berjalan normal seperti biasa, Rey mengelola pabrik peninggalan Antoni. Mobil hasil rakitannya diekspor keluar negeri. Beberapa dia pasarkan di toko miliknya. Rey mendirikan beberapa toko mobil di London. Pria itu hidup dengan penuh kemewahan. Namun siapa sangka pria yang terlihat sempurna tersebut begitu cacat dalam pandangan sosok Raina? Dalam pandangan mata Raina, Rey pria yang tidak normal alias pria gila yang memiliki gangguan mental. Betapa rendahnya sosok Rey di depan wanita cantik berstatus dokter tersebut. Pagi ini sebelum berangkat ke pabrik, Rey kembali menatap klinik Raina dari dalam mobilnya. Rey menunggu Raina tiba di sana. Pria itu melihat Raina masuk ke dalam. “Anda ingin kita turun sebentar?” Tawar supir tersebut padanya. “Tidak perlu, aku hanya ingin melihatnya dari sini saja.” Sahutnya dengan nada datar. Raina bukannya tidak tahu kalau dia sedang diawasi oleh Rey beberapa hari terakhir sejak keluar dari dalam tahanan pria itu satu minggu yang lalu. Raina tahu kalau setiap hari saat tiba di klinik Rey akan mengawasi dirinya secara diam-diam dari dalam mobil. Asisten Raina sedang membereskan beberapa barang di dalam ruangan kerja wanita itu. Gesya segera menegur untuk menanyakan sesuatu padanya. “Apa ada yang mengganggu pikiran Anda, Dokter?” Tanyanya sambil menatap Raina. Wanita itu masih berdiri menghadap keluar jendela ruangan kerjanya, melihat mobil yang ditumpangi Rey berlalu pergi dari tepi jalan depan klinik tersebut. “Apa Presdir yang kemarin datang, membuat janji temu kembali?” Tanyanya dengan nada serba salah pada Gesya. “Tidak ada dokter.” “Ya, sudah kamu lanjutkan saja pekerjaanmu.” Raina mengusap tengkuknya sendiri. Bayangan Rey masih tinggal di dalam benaknya. Entah kapan dia bisa melupakan kejadian malam itu. Raina menatap tungkai kaki kanannya, dia masih tidak yakin kalau Rey menginjeksikan obat dan akan membuat dirinya datang untuk mengunjungi Rey kembali. Raina berusaha melupakan segala hal yang berhubungan dengan Rey. Apapun itu. Tidak disangka, sore itu saat semua asistennya sudah kembali dan tinggal dirinya seorang diri Rey kembali datang ke kliniknya. Senja sudah hampir berlalu. Raina menatap keluar jendela ruangan kerjanya, dadanya berdegup kencang sekali. Ada rasa cemas bergelayut dalam hatinya tatkala melihat sosok Rey melangkah masuk ke dalam klinik. Wanita itu segera duduk di kursinya berpura-pura tidak tahu kalau Rey Antoni akan datang mengunjunginya. Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar ruangan kerjanya. “Masuk.” Ucap Raina dari dalam ruangan kerjanya. Pintu terbuka, Rey Antoni berdiri di sana. Raina segera berdiri dari kursinya. “Maaf, klinikku sudah tutup.” Ucap wanita itu seraya melangkah untuk mengambil tas kerjanya. Raina merasa gila ketika dia dan Rey berada di dalam ruangan, terlebih lagi tidak ada siapapun di klinik tersebut selain dirinya seorang diri. “Aku hanya ingin bicara sebentar, lima menit saja Dokter Raina.” Ucapnya sambil melangkah masuk ke dalam lalu menutup pintu di belakang punggungnya. Rey menarik kursi dan duduk di sana. “Cepat katakan, aku harus segera kembali ke rumah.” “Apakah aku pria yang mengerikan?” Tanya pria tersebut seraya menatap kedua bola mata Raina yang kini duduk di seberang mejanya. Kali ini wajah Rey tidak seperti saat bertemu dengan dirinya kemarin. Wajah pria di depannya itu terlihat seperti bocah yang kehilangan ibunya. Raina terdiam sejenak, dia cemas kalau sampai salah bicara. “Anda bertanya pada saya sebagai pasien, atau sebagai teman? Pilihlah satu di antara keduanya.” “Sebagai dirimu sendiri!” Lanjut Rey dengan tatapan mengintimidasi. “Aku tidak memberikan pilihan itu.” Raina sudah bersiap berdiri dari kursinya, kedua kakinya sudah gemetar lantaran cemas kalau Rey marah lalu bertindak di luar batasan. “Aku serius.” Tambah Rey dengan nada datar. Raina tidak mau mendengar, wanita itu tetap memilih beranjak berdiri dari kursinya lalu bersiap keluar dari dalam ruangan kerjanya. Meninggalkan Rey Antoni sendirian di sana. “Aku mohon.” Tambah Rey ketika Raina sudah memutar gagang pintu ruangan kerjanya. “Aku tidak berharap mendengar pertanyaan ini.” Tangan Raina terlihat gemetar. Bagaimana dia bisa tenang sementara pria berbaju rapi yang sedang duduk di belakang punggungnya saat ini adalah pria yang mendapatkan julukan pemangsa gila! “Aku janji tidak akan datang lagi besok.” Timpal Rey. Raina menoleh ke arah Rey yang kini tengah beranjak berdiri dari kursinya. Pria itu melangkah mendekatinya, menarik lengan Raina lalu menekan wanita itu agar bersandar pada pintu di belakang punggungnya. Dalam posisi sedekat itu Raina hanya bisa mengatur napasnya agar tidak tersengal lantaran detak jantungnya yang semakin cepat. Rey menatapnya dengan sorot mata tajam, sama seperti kemarin. Raina memilih memejamkan kedua matanya. Rey Antoni hampir menyapa bibirnya. “Bisakah kamu memegang janjimu?” Ucap Raina tiba-tiba, Rey terhenti seiring dengan senyuman manis pada bibir tipisnya. “Entahlah.” Bisik Rey pada telinga Raina. “Kalau begitu.. aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu kan?” Sahutnya sambil mendorong Rey menjauh. Raina keluar dari dalam ruangan kerjanya, sampai di luar pintu Raina bersandar pada dinding luar. Wanita itu memukuli dadanya sendiri yang kini terasa pengap. “Dia tidak hanya gila! Dia pria gila dan liar!” Seru Raina sambil mendongak menatap langit-langit koridor di atas kepalanya. Sementara Rey Antoni masih mengulum senyum, menempelkan keningnya pada punggung lengannya di dinding. Rey teringat dengan wajah Raina yang sempat memerah, bahkan tubuh gemetar Raina membuatnya yakin kalau Raina tidak sungguh-sungguh menginginkannya pergi. “Aku mungkin gila dalam pandangan matamu, Raina. Tapi aku bukan pria bodoh yang tidak bisa membaca isi hatimu dari cara kamu memperlakukanku.” Rey mengingkari janjinya, pria itu kembali datang selang tiga hari berikutnya. Raina sama sekali tidak pernah bermimpi untuk memiliki pasien seperti Rey Antoni. Pria itu lebih sulit diatur dan diajak bicara normal seperti layaknya pasien yang dia tangani selama ini. Rey cenderung selalu mengatur dirinya. “Sebenarnya aku atau kamu pasien di sini?! Braaakk!” Raina saking kesalnya sampai menggebrak meja. “Braaak!” Rey membalas dengan gebrakan meja. “Kamu dokter, tapi sepertinya kamu yang lebih gila dariku!” Timpal Rey Antoni. Keduanya sama-sama berdiri saling bertatap muka satu sama lain di antara meja kerja Raina. “Tuan Rey! Anda meminta solusi di sini.” Nada suara Raina mulai meninggi. “Solusi yang kamu berikan sangat tidak masuk akal!” Timpal Rey Antoni dengan nada kesal. “Hah?! Ah ya sudah, silakan keluar. Saya harus menangani pasien lain yang sedang mengantri di luar.” Rey Antoni bukannya pergi, tapi pria itu mengibaskan jasnya lalu duduk kembali di kursinya. “Aku sudah mengusir mereka semua, jadi jadwalmu hari ini hanya menjawab pertanyaan dariku. Lalu memberikan solusi serta cara untuk mengatasinya!” Ujarnya sambil mengambil segelas air putih milik Raina, Rey meneguknya seraya menatap kemarahan pada wajah Raina melalui ekor matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD