Ch-3 The Crazy Man!

1339 Words
“Kenapa? Anda terlihat tidak nyaman, Dokter?” Ejek Rey dengan sengaja, senyum penuh ejekan dari sudut bibir tipis pria tersebut semakin membuat Raina gugup. Wanita berstatus dokter tersebut hampir tidak bisa mengendalikan perasaannya lagi. Dia ingin sekali mengusir Rey agar secepatnya keluar dari dalam ruangan kerjanya. Akan tetapi, dia tahu hal itu bukanlah perkara yang mudah. Raina hanya bisa mengatur napas, mengendalikan emosi di dalam dadanya. Pria di depannya itu sudah berhasil membuat moodnya berantakan. Bahkan membuatnya meledakkan amarah beberapa menit lalu. “Aku tidak ingin mati muda karena menangani pasien sepertimu.” Gumam Raina di tengah kekesalan hatinya. Wanita itu berusaha tetap bertahan duduk di kursinya walau perasaannya sangat berantakan. “Wah?! Hah? Apa aku tidak salah dengar?” “Anggap saja seperti itu.” Raina melipat kedua tangannya, kekesalan dalam hatinya kini nampak jelas dari raut wajah wanita itu. “Dokter sangat tidak profesional.” Lanjut Rey. “Ya, seperti yang kamu lihat. Aku memang bukan dokter profesional, Presdir.. maka carilah dokter lain yang sesuai dengan kriteria Anda.” Raina mengukir senyum pada bibirnya. Dia berharap ini adalah terakhir kali dia menemui Rey di dalam ruangan kerjanya. “Ah, itu. Sepertinya kamu satu-satunya yang bisa menangani rasa sakitku.” Raina terdiam, dia tidak membalas ucapan Rey Antoni. Rey masih duduk di kursi seberang mejanya. Keduanya terdiam, sejak Raina memutuskan untuk tidak menyahut ucapannya lagi. Sampai beberapa jam berlalu dan Rey segera berdiri dari kursinya. “Aku akan membayar tagihan hari ini, terima kasih karena sudah menemaniku.” Raina ikut berdiri, dia merasa lega melihat pria itu akan beranjak pergi dari dalam ruangan kerjanya. Wajah Raina terlihat bersemangat, sekali lagi Rey menyunggingkan senyumnya. Pria itu memperbaiki letak jas serta dasinya. Raina memegangi gagang daun pintu, wanita itu berniat membukakan untuknya. “Dokter sepertinya senang sekali melihatku angkat kaki dari sini.” Sindirnya pada Raina. Raina yang tadinya merasa lega kini hanya bisa menghela napas berat, dia hanya memegangi gagang daun pintu tanpa memutar atau membuka pintunya. Rey sudah beranjak berdiri dari kursinya, pria itu melangkah mendekat. Berdiri tegak tepat di belakang punggung Raina, mengulurkan tangan kanannya menggenggam punggung telapak tangan Raina pada gagang pintu. Denyut jantung Raina menjadi berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Kedua kakinya terasa lemas tak bertenaga. Raina bisa mencium aroma parfum yang sama dari sosok pria gila yang pernah menangkap dan mengurungnya beberapa minggu lalu. Dia ingat dengan jelas apa yang sudah pria itu lakukan padanya. Dengan begitu santai, Rey mengaitkan lengan kirinya pada pinggang Raina. Lalu memutar gagang pintu bersama telapak tangan kanan Raina. Rey melangkah mundur dengan perlahan melepaskan lengan kirinya dari pinggang Raina. “Tanganmu dingin sekali, Dokter.” Bisiknya pada Raina. Raina kesulitan mengatur napasnya, sialnya tangan pria itu sepertinya sengaja turun dari pinggangnya meluncur ke bawah menyentuh di sana dengan gerakan yang begitu natural seakan tidak terjadi apa-apa antara mereka berdua. “Kau!” Pekik Raina spontan. “Aku tidak sengaja.” Sahut Rey sambil tersenyum menatap wajah Raina yang sudah merah padam akibat ulahnya barusan. Rey melenggang santai keluar dari dalam ruangan kerjanya. “Sentuhan itu! Pria itu benar-benar gila!” Umpat Raina seraya bersandar pada daun pintu ruangan kerjanya. Rey terus menerus mengukir senyumnya sampai pria itu berada di dalam mobil. Dia masih ingat seperti apa wajah Raina akibat ulahnya barusan. Raina merasa gila, tentu saja tidak mudah mengusir bayangan pria yang pernah menyentuh tubuhnya untuk pertama kali. Lalu dia ingat seperti apa profil Rey, tidak mungkin pria itu hanya menyimpan satu wanita di dalam kehidupannya. Itu yang dia dengar selama ini. Walau percintaan Rey yang marak dibicarakan di depan publik tidak pernah menjadi skandal, dia tahu Rey bukan sesuatu yang bisa dia pegang ucapan atau janjinya. “Dia hanya menganggapku sebagai seorang dokter. Tidak lebih kan? Aku terlalu jauh berpikir tentangnya.” Ucapnya seraya melangkah menuju ke arah lemari pendingin. Belum selesai dia menghapus bayangan Rey dari dalam benaknya tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar ruangan kerjanya. “Siapa? Sudah sore, tidak mungkin ada pasien lagi kan?” Tanya Raina pada dirinya sendiri. Raina membuka tutup botolnya lalu meneguk setengah. Wanita itu berjalan menuju ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang. “Gesya..” Ucapnya ketika menarik daun pintu ruangan kerjanya dan ternyata itu adalah Rey. “Kamu?!” Ucapnya dengan mata melotot terkejut. “Kamu?” Ulang Rey menirukan ucapan Raina. “Maksudku Presdir.” Ralat Raina segera, wanita itu mundur beberapa langkah sampai bersandar pada sisi meja kerjanya karena desakan Rey. Dalam genggaman kedua tangan Raina masih ada botol air serta tutup botol. “Kenapa Presdir kembali ke sini?” Ucapnya lirih. Rey tersenyum, dia meraih pinggul Raina. Raina kembali melotot karena tindakan Rey menurutnya sudah kelewatan. “Kamu menduduki ponselku.” Bisik Rey seraya menunjukkan benda pipih miliknya di depan wajah Raina tanpa melepaskan pinggul Raina dari tekanan telapak tangan kirinya. Kedua tubuh saling berhimpitan, menempel satu sama lain. Raina sedikit sempoyongan karena tekanan telapak tangan Rey. Rey sepertinya sengaja sekali membuatnya berantakan lagi dan lagi. “Kamu gugup, Dokter. Detak jantungmu tidak teratur, wajahmu merah sekali, suhu tubuhmu juga terasa tidak normal.” Bisik pria itu padanya. “Lepaskan aku!” Teriak Raina spontan. Rey terkejut, pria itu segera melepaskannya. “Kamu gila!” Raina melangkah mundur menjauh. Kedua bola mata Raina tampak liar menatap sekitar. Dia sangat malu dan gugup, pria itu sudah membuatnya merasa dikuliti habis-habisan. “Kalau aku pria normal, aku tidak akan pernah berada di sini.” Sahutnya santai. “Jangan ada yang tertinggal lagi! Atau aku akan melemparkannya ke dalam tempat sampah.” Seru Raina padanya. Rey sudah berlalu pergi, Raina juga segera mengambil tasnya untuk buru-buru pulang ke rumah. Rey diantarkan supirnya kembali ke kediamannya. Pria itu masuk ke dalam rumah yang hanya dia tinggali seorang diri. Rumah tersebut terdiri dari dua lantai. Dia masih ingat masa-masa bahagia yang pernah dia lewati bersama kedua orang tuanya. Hingga segalanya berubah menjadi bencana dan menyisakan rasa sakit teramat dalam di dalam relung hatinya. Pertengkaran demi pertengkaran masih terus terngiang pada lubang telinga pria tersebut. Percekcokan, sampai perselingkuhan! Hidupnya begitu berwarna di masa kecilnya. Warna gelap dan suram. Imelda, wanita muda yang cantik. Wanita itu adalah ibu kandung Rey Antoni. Di depan matanya Imelda membawa pria muda masuk ke dalam kediamannya sementara ayahnya sedang berada di perusahaan. Semuanya masih terlihat jelas di dalam ingatan Rey, apa saja yang dilakukan dua manusia tersebut tepat di dalam kamar lantai atas rumah yang kini ditinggali olehnya! Rey menuang sebotol anggur ke dalam gelas lalu meneguknya perlahan sambil menatap samar-samar bayangan dalam ingatannya. Pasangan gila itu naik meniti tangga saling melumat, helai demi helai gaun Imelda luruh jatuh ke lantai. Pria muda tersebut dengan buas memangsa ibunya! Jiwa yang sekarat! Segurat senyum dingin terukir kembali pada bibir Rey Antoni. Jeritan dan teriakan penuh gejolak dari Imelda bersama pria lain masih terngiang-ngiang pada indera pendengarannya. “Wanita rendahan!” Gumam Rey seraya meneguk anggur dari dalam gelas dalam genggaman tangan kanannya. Rey Antoni terlahir dari rahim Imelda. Di usia belia Imelda hamil, wanita itu terpaksa menikah dengan Antoni untuk menutup aib. Sebelumnya, Imelda dan Antoni sempat terlibat dalam hubungan satu malam. Hanya satu malam. Antoni yang polos terjebak dalam ikatan pernikahan. Wanita cantik itu rupanya hanya menggunakan dirinya sebagai pion untuk menutupi jalan hidupnya yang kelam. Tidak jelas siapa ayah sebenarnya dari bayi tersebut. Sampai pada detik klimaks hubungan antara keduanya akhirnya berakhir. Pria muda lebih digemari Imelda dibandingkan dirinya yang sudah berusia hampir paruh baya. Kekayaan bukan tujuan Imelda menikah dengannya. Imelda meninggalkan Rey, baginya anaknya tersebut bukan sesuatu yang berharga. Usai perceraian, Antoni membawa wanita keluar masuk ke dalam kediamannya. Yang dilakukan Antoni tidak berbeda dengan yang dilakukan Imelda. Drama dan adegan yang sama kembali diputar berulang kali. Seorang anak remaja terpaksa melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat. Rey mengurung diri di dalam kamar untuk sembunyi dan agar dia tidak melihat semuanya. Tapi suara-suara tersebut terdengar sangat jelas dan kini memenuhi isi kepalanya sudah selama bertahun-tahun lamanya. Sejak itu Rey menjadi remaja yang pendiam, dia tidak akan bicara jika tidak ada yang bertanya padanya. Psikologisnya mulai berkembang dengan tidak normal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD