bc

If We Had A Chance, Would You Take It?

book_age18+
123
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
sweet
serious
genius
like
intro-logo
Blurb

“Dulu maupun sekarang, kita tidak pernah memiliki kesempatan. Ayo, berhentilah berharap untuk kita berdua.”

Lavender Skye memiliki tujuan hidup yang jelas dan tertata rapi. Berasal dari strata sosial menengah ke bawah, membuat Lavender harus bersikeras untuk mencapai tujuannya, walaupun Elijah Theodore, kekasihnya, mengatakan bahwa dia akan memenuhi semua kebutuhan Lavender.

Semuanya terlihat baik-baik saja. Hingga akhirnya kakak dari Elijah—Nicklaus Theodore—datang ke kehidupan Lavender dan menghancurkan semuanya.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
"Aku pulang." Lavender Skye membuka pintu rumahnya malam itu. Sudah pukul tujuh dan dia baru sampai rumah, Lavender sudah menyiapkan mental untuk mendapatkan amarah dari orang tuanya. Dari ruangan depan rumahnya, Lavender dapat langsung melihat kedua orang tuanya sedang berada di meja makan dan menoleh padanya dengan tatapan tidak suka. Lavender menghela napasnya perlahan. Oke, ini bukan pertama kalinya dia akan dimarahi ayah atau ibunya, jadi seharusnya tidak semendebarkan itu. "Ayah, Ibu." Lavender menyapa kedua orang tuanya dan menundukkan kepalanya, menunjukkan segan dan rasa hormat. "Cuci tanganmu," titah ibunya dengan nada yang sangat tidak enak didengar. Lavender mengangguk dan menuruti perintah ibunya. Setelah mencuci tangannya, Lavender menyimpan tas sekolahnya di samping kursi dan duduk di samping ibunya. "Kenapa baru pulang?" Ayahnya adalah sosok yang menyeramkan. Sungguh. Lavender tidak melebih-lebihkan. Tapi, Michael Skye adalah satu-satunya orang yang dapat membuatnya mati kutu di tempat hanya dengan menatapnya dengan tatapan tajam. Lavender menundukkan kepalanya. "Aku baru saja pulang les, Ayah." "Selarut ini?" Nada intimidasi itu sudah sering didapatkan oleh Lavender, tapi tetap saja Lavender tidak terbiasa. "Iya, Ayah. Ada tambahan dan aku memiliki beberapa materi yang ingin ditanyakan pada tutor-ku." Lavender tidak mengerti. Kedua orang tuanya-lah yang mendaftarkan Lavender ke les tambahan untuk membantunya memahami materi juga persiapan menghadapi ujian akhir dan ujian universitas. Tapi, mereka sering kali tidak mentoleransi Lavender yang pulang malam karena menghabiskan waktu di tempat les-nya. "Apa kamu tidak pernah belajar dengan benar, Lavender? Kenapa kamu tidak bisa memahami materi itu sendiri? Ayah tidak membesarkan kamu untuk menjadi anak yang bodoh." Lavender terdiam. Iya, dia sudah biasa mendapatkan cemooh itu, dan tidak pernah di satu kesempatan pun dia melawan. Dia hanya akan menganggukkan kepalanya dan mengatakan, "Maaf, Ayah." Michael menghela napas. "Belajar-lah lagi yang benar. Sudah cukup Ayah mendaftarkan kamu ke tempat les itu yang cukup menguras kantong." Michael mulai menyendokkan makanan ke mulutnya dan itu berarti pria tersebut akan sementara memberhentikan ceramahnya pada putrinya. Ibunya, Akana Skye, hanya melirik beberapa kali ke arah suaminya. Dia tidak berani menginterupsi sama sekali. "Pastikan juga kamu masuk ke universitas yang bagus, Lavender. Dan mendapatkan beasiswa penuh. Kamu tahu sendiri bagaimana keadaan kita dan kami sepertinya tidak mampu untuk membayar kuliah kamu nanti." Lavender lagi-lagi mengangguk. Dia tidak menyela ucapan ibunya, karena memang itu-lah kenyataannya. Lavender Skye tidak berasal dari keluarga yang mampu dan kaya raya. Jika diukur dalam strata sosial, maka dia berada di kalangan menengah ke bawah. Dituntut untuk menjadi yang terbaik, pertama, dan penurut adalah santapan Lavender tiap hari. Lavender dididik dengan keras dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang langsung. Tapi tidak apa, Lavender sudah biasa. Lagipula, satu hal yang dapat ia syukuri adalah kedua orang tuanya masih lengkap. Benar, kan? Bukankah hal itu dapat menjadi rasa syukur yang sederhana? "Bagaimana nilai kamu?" Lavender mengalihkan pandangannya dari piringnya dan mendongak. Sialnya, tepat sekali dia bertubrukan dengan tatapan dari ayahnya. Lavender kembali menunduk. "Baik-baik saja." "Tidak ada yang turun?" Lavender menggeleng. "Baguslah. Apa kata pihak sekolah? Mereka bisa mencarikan kamu beasiswa?" Lavender mengangguk. "Besok aku dipanggil untuk menemui wali murid. Aku akan menanyakan lebih lanjut." Michael mengangguk seadanya. "Dengar, kami hanya memiliki kamu dan sudah tugas kamu-lah untuk mengangkat derajat keluarga kita. Tidak banyak yang bisa kami lakukan. Tapi kamu, waktu kamu masih banyak untuk berusaha lebih keras." Lavender tetap menganggukkan kepalanya. Dia tidak berani mendongak kembali karena dia hanya akan bertatapan dengan intimidasi dan arogansi ayahnya lagi. "Lavender," panggil Michael. "Lavender, tatap Ayah kamu." Lavender dengan ragu mendongak. "I-iya?" "Jangan sampai kamu membuat kami menyesal sudah membesarkan kamu dengan baik." Jika Lavender masih memiliki hati, mungkin dia sudah menangis sekarang. Tersedu-sedu karena ucapan ayahnya sangat menyakitkan dan membuat dia merasa tidak berguna. Sayangnya, hatinya sudah hancur berkeping-keping entah sejak kapan. Lavender memberikan senyum tenangnya dan mengangguk. "Iya, Ayah." Orang tuanya tidak pernah tahu bagaimana perasaan Lavender. Tapi, Lavender tidak memiliki kuasa untuk melawan. "Oh iya, ada undangan makan malam dengan temanku, Michael," ujar Akana yang membuat perhatian Michael teralihkan. "Siapa?" "Ivy Theodore. Dia ingin kita pergi ke kediamannya besok malam." Oh Tante Ivy, Lavender pernah bertemu dengannya satu kali beberapa tahun yang lalu. Dia adalah kerabat dari ibunya yang berasal dari kalangan atas. Yap, lingkaran pertemanan ibunya tidak sesuai dengan kondisi keluarganya, membuat Akana beberapa kali harus memaksakan diri agar tidak timpang dari teman-temannya itu. "Aku tidak bisa. Besok jadwalku untuk lembur di kantor." Akana menghela napas. Lalu, dia menoleh pada Lavender. "Kamu ikut, ya. Temani Ibu." Lavender mengangguk. Tentu saja, dia tidak berani untuk melawan ibunya. * "Aku harus pergi ke ruangan konselor." Lavender tersenyum kecut, merasa bersalah pada temannya yang bernama, Kendy. Kendy berdecak. "Baiklah. Nanti kamu menyusul saja, oke? Aku ada di kantin." Lavender mengangguk dan membiarkan Kendy pergi lebih dulu, sementara dia berjalan ke lain arah untuk pergi menemui wali murid kelasnya. Ruangan itu dipenuhi beberapa guru mengingat ini sudah jam istirahat. Perlahan, Sydney mengetuk pintu besar di hadapannya dan masuk ke ruangan itu. "Ah, Lavender! Kemarilah!" Ibu gurunya yang bernama Jessica, melambaikan tangannya ke arahnya. "Siang, Bu." Jessica tersenyum dan mengangguk. "Ibu punya beberapa rekomendasi universitas yang sekiranya kamu minati. Melihat nilai kamu yang sangat bagus, tidak akan sulit untukmu, Lavender." Jessica membawa beberapa brosur universitas tersebut. "Apa ada beasiswa penuh?" Lavender menatap Ibu Guru-nya dengan tatapan berharap. "Ada. Banyak beasiswa yang mereka sediakan." Jessica masih menampilkan senyuman yang ramah. "Oh ngomomg-ngomong, univeritas mana yang menjadi impian kamu?" "Duke University." "Duke?" Jessica terlihat kaget. "Aku mengira kamu akan memilih Stanford atau Harvard bahkan." Lavender tersenyum. "Aku masih menimbang-nimbang, Bu. Aku rasa kedua universitas itu terdengar sulit digapai." Jessica berdecak. "Tidak. Lihatlah nilai kamu, Lavender. Semua murid di sekolah ini memimpikan nilai-nilai kamu." Lavender tersenyum manis demi menjunjung kesopanannya. "Terima kasih, Bu." "Selama kamu mempertahankan nilai kamu, aku yakin akan semakin mudah untuk mendapatkan universitas yang kamu mau. Oh iya, beberapa universitas akan mengadakan wawancara dalam waktu dekat, aku akan menginformasikannya padamu nanti." Lavender kembali mengangguk. Setelah mengobrol beberapa hal dengan Bu Jessica, dia pamit mengundurkan diri. Hatinya lega bukan main mendengar jalannya menuju dunia perkuliahan sepertinya akan lancar. Lavender tidak bisa menahan senyumannya. Pikirannya melayang dan berandai-andai dengan imajinasi indahnya. Hingga ... "Ouch!" Lavender tidak sengaja menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya. "Astaga, maafkan aku." Dia menundukkan badannya, merasa bersalah pada orang tersebut. "Tidak apa-apa. Lain kali berhati-hatilah ketika berjalan." Suara laki-laki itu terdengar sangat tenang di telinga Lavender. Lavender mendongakkan kepalanya dan melihat seorang pemuda seumuran dengannya sedang tersenyum pada dia. "Maaf sekali lagi." Lavender kembali menunduk. Dia merasakan pipinya memanas karena tatapan matanya bertubrukan dengan tatapan lelaki itu yang sangat teduh. Tergesa-gesa Lavender pergi dari sana. Mencoba menahan dirinya untuk melakukan hal yang lebih konyol. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook