Bab 2

1114 Words
Harus kujawab dengan apa ucapan ibu barusan? Aku hanya bisa terdiam. Tapi harusnya ibu tahu bahwa aku tidak pernah menyalahkan siapa pun atas takdir ini. Ibu menghela nafas panjang dan terdengar berat. "Ibu merasa lelah. Ibu mau istirahat dulu." Aku mengangguk. "Iya, bu. Baiknya ibu istirahat agar hati ibu bisa tenang kembali." Ibu tersenyum samar sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kursi yang didudukinya tadi menuju ke dalam. Kini hanya tinggal aku dan Mas Ari yang duduk di kursi butut ini. Dan atmosfer terasa sedikit tegang meskipun harusnya tidak. Aku hanya merasa Mas Ari ingin menyampaikan sesuatu padaku. "Nur...." Feeling seorang istri memang kerap kali benar. Baru saja Mas Ari menyebut namaku sebagai awal penyampaiannya. "Ya, mas," jawabku lembut. Sungguh aku sangat menghormatinya sebagai sosok suami meskipun pekerjaannya hanya kuli panggul di pasar. "Mas itu mau tanya, kamu itu tidak sadar apa pura-pura tidak sadar." Dahiku mengernyit. "Maksud Mas apa yang sadar dan pura-pura tidak sadar itu?" "Maksud Mas kamu itu sadar tidak kalau diperlakukan tidak baik dengan keluarga kamu? Awal-awal sih mas mengira keluargamu memperlakukanmu seperti itu karena ketidaksengajaan, tapi lama-lama Mas tau kalau keluargamu memperlakukanmu dengan tidak baik dengan disengaja. Bulan kemarin saja, di malam pertunangan Sinta, kamu ditempatkan di dapur untuk mengurus makanan dan mencuci semua peralatan dapur yang kotor. Sampai jam dua belas malam kamu melakukan itu. Sedangkan yang lainnya berada di depan senang-senang menyaksikan Beni menyematkan cincin di jari manis Sinta. Harusnya kamu merasa kalau kamu itu tidak dianggap keluarga oleh mereka. Mereka memperlakukanmu sebagai babu gratisan." Aku menggigit bibir bawah sebelum akhirnya menjawab, "Aku... sebenarnya sadar kok mas kalau mereka memperlakukanku dengan tidak baik. Akan tetapi, aku tidak tau harus bersikap apa? Memusuhi mereka? Kan itu tidak mungkin. Bagaimana pun mereka adalah keluargaku." "Aku tidak menyuruhmu untuk memusuhi mereka, tapi ada baiknya kamu bersikap tegas agar mereka tidak memperlakukanmu seperti babu. Pembantu saja harus dihargai sama majikan apalagi kamu bukan pembantu mereka melainkan keluarga." "Aku paham, Mas. Ke depannya aku akan berusaha untuk mengubah sikapku pada mereka meskipun bertahap." Mas Ari menyentuh tanganku dengan senyuman sebagai tanda dia mendukungku. *** Seperti biasa, setelah masak dan membereskan rumah, aku duduk di warung menunggu pembeli. Warung ada sumber penghasilan utama keluargaku sejak beberapa tahun ke belakang. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tapi bisa membuat aku dan ibu bertahan hidup walaupun tidak pernah bisa menabung. Keinginan bisa mempunyai tabungan baru terwujud sejak aku menikah dengan Mas Ari. Dari upah Mas Ari-lah yang dijadikan tabungan. Berharap suatu hari bisa merenovasi rumah aku, ibu, dan Mas Ari tinggali selama ini. Aku sedang menyusun barang dagangan yang berantakan ketika melihat Sinta yang mengendarai sepeda motor, mendekat ke warungku. Gadis itu turun dengan menenteng plastik yang kemudian dia lempar dengan tidak sopan ke arahku. "Nih, bahan brokat dan satin ibu kamu pakai saja kamu! Kalian ini sudah miskin tidak ada rasa terima kasih sudah diberi malah dikembalikan! Itu tuh bahan mahal yang tidak mampu kalian beli! Jadi jangan sok-sokan tidak mau menerima padahal terbayang-bayang di benak! Kami sudah memutuskan jika ibumu tidak mau menghadiri pernikahanku tidak apa-apa! Tapi kamu jangan ikut-ikutan tidak datang kalau tidak ingin dicoret nama kalian dari daftar keluarga besar kita! Lagian nanti tidak ada yang akan mengambilkanku minum atau tisu pas acara!" Aku harus menanggapi seperti apa sikap Sinta barusan? Tentu saja hanya diam karena menghindari keributan. "Kamu itu mengerti tidak sih apa yang aku katakan tadi?! Kenapa diam saja seperti orang bodoh?!" Aku mengangguk. "Iya, aku mengerti, Sin." Sinta mendecih dengan sikap jijik sebelum akhirnya pergi. Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya memungut plastik berisi bahan brokat dan satin yang tadi dilempar oleh Sinta dari lantai. Bersamaan dengan itu, ibu muncul dari dalam. "Ibu tadi mendengar suara Sinta dari dalam. Apa barusan dia datang? Mau apa dia datang?" tanyanya dengan memburu. Aku mengangguk sembari menyodorkan plastik di tanganku yang segera diambil oleh ibu dan beliau periksa isinya. "Bahan yang kemarin?" tanya ibu dengan menunjukkan garis wajah bingung. "Iya, bu. Katanya suruh aku yang pakai karena aku diwajibkan datang oleh mereka. Jika tidak aku akan dicoret dari daftar keluarga." "Jadi kamu mau datang?" "Aku belum tau, bu. Tapi... memang tidak baik memutus silaturahmi dengan keluarga, bu. Terlepas mereka bersikap buruk dengan kita." Ibu terdiam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk samar. "Iya, kamu benar. Almarhum nenek dan kakekmu pasti sedih kalau anaknya bermusuhan." "Syukurlah kalau ibu mengerti. Jadi bahan itu untuk ibu saja. Nanti aku akan cari yang lain. Syukur-syukur bisa couplelan dengan Mas Ari." "Memangnya kamu punya uang untuk membelinya?" "Pakai uang tabungan, bu. Aku yakin Mas Ari bakal mengizinkan. Nanti nabung lagi." "Oh, ya sudah kalau begitu. Sesekali kamu juga harus tampil cantik agar tidak membuat malu Bibimu sekeluarga di hadapan besan. Walaupun bukan sarjana dan PNS, minimal tidak kucel." "Iya, Bu. Aku pun berpikir seperti itu." Maka sore harinya saat Mas Ari pulang kerja, aku mengungkapkan maksudku untuk membeli gaun pesta yang couplelan dengannya. "Jadi boleh tidak Mas, uang tabungannya aku pakai dulu?" Agak takut juga aku menyampaikan ini. Karena mencari uang itu tidak mudah bagi kami. Mas Ari tersenyum, lalu menyentuh pipiku dengan tangannya yang kekal dan berotot. "Tentu saja boleh, sayang. Pakai saja. Sebagai istri kamu berhak untuk tampil cantik di resepsi pernikahan Sinta." Aku menggenggam tangan Mas Ari dan menciumnya. "Terima kasih ya, mas. Mas baik sekali." "Sama-sama. Tapi mas mau usul biar Mas saja yang membeli baju couple untuk kita. Kebetulan Mas punya kenalan penjual baju. Mas yakin pilihan Mas pasti kamu suka." Aku mengangguk cepat tanpa sedikit pun keberatan karena aku sendiri ragu untuk membelinya sendiri. Maklumlah, aku tidak bisa berdandan. Cara berpakaianku kuakui kampungan sekali. Aku yakin Mas Ari lebih punya kemampuan untuk memilih pakaian yang cocok buat kami karena aku sering memperhatikannya saat pergi kondangan. Dengan pakaian sederhana yang dikenakannya, Mas Ari terlihat keren menurutku. "Ya, mas. Boleh kok." "Oke. Bersiaplah kamu menjadi pusat perhatian," ucap Mas Ari sembari beranjak dari duduknya. Aku hendak bertanya maksud ucapannya barusan ketika sebuah pesan w******p masuk ke ponsel bututku. Aku langsung cek. Ternyata dari Sinta. 'Mulai besok kamu ke rumah. Banyak pekerjaan menunggumu.' Tulisnya di pesan itu. Aku menipiskan bibir. Lagi-lagi Sinta memperlakukanku seperti babu. Aku jadi ingat pesan Mas Ari untuk tegas. 'Lihat bagaimana besok ya, Sin. Karena aku kan harus jualan.' Langsung mendapat balasan. 'What????? Berani kamu bicara seperti itu? Apakah warung jelekmu itu lebih penting dari persiapan pernikahanku? Padahal warung kamu itu sepi pembeli! Paling juga dapat duit sepuluh ribu doang! Tapi sikapmu barusan sombong amat!' Aku menghela nafas berat membaca pesan dari Sinta. Benar-benar tidak menyaring kalimat. Padahal dia adalah seorang guru yang seharusnya menunjukkan sikap yang baik. Tapi sudahlah. Sikap dia adalah urusan dia. 'Tentu saja persiapan pernikahan kamu itu lebih penting, tapi bagi kamu. Sementara bagiku, warungku yang lebih penting,' balasku. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD