"Maaf, Tuan. Apa Anda butuh sesuatu? Sepertinya Anda sedang kurang sehat?" tanya Pras pada akhirnya.
Pemuda itu sangat penasaran dan khawatir dengan kondisi Kenan. Kenan menghela napas berat dan sedikit memijit kepalanya yang berdenyut.
"Aku baik-baik saj, hanya sedikit pusing. Kau belum menjawab pertanyaanku, Pras," ucap Kenan berusaha untuk tetap baik-baik saja agar Pras tidak curiga.
"Semua berjalan dengan lancar, ini laporan kegiatan kemarin," ucap Pras sambil menyerahkan map berwarna biru muda.
Kenan menerima dan membuka map tersebut, senyum mengembang di sudut bibirnya, merasa puas dengan laporan Pras.
"Kau memang bisa diandalkan, Pras. Terima kasih sudah membantuku. aku akan memberikan bonus untukmu," jelas Kenan sambil menulis nominal uang pada buku cek dan menandatanganinya.
"Ini untukmu," lanjut Kenan menyerahkan kertas cek itu.
"Terima kasih, Tuan. Sebaiknya, Anda beristirahat terlebih dahulu. Sejak beberapa hari ini, Anda tidak beristirahat dengan baik. Saya mengkhawatirkan kondisi Tuan Kenan."
"Umm."
"Apa yang ingin Anda makan atau minum, Tuan? Biar saya siapkan," tawar Pras.
"Tolong ambilkan obat sakit kepala dan air hangat," pinta Kenan sambil kembali memijit pelipisnya.
"Baik Tuan. Saya permisi mengambilkannya," pamit Pras sambil keluar ruangan Kenan. Pria itu mengangguk.
~~~
Kinanti tampak melamun di ruang tunggu ruangan putranya di rumah sakit. Wajahnya tampak kusut dan lesu. Rambutnya pun tidak tertata rapi. Kedua matanya sedikit sembab serta sedikit memerah. Begitu kacau sekali kondisi wanita cantik itu.
Hendrik yang baru datang menghampiri Kinanti sambil menatap wanita berparas cantik itu dengan tatapan aneh. Kedua alisnya ia kerut kan.
"Apa yang terjadi denganmu, Kinanti? Kenapa matamu bengkak dan memerah? Apa kau habis menangis?" cecar Hendrik penuh selidik.
"Hen--Hendrik, kau mengejutkanku. Kapan kau datang?"
Kinanti yang tengah melamun begitu terkejut melihat kedatangan Hendrik. Dengan cepat Kinanti merapikan dirinya.
"Baru saja. Sebenarnya kau kenapa Kinanti?" ulang Hendrik semakin penasaran.
Kinanti menghela napas sedikit kasar. Menelan dengan susah payah ludahnya dan berusaha mengatur dirinya agar tetap tenang dan membuat Hendrik curiga.
"Kinanti," panggil Hendrik lembut sambil mendekat ke arah Kinanti.
"A--aku bertemu Mas Kenan," jujur Kinanti.
"Apa? Kau bertemu Kenan?" ulang Hendrik terkejut.
"umm."
"Kapan?"
"Tiga hari lalu. Saat kita ke pusat kuliner malam itu," jelas Kinanti datar.
"Jadi, itu alasan sebenarnya kau pulang terlebih dahulu dan meninggalkanku waktu itu?" cecar Hendrik semakin penasaran.
"Maafkan aku, Hen. Bukan maksudku membohongimu. Aku hanya tidak ingin kau mengkhawatirkan-ku," jelas Kinanti datar.
"Apa yang sudah laki-laki b******n itu lakukan padamu sampai kau seperti ini?" tanya Hendrik dengan kesal.
Pasalnya, Hendrik memang masih dendam dengan Kenan dan keluarganya. Apalagi melihat penderitaan yang dialami Kinanti beberapa waktu belakangan ini karena ulah mereka yang tidak berperasaan.
"Mas Kenan, dia ...."
"Tidak usah katakan jika membuatmu berat melakukannya. Tempat ini sudah tidak aman untukmu. Bukan tidak mungkin dia akan datang kembali mencari-mu. Selain itu, putramu juga bisa ditemukan olehnya. Kau tahu, bukan siapa Kenan?" jelas Hendrik mencoba mengingatkan Kinanti.
Kinanti mendongak. "Kau benar, Hen. Ke mana lagi aku harus bersembunyi? Aku tidak bisa terus menerus melarikan diri. Mas Kenan pasti akan menemukanku," ucapnya lesu.
"Satu-satunya cara kau harus menghadapinya. Kita kembali ke Indonesia. Setidaknya, di sana bukan hanya aku yang akan melindungi-mu. Ada keluargaku dan keluargamu yang juga akan menjagamu, juga putramu. Jika terus di sini, aku tidak bisa terus bersamamu, aku juga harus bekerja," jelas Hendrik berusaha membujuk Kinanti.
Kinanti terdiam, mencoba mencerna tiap bait kata yang diucapkan Hendrik. Jika dipikir-pikir memang ada benarnya apa yang dikatakan pemuda itu.
Kinanti," panggil Hendrik lembut.
"Kau benar, Hen. Aku sendiri di sini. Akan lebih aman dan kuat jika banyak yang membantuku. Namun, aku tidak enak hati padamu. Aku sudah terlalu banyak merepotkan-mu," putus Kinanti dengan tidka enak hati, mengingat kebaikan Hendri yang telah banyak membantunya.
-
"A--aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya tidak tega melihatmu sendiri menghadapi semua. Bagaimana pun juga aku terlibat. jika bukan karena aku, hidupmu tidak akan seperti ini, Kinanti," ucap Hendrik penuh penyesalan.
"Ini bukan salahmu, Hen. Semua yang terjadi padaku adalah takdir. Aku minta maaf telah menyeret-mu dalam masalahku," sesal Kinanti sambil tertunduk.
Hendrik mendekat dan berjongkok di hadapan Kinanti. Meraih wajah wanita berparas cantik itu dan menangkupkannya.
"Jangan salahkan dirimu. Ini semua sudah terjadi, bukan kau penyebabnya. Berhenti menyalahkan diri sendiri," ucap Hendrik mencoba meyakinkan Kinanti.
"Jadi ini alasanmu melarikan diri dariku? Karena kau ingin bersama laki-laki ini? Apa kau begitu ingin dia menjadi Ayah dari putramu itu?" cecar Kenan yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Mas Kenan."
"Kenan."
"Kenapa? Apa kalian terkejut melihatku?" tanya pemuda itu dingin.
"Kau ...."
"Alasan apa lagi yang akan kau katakan padaku? Masih mu berpura-pura tidak mengenalku?" Kenan semakin mencecar Kinanti.
"Jangan memaksanya!"
"Kau membelanya? Sebaiknya, singkirkan tanganmu dari Kinanti!" marah Kenan melihat kedua tangan Hendrik di wajah Kinanti.
"Kau yang sebaiknya pergi dari sini! Jangan mengganggunya!" seru Hendrik menantang.
"Oh, mau aku hajar!" seru Kenan sambil mendekat hendak memukul Hendrik.
"Stop! Berhenti! Jangan sakiti dia. Kita bicara," cegah Kinanti yang tidak ingin ada keributan.
"Kinanti, jangan mendekatinya," cegah Hendrik yang khawatir dengan Kinanti.
"Tidak apa. Aku akan bicara dengannya. kau tunggu di sini," ucap Kinanti sambil menarik tangan Kenan, menjauh dari Hendrik.
~~~
Kinanti membawa Kenan keluar rumah sakit dan mencari tempat untuk bicara dengan pria itu. Mereka pergi ke taman yang berada tidak jauh dari tempat itu dan melepaskan tangan pemuda itu. Kenan mendekat ke arah Kinanti dan sedikit mencengkeram wajahnya. Memepet tubuh Kinanti pada batang pohon besar di belakang wanita itu dan menguncinya.
"Penjelasan apa lagi yang akan kau berikan? Masih mau berpura-pura padaku?" tanya Kenan dengan tatapan tajam.
"Aku tidak akan berpura-pura lagi padamu. Aku memang melakukan penyamaran untuk bisa melarikan diri darimu karena aku tidak ingin bertemu denganmu lagi," jelas Kinanti melepaskan cekalan Kenan di wajahnya.
"Kenapa? Kau benar-benar tidak menginginkanku lagi?" tanya Kenan kembali tanpa melepaskan tatapannya.
"Mas, tolong lepaskan aku. Biarkan aku hidup bebas. Aku tidak akan memintamu bertanggung jawab atas anak itu. Lagi pun, kau juga sudah memiliki tunangan dan akan segera menikahi Jeny, bukan?"
"Aku tidak akan melepaskan-mu, Kinanti. Aku tetap harus bertanggung jawab. Anak itu putraku, aku berhak atasnya. Tidak akan aku biarkan putraku diurus oleh orang lain."
"Mas, aku ...."
"Satu hal lagi. Pertunangan itu diatur oleh mamiku. Aku tidak pernah mencintai Jeny. Kau adalah wanita yang aku cintai, dari dulu hingga sekarang. Kau masih istriku, Kinanti."
Kinanti dan Kenan berdebat. Keduanya sama-sama mempertahankan egonya. Kenan yang terbakar emosi serta cemburu tak akan melepaskan Kinanti dan terus meyakinkan wanita tersebut.
"Aku tidak bisa kembali padamu. Hatiku sudah terlalu sakit padamu yang tidak mempercayaiku dan aku ...."
Kenan meraih wajah Kinanti dan menciumnya mesra. Kinanti yang terkejut berusaha melepaskannya. Namun, Kenan menguncinya kuat hingga wanita itu sulit bergerak. Untuk sesaat mereka larut dalam buaian.