Bab 9 Gundah

1025 Words
"Berhenti meronta dan berteriak! Atau aku akan meciummu," ucap orang yang ternyata Kenan itu setengah mengancam. Kinanti terdiam sejenak dan berhenti meronta. Menatap nanar ke arah Kenan. Napasnya bergemuruh menahan rasa. "Kenapa Anda terus mengganggu saya, Tuan?" tanya Kinanti pelan. Kenan menghela napas kasar dan menatap tajam ke arah Kinanti, tampak tidak suka dengan ucapan wanita berparas cantik itu. "Kau memanggilku apa? Berpura-pura tidak mengenalku? Masih ingin bersandiwara demi menyembunyikan identitasmu?" tanya Kenan tidak suka. "Tolong lepaskan saya! Saya tidak mengenal Anda, Tuan!" seru Kinanti mengelak. Kenan meraih wajah Kinanti dan membungkam mulutnya dengan ciuman, membuat Kinanti terbelalak dan meronta. Namun, Kenan menguatkan dekapannya hingga Kinanti kesulitan bergerak. Namun, wanita itu tidak kehabisan akal, ia menggigit bibir Kenan. Pria itu melepaskan ciumannya dan mengusap pelan bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah akibat gigitan Kinanti. Kenan tersenyum kecut. "Kau menggigitku?" tanyanya lembut. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Kenan. Pemuda itu memegang wajahnya yang sedikit perih. "Tolong jaga sikap Anda, Tuan!" seru Kinanti sambil menatap nanar ke arah Kenan. "Kau pikir aku akan menyerah hanya karena tamparan dan gigitan darimu?" "Apa kau tidak mengerti ucapanku? Anda salah orang!" "Teruslah berpura-pura. Aku tidak akan terkecoh olehmu. Bibirmu masih terasa manis, sama seperti pertama aku menciummu, Sayang." Kinanti terus mengelak meski Kenan mengetahui kebohongannya. Membuat pria itu semakin penasaran dan nekat untuk bisa mendekati wanita itu kembali. "Aku sangat mengenalmu. Aku tahu kapan kau bohong dan jujur padaku, Kinanti. Kau boleh membenciku bahkan memukulku. Namun, kau tidak bisa bohongi hatimu kalau kau masih mencintaiku," yakin Kenan menatap tajam ke arah Kinanti. Wanita itu terdiam. Dadanya terasa sesak menahan rasa. Hatinya kembali sakit jika harus mengingat bagaimana kenangan masa lalu itu kembali datang dan menari dalam ingatannya. ~~~ Delapan bulan lalu. "Usir wanita itu dari rumah! Dia sudah berselingkuh dan hamil anak selingkuhannya! Untuk apa kau pertahankan lagi?" seru Kesya dengan ketus sambil menunjuk kasar ke arah Kinanti. "Mi, aku tidak selingkuh. Anak ini benar-benar anak Mas Kenan," jelas Kinanti membela diri. "Maling mana ada yang mengaku. Begitu pun perempuan jalang sepertimu. Kau pikir aku percaya jika itu anak Kenan? Kau itu jalang yang suka berselingkuh. Apa kau ingin membuktikan jika kau tidak mandul hingga mencoba berhubungan dengan pria lain? Atau, kau merasa tidak puas dengan anakku Kenan hingga mencari pria liar untuk memuaskan-mu!" sarkas Kesya. "Mi! Aku tidak serendah yang Mami kira, aku ...." Plak! "Beraninya kau berteriak padaku! Mencoba membela diri!" Kesya murka dan tidak menerima penjelasan Kinanti, ia meraih kepala Kinanti dan menjambak rambutnya kuat, memaksa wanita itu mendongak. "Argh!" Kinanti sedikit berteriak, memegangi tangan Kesya yang menjambaknya sambil meringis menahan sakit dan perih di sekitar kepala. "Tolong lepaskan, Mi. Aku tidak berbohong," bela Kinanti berusaha meyakinkan mertuanya. Namun, Kesya yang memang membenci Kinanti itu tidak memedulikan dan mempercayai wanita cantik itu. Tanpa ampun menarik kuat rambut Kinanti dan menyeretnya hingga keluar ruang tamu. Mendorong cukup kuat tubuh kinanti hingga tersungkur ke tanah. Kemudian, melemparkan semua pakaiannya. Wanita tua itu lalu menutup pintu dan masuk. Kinanti berusaha bangkit sambil meringis menahan sakit kali ini di perutnya. Mengetuk pintu cukup keras. "Buka Pintunya, Mi! Aku mohon, buka pintunya! Aku tidak berbohong, tolong percaya! Buka, Mi!" seru Kinanti. Wanita itu berusaha memohon belas kasihan Kesya. Namun, Kesya sma sekali tidak memedulikannya. Tubuh Kinanti merosot hingga duduk di balik pintu sambil menangis. "Kenapa Mami begitu membenci dan tidak mempercayaiku? Ujian apa lagi ini, Tuhan?" monolog Kinanti sambil terisak. ~~~ Kinanti tersenyum kecut, menatap nanar ke arah Kenan. Ada kebencian di balik binar matanya yang indah. "Kau benar, Tuan. Saya memang Kinanti. Namun, Kinanti yang Anda lihat sekarang bukanlah Kinanti yang dulu. Anda tidak akan pernah bisa memintaku kembali lagi," ucap wanita cantik itu dingin. "Kinanti, aku ...." "Pergilah, Tuan! Aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi! Hubungan kita sudah berakhir, meski Anda tidak ingin menceraikan-ku. Namun, aku sangat ingin berpisah darimu! Jadi, jangan pernah Anda berpikir untuk membuatku kembali padamu, itu tidak akan pernah terjadi!" jelas Kinanti dengan penuh penekanan di akhir kalimat. 'Kinanti, begitu bencinya dirimu padaku. Tidak memberi aku kesempatan menebusnya. Namun, aku tidak akan menyerah. Aku pasti bisa memenangkan hatimu kembali,' batin Kenan sambil terus melangkah. ~~~ Kinanti menutup pintu dan tersungkur di baliknya. Wanita itu tertunduk sambil menekuk kedua kakinya dan menopang tangannya pada kedua lutut. Tidak ada suara, hanya isak tangis yang terdengar pilu. 'Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi, Mas? Aku sudah berusaha melupakanmu. Namun, mengapa, semakin aku mencoba melupakanmu, semakin sakit rasanya hatiku?' monolog Kinanti dalam hati. Lamunan Kinanti membuyar, ketika suara ponsel berdering. Wanita itu meraih tas yang tergeletak di depannya dan mengambil benda pipih berwarna putih dari dalamnya. Tertera nama Hendrik di sana. "Astaga, aku lupa telah meninggalkan Hendrik di sana," ucap Kinanti sambil menepuk keningnya yang teringat akan Hendrik. ["Halo, Hen."] ["Kinanti, kau ke mana? Aku mencari-mu, tapi kau tidak ada."] ["Maaf, Hen. Aku tadi sakit perut. Jadi pulang terlebih dahulu dan lupa menelepon-mu."] ["Ya ampun, Kinan. Apa sekarang sudah membaik?"] ["Sudah cukup baik. Sekali lagi, aku minta maaf, Hen."] ["Tidak apa. Kau istirahatlah dulu. Aku akan ke rumahmu mengantar makanan dan obat."] ["Tidak usah. Sudah ada di rumah. Kau pulang saja."] ["Baiklah. Kalau begitu aku ke rumah sakit saja menjaga bayimu. Setelah kau membaik, baru datang ke sana."] ["Baiklah. Terima kasih. Maaf, sudah merepotkan-mu."] ["Tidak perlu sungkan. Aku tutup teleponnya, ya?"] ["Baiklah."] Panggilan telepon berakhir. Kinanti bernapas lega karena Hendrik tidak curiga padanya. Kinanti memijit kepalanya yang mulai berdenyut. Wanita itu bangkit dan melangkah menuju dapur, mengambil segelas air dan obat pereda sakit kepala. Kemudian, membersihkan diri dan beristirahat. *** Kenan duduk termenung di kursi kebesarannya. Pikiran pria itu masih belum fokus dan masih terbayang akan ucapan Kinanti. Wajahnya tampak kusut dan sedikit pucat. Suasana hatinya pun masih kacau. Pras masuk setelah ketukan pintu tak dihiraukan Kenan. Galau melanda Kenan kini. "Maaf, Tuan. Saya lancang masuk. Sudah mengetuk pintu, tetapi Tuan tidak merespons," jelas Pras sambil tertunduk. Kenan menghela napas berat. "Maaf, Pras. Aku tidak mendengarnya. Ada apa datang ke ruanganku?" jelas Kenan lesu. 'Sepertinya, suasana hati Tuan Kenan sedang tidak baik. Wajahnya begitu berantakan. Apa terjadi sesuatu antara Tuan dan Nyonya? Atau, Tuan Kenan belum bertemu dengan Nyonya?' monolog Pras dalam hati dengan penasaran. "Pras," panggil Kenan pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD