"Iya, aku memang menyuruh mereka menjagamu. Sebab, aku tidak bisa menjagamu selama dua puluh empat jam. Aku tahu kau tidak nyaman dengan ini, tapi ini demi kebaikanmu," ucap Kenan dengan santai sambil mendekatkan wajahnya pada Kinanti.
Kinanti menajamkan tatapannya. Hatinya kembali sakit saat melihat wajah Kenan. Dadanya terasa sesak dan napas di kerongkongan seakan ingin mencekiknya.
"Aku tidak akan pernah sudi tinggal bersamamu. Meskipun, seribu penjagamu di sini. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah berdamai denganmu, juga keluargamu!"
Sorot mata Kinanti begitu tajam. Rasa benci dan sakit hati kembali menyelimuti dirinya. Bayangan akan bagaimana kehidupannya sebelum akhirnya bertemu kembali dengan Kenan.
Kenan yang melihat ekspresi wajah Kinanti paham, jika kondisi wanita itu sedang labil. Kenan berusaha tetap tenang dan hendak memegang kedua pundak Kinanti. Namun, dengan cepat Kinanti menepisnya.
"Jangan sentuh aku! Tidak bisakah kau membebaskan-ku dari belenggu-mu, Tuan Kenan? Apa belum puas kau menghancurkan hidupku?"
Kinanti semakin menjadi. Ingatan itu semakin jelas terlihat. Kinanti mulai lepas kendali dan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Kenan dengan cepat memegang pundak wanita itu.
"Tenanglah, Kinanti. Aku mohon, kendalikan dirimu."
Kenan berusaha menenangkan Kinanti. Sebisa mungkin, pria itu melakukannya, meski mendapat perlawanan dari Kinanti.
"Lepaskan aku! Jangan menyentuhku! Kalian jahat! Aku benci kalian! Aku benci!"
Kinanti berteriak histeris. Kedua tangannya mendorong tubuh Kenan cukup kuat agar menjauh. Kenan hampir tumbang. Beruntung, pria itu masih bisa menahannya hingga tidak terjatuh.
Kenan menggenggam kedua tangan Kinanti, meski wanita itu melawan. Namun, itu adalah cara Kenan untuk menenangkannya.
"Kinanti, tenanglah."
"Lepaskan aku! Pergi dari hadapanku! Aku tidak ingin melihatmu! Pergi!"
"Kinanti."
"Pergi!"
"Ronald!"
Kenan kewalahan menahan Kinanti yang terus memberontak. Wanita itu sudah benar-benar lepas kendali dan hendak mencekik Kenan. Pria tersebut pun memanggil salah satu bodyguardnya untuk membantu.
"Ada apa, Tuan Kenan?" tanya Ronald yang langsung masuk dan menghampiri Kenan.
Pria tinggi besar berkulit sedikit gelap itu terkejut melihat Kenan dan Kinanti. Namun, tidak berani mendekat tanpa izin Kenan.
"Panggilkan perawat, cepat!" perintahnya sambil terus berusaha menahan Kinanti yang sudah seperti orang kerasukan.
"Baik, Tuan."
Ronald dengan cepat keluar ruangan dan memanggil perawat yang berjaga. Dua orang perawat segera datang ke ruangan itu dan membantu Kenan memegangi Kinanti. Kenan mengambil suntikan berisi cairan obat penenang yang tadi di minta untuk di bawa oleh perawat. Kemudian, ia menyuntikkannya ke lengan Kinanti, meski dengan susah payah, akhirnya Kenan berhasil.
Perlahan, tubuh Kinanti melemas dan akhirnya tidak sadarkan diri akibat pengaruh obat penenang tersebut. Kedua perawat perlahan melepaskan pegangan pada tubuh Kinanti dan membaringkan wanita itu perlahan.
"Terima kasih atas bantuannya," ucap Kenan pada kedua perawat tersebut.
"Sama-sama, Dok," ucap kedua perawat itu bersamaan.
"Kalian boleh pergi sekarang," ucap Kenan sambil kembali mendekati Kinanti.
"Baik, Dok. Kami permisi," ucap kedua perawat itu sambil pamit undur diri. Kenan mengangguk.
Selepas kepergian dua perawat tersebut, Kenan duduk di samping Kinanti dan sebelah tangannya mengusap lembut kening wanita yang kini tengah terbaring tak sadarkan diri tersebut.
"Maafkan aku, Kinanti. Terpaksa harus melakukan ini padamu. Aku tidak menyangka, kau masih begitu dendam dan membenciku. Kinanti, aku berharap bisa meluluhkan kerasnya hatimu dan akhirnya kau mau memaafkan-ku juga keluargaku."
Kenan bermonolog pelan di samping Kinanti sambil mengusap lembut keningnya. Kemudian, menatap lamat-lamat wajah sang istri. Hatinya kembali sakit mengingat kondisi Kinanti yang cukup memprihatinkan.
"Kinanti, aku berharap dapat menghilangkan trauma di dirimu dan bisa membuatmu kembali normal seperti dulu. Aku mohon, jangan seperti ini. Aku sungguh bersedih melihatmu seperti ini."
Kenan kembali berkata dengan perasan sedih. Kenan menyesal karena tidak memperlakukan Kinanti dengan baik selama bersamanya. Membuat wanita itu terkena banyak masalah dan mengalami taruma.
Kenan melangkah keluar ruangan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelumnya, Kenan menatap ke arah Kinanti dan mengecup puncak kepalanya. Kemudian, ia melangkah dan membuka pintu.
"Jaga Nyonya Kinanti dengan baik. Jangan sampai hal seperti tadi terulang kembali. Awasi setiap gerak-geriknya. Jangan sampai ia melarikan diri," pesan Kenan kepada dua bodyguard yang berjaga di luar ruangan dengan sedikit cemas dan khawatir.
"Baik, Tuan."
Kedua anak buah Kenan mengangguk paham. Kenan pun melanjutkan langkahnya untuk memeriksa kondisi pasien yang lain. Namun, sebelumnya, Kenan ke ruangan putranya untuk menengok bayi kecil itu dan melihat perkembangannya.
"Kau semakin membaik, Sayang. Kau harus bertahan demi mommy dan Daddy. Daddy berjanji padamu akan membuat mommy-mu luluh dan bisa menerima Daddy kembali. Sehingga, kita bisa hidup bersama. Kau harus kuat, Sayang. Daddy akan lakukan apa pun untuk kesembuhanmu."
Kenan bermonolog sambil memandangi wajah bayi mungilnya. Begitu teduh dan damai. Sampai saat ini, semenjak anak itu terlahir, belum ada yang memberinya nama. Mereka sibuk dengan keselamatan si mungil juga Kinanti yang masih dalam masa pemulihan.
Namun, rasa sayang mereka tidak pernah luntur. Bahkan semakin bertambah meski keduanya saling berseteru dan tidak pernah damai.
***
Sinar mentari menelusup melalui celah gorden yang sedikit terbuka di ruangan tempat Kinanti dirawat. Matahari mulai bergerak perlahan ke atas. Sinarnya menyentuh kulit Kinanti yang terlelap karena pengaruh obat tidur yang diberikan Kenan padanya.
Wanita itu membuka mata perlahan. Kemudian, sedikit menyipitkan-nya karena sinar matahari membuat Kinanti silau. Kenan yang berada di samping Kinanti ikut terbangun merasakan pergerakan dari istrinya.
"Sayang, kau sudah bangun?"
Kenan menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah Kinanti. Berusaha meraih wajahnya. Namun, kinanti membuang muka. Tidak ingin membalas tatapan dan menerima sentuhan Kenan.
"Kinanti, aku ...."
"Keluar dari sini! Aku tidak ingin melihatmu!"
Kinanti mengusir Kenan, meski pelan. Namun, terdengar dingin dan penuh penekanan. Kenan tidak mengindahkan perkataan Kinanti, ia memajukan tubuhnya dan memaksa tubuh Kinanti menghadapnya.
"Meski pun kau selalu bersikap dingin seperti ini padaku, aku tidak akan pergi meninggalkanmu atau membiarkan dirimu pergi lagi dariku. Kinanti, sebenci apa pun kau padaku, aku tetap mencintaimu."
Kenan semakin memajukan wajahnya hingga tak berjarak tanpa melepaskan cekalan nya pada kepala kinanti agar tetap menatap dan menghadapnya. Keduanya terdiam, hanya embusan napas yang terdengar, serta denyut jantung yang berdetak dua kali lebih cepat dari normal yang saling berpacu.
"Kinan, aku masih menunggu kau memaafkan-ku dan keluarga-ku."
Kenan menyentuh bibir Kinanti dan menciumnya. kinanti berusaha untuk melepaskannya. Namun, Kedua tangan Kenan beralih untuk mencekal dan menguncinya hingga Kinanti kesulitan bergerak. Pertahanannya tidak cukup untuk melawan tenaga Kenan yang cukup kuat.
Wanita itu tidak kehabisan akal, ia menggigit cukup kuat bibir Kenan hingga pria itu refleks melepaskan ciumannya karena merasakan perih pada bagian bibir bawahnya. Kinanti menghirup udara sebanyak-banyaknya setelah sempat sesak karena serangan Kenan.
"Aku mencintaimu selamanya," ucap Kenan sambil tersenyum meski bibirnya sedikit berdarah karena gigitan Kinanti.