bc

Not Happy without Money

book_age18+
8
FOLLOW
1K
READ
contract marriage
friends to lovers
badgirl
twisted
bxg
cheating
tricky
affair
punishment
selfish
like
intro-logo
Blurb

Siska. Seorang gadis kampung yang memiliki ambisi menjadi orang kaya. Baginya, uang adalah sumber kebahagiaan. Namun dengan tampilan gadis desa dan nama yang dirasa kurang keren, Siska memutuskan untuk merantau ke kota dan mengganti nama menjadi Raisa.

Berharap mendapat pekerjaan dengan gaji besar, nyatanya kota adalah tempat yang penuh dengan persaingan. Sulit sekali bertahan hidup tanpa uang di sana. Pada akhirnya, mengencani pria kaya dengan sedikit kebohongan identitas adalah jalan yang paling pintas.

Akankah perjalanan Siska sebagai Raisa berjalan mulus di kota?

chap-preview
Free preview
Cinta, Siapa yang Peduli?
"Ini uang 500 juta. Tinggalkan anak saya!" Kedua bola mata Siska membulat. Uang yang selama ini hanya ada dalam mimpi, kini benar-benar disodorkan di hadapannya. Betulkah semua yang terjadi adalah kenyataan? "Bagaimana? Apa ini cukup?" Wanita dengan tampilan mewah kembali bertanya saat gadis di depannya membeku tanpa suara. "Tinggalkan anak saya dan pergi jauh dari sini!" Siska masih bergeming. Ia mematung, antara terkejut atau terpukau di satu waktu. "Bagaimana? Cepat putuskan! Saya tidak memiliki banyak waktu untuk duduk dengan perempuan sepertimu." Mendengarnya membuat Siska segera sadar. Ia membenarkan posisi duduk. Bersikap seolah tidak terpengaruh dengan jumlah uang yang sangat banyak. Padahal, kedua matanya sudah berubah warna. "Baiklah, jika itu mau Anda," ucap Siska, wajahnya angkuh dibuat setenang mungkin. "Meninggalkan Reza? Tentu." Wanita paruh baya mendengus mendengar kalimat yang Siska lontarkan. Bola matanya berputar. "Sudah saya duga. Kamu memang hanya ingin harta anak saya!" Ia melengos, tidak tahan melihat senyum perempuan yang terlihat meremehkan. "Ambil semua uang ini dan jangan pernah muncul di hadapan Reza lagi. Dasar jalang tidak tahu diri!" Setelah mengatakan itu, ia bergegas pergi, beranjak tanpa permisi. Sementara Siska, perempuan itu tersenyum. Uang di dalam tas senilai ratusan juta benar-benar menjadi miliknya. Meninggalkan sang kekasih dan pergi jauh demi uang senilai 500 juta, apakah itu sepadan? Cinta dibayar dengan lembaran uang, bukankah itu tidak setia? Tunggu dulu, cinta? Siapa yang bilang cinta? Apakah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih sudah bisa dikatakan cinta? Akal bodoh siapa yang percaya dengan ucapan seperti itu! Bagi Siska dan mungkin banyak perempuan lain, mungkin uang jauh lebih berharga dari apapun. Siapa yang butuh pria jika kehidupannya bisa terjamin? "Ah, aku harus kemana lagi sekarang?" ujarnya seraya membayangkan akan menghabiskan uang sebanyak itu untuk apa. *** Deru kendaraan terdengar bersahut memenuhi jalan. Dari balik jendela kamar yang disewa, jelas sekali jika kota selalu sibuk bahkan sebelum ayam berkokok. Hiruk pikuk yang tidak tenang, nyatanya tak bisa membangunkan perempuan lajang yang tertidur seperti berbantal uang. Siska menggeliat. Tirai yang sedikit tersingkap jelas sekali membiarkan sinar matahari masuk. Andai lebih lebar tirai itu terbuka, pasti mata yang terpejam sudah mengerjap memrotes. Namun, nyatanya dering telepon yang justeru lebih dulu membangunkan perempuan itu. "Kamu sudah menemukan tempat yang bagus?" ucap Siska begitu mendengar suara di ujung telepon. Sejenak ia mendengar. Bibirnya menguap sebelum akhirnya kembali menjawab, "Akan ku jelaskan nanti. Kita bertemu di tempat biasa? Aku yang bayar!" Perempuan dengan wajah bantal terbangun. Menatap sekeliling, setelahnya menghela panjang. Tentu, siapa yang tidak lelah. Hanya dalam waktu satu tahun, ia harus berpindah tempat tinggal sebanyak tiga kali. Namun itu bukan masalah, selama tujuannya tercapai, bahkan ke ujung dunia sekalipun akan dijabani. "Semoga Dimas mendapat tempat yang lebih baik kali ini," gumam Siska seraya berjalan menuju toilet. Wajah yang nampak lelah segera dibasuh. Menggosoknya dengan sabun, lalu beralih dengan pembersihan gigi. Biasanya perempuan ini akan memakai rangkaian skincare jika hendak bertemu dengan seseorang, tapi kali ini hanya cukup dengan cuci muka lalu bergegas keluar dan berganti pakaian. Seperti tidak ada yang istimewa sama sekali. "Aku yakin tidak ada yang mau denganku jika setiap hari penampilanku seperti ini." Kendati begitu, Siska tetap percaya diri. Beralih dari depan cermin setelah mengejek diri sendiri seperti itu. Celana jeans dengan kaos tanpa kerah, penampilan Siska sedikit terselamatkan oleh jaket yang dikenakan. Sementara rambut dibiarkan tergerai, wajah tanpa polesan menjadi langkah yang cukup berani untuk diambil. Di sebuah kedai sederhana setelah berkutat di jalan dengan ojek online, akhirnya ia sampai. Menengok jam sekilas, kemudian bergegas masuk. "Siska!" Seorang pria yang duduk di sudut ruangan terlihat melambai, seolah suara kerasnya belum cukup untuk memberitahu jika ia duduk di sana. Mendengar nama itu, Siska menghela. Mendengus sedikit kesal meski tetap melangkah menghampiri pria di sudut. "Sudah kubilang namaku di sini Raisa!" ucapnya pertama kali sembari meletakkan tubuh pada kursi. Sedangkan pria di hadapannya hanya tersenyum, seperti merasa bersalah padahal melakukannya dengan sengaja. "Jadi bagaimana? Sudah menemukan tempat yang aku minta?" tanya Siska, tak mau basa-basi. Pria di hadapan perempuan itu mengangguk. "Ada beberapa pilihan. Mau apartemen atau kos-kosan seperti biasa?" tawarnya. "Kamu kayak nggak ngerti aku saja, Dim." Siska menyeruput es teh yang sudah tandas setengah. Sudah jelas, gelas itu milik pria yang sudah datang lebih awal. "Carikan aku yang bagus tapi harga masih wajar," lanjut perempuan itu. Sebelum menjawab, Dimas merebut gelas dari Siska. Mengaduknya sebentar lalu meminum hingga habis tak bersisa. "Oke. Ada satu. Tapi tempat itu cukup jauh dari sini," ujar Dimas. Kedua mata Siska menyipit. "Bukankah itu lebih baik?" Dimas tersenyum smirk. "Body mulus, bentuk tubuh bagus, tinggi semampai, wajah seperti selebriti. Siapa lagi yang kamu kuliti kali ini?" Mendengarnya, seulas senyum bangga tidak bisa disembunyikan dari wajah Siska. Tentu, mengingat bagaimanapun ia bisa dapat uang dengan cara yang gampang. Tidak perlu kerja, hanya menemani pria muda nan kaya dengan penampilannya yang bisa dipercaya. Jika sedang seperti itu, namanya berganti menjadi Raisa. "Siapa? Anak pebisnis tambang yang kemarin itu?" Siska segera mengangguk. Bertepatan dengan itu, Dimas mendengus tak percaya. "Kurang dari empat bulan? Aku tidak percaya. Haruskah aku terlahir sebagai gadis cantik di kehidupan selanjutnya?" Dimas menggeleng. "Siska yang dulu masih mengejar layangan sampai hitam, sekarang malah dikejar-kejar seperti layangan." Siska terkekeh, tampak sekali ia menikmati perkataan Dimas yang dianggapnya sebagai pujian. Setelah beberapa saat keduanya terdiam. Ponsel menjadi jeda di antara mereka. Sepertinya benar rumor jika benda pipih itu bisa mendekatkan yang jauh, sekaligus menjauhkan yang dekat. "Tapi, Dim." Kalimat Siska terhenti, menunggu pria di hadapannya mengalihkan diri dari ponsel. Setelah perhatian didapat, wanita itu melanjutkan, "Kamu bisa merahasiakan ini, kan? Pada keluargaku terutama," ucapnya, was-was. Tak langsung ada jawaban. Dahi Dimas nampak mengerut. Namun setelah dua detik, ia mengangguk. "Tentu! Bagaimanapun, kamu adalah sahabatku, Sis. Ya, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan caramu menghasilkan uang. Tetapi, siapa lagi yang bisa memahami posisimu jika bukan aku?" Helaan napas lega keluar dari bibir Siska. Tentu, Dimas adalah satu-satunya orang yang bisa dipercaya sekarang. Jika bukan bergantung padanya, lalu siapa lagi yang akan peduli? "Jadi kapan aku bisa pindah? Aku tidak mau diteror oleh orangtua yang sudah menyuruhku pindah," tanya Siska. Dimas terdiam sebentar, memeriksa ponsel memastikan. "Sore ini? Aku akan membuat janji dengan pemilik kos." Siska mengangguk mantap. "Kamu bisa menemaniku? Please." Kedua bola matanya mengiba. Biasanya orang akan langsung luluh, tapi bagi Dimas yang sudah bersamanya hampir dua puluh dua tahun, rayuan seperti itu sudah tidak mempan. "Aku tidak bisa, Sis. Kau ingat aku harus memerah s**u," tolak Dimas. Seketika wajah memelas Siska berubah. Bola matanya bergeser, kesal. "Memerah s**u di pabrik maksudmu?" Dimas mengangguk mantap. "Dari situlah aku makan."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hasrat Istri simpanan

read
8.9K
bc

After That Night

read
9.0K
bc

The CEO's Little Wife

read
629.8K
bc

BELENGGU

read
65.0K
bc

Revenge

read
17.8K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.4K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook