Bruak ...
Suara itu terdengar jelas di telinga Liora, namun ia tidak mempedulikannya. Pikiran Liora masih tidak karuan, ia pun terduduk lemah ditanah dengan airmata yang terus mengaliri wajah mungilnya.
Sontak lelaki itu pun kaget dan langsung melihat gadis mungil yang terduduk lemah didekat kakinya, ia geram karena kameranya terjatuh.
Angin berhembus lembut, menyikapkan rambut panjang Liora, dan laki-laki itu pun melihat dengan jelas wajah gadis mungil itu yang tengah menangis, dengan napas yang tersengal-sengal.
Alih-alih ingin memarahi gadis mungil itu namun, laki-laki itu jadi meredam emosinya melihat gadis tersebut menangis seperti itu, akhirnya lelaki itu pun mencoba untuk membangunkannya.
Tiba-tiba, Rio pun datang dan langsung memapah Liora, ia sempat mengucapkan kata maaf pada lelaki itu. Rio pun langsung membawa Liora pergi menuju ke mobil, lelaki itu pun langsung membalas dengan senyuman seraya memerhatikan Rio dan Liora yang sudah mulai berjalan menjauh darinya.
Kemudian, laki-laki itu langsung mengambil kameranya yang terjatuh tadi. Rio membawa Liora ke mobil dan Mamahnya memberi tahu suaminya bahwa Liora sudah ditemukan.
Akhirnya, mereka pun pulang ke rumah Liora. Setelah sampai di rumah, Liora pun di bawa ke kamar oleh tantenya.
Liora masih saja diam termenung, tatapannya kosong dan pandangannya terus mengarah kedepan. Tantenya beranjak dari kasurnya, dan secara tiba-tiba Liora menarik tangan tantenya.
“Itu kesalahan Liora kan tante. Gara-gara Liora, Mamah sama Papah pergi untuk selamanya,” kata Liora dengan nada rendah seraya meneteskan airmata.
Namun pandangan matanya tidak mengarah ketantenya. Fika kembali duduk disampingnya.
”Kamu nggak boleh nyalahin diri kamu sayang, ini semua adalah suratan takdir. Kamu harus tetap melanjutkan hidupmu,” tutur Fika dengan suara lembut
“Gak ada lagi yang bisa Liora lakuin tante, cita-cita Liora hanya ingin membahagiakan Mamah dan Papah. Tapi jika mereka tidak ada, Liora harus gimana,” terang Liora yang terus meneteskan airmata.
Sang Tante pun langsung memeluk erat Liora seraya membelai rambutnya, tantenya terus menenangkan Liora. Ia mengusap lembut punggung Liora yang terus menangis dipelukannya.
Entah sampai berapa lama ia menangis, hingga ia mulai terasa lelah dan akhirnya tertidur lelap dipelukan tantenya.
Setelah mengetahui bahwa Liora tertidur, tantenya pun membaringkan Liora di kasurnya dan menyelimutinya. Ia Mengusap kepala gadis mungil itu.
“Kamu pasti bisa melewati ini semua sayang, bertahanlah kebahagiaan sedang menantimu.” batinnya, lalu ia pergi dari kamar tersebut.
Di taman yang indah dengan pemandangan hijau dan udara yang sangat sejuk, lelaki yang tidak sengaja ditabrak oleh Liora tiba-tiba memikirkan Liora.
“Tadi itu cowonya atau siapa?” gumamnya, seraya mengingat Liora dipapah oleh Rio.
“Atau jangan-jangan orang jahat? Ah ... udahlah gak penting juga gue pikirin.”
Lelaki itu pun langsung duduk di bangku taman dibawah pohon yang rindang, ia mencoba mengecek kameranya, dan mengotak atik kamera tersebut.
Ternyata setelah diotak atik olehnya, kameranya rusak bahkan tempat-tempat yang sudah ia potret semuanya hilang.
Sontak, lelaki itu pun marah dan bingung harus berbuat apa.
“Sial !” geramnya sembari menendang rumput yang berada di taman tersebut.
“Padahal itu foto buat pameran foto seminggu lagi, mampus gue!” kesal lelaki itu.
Ia bingung dan ingin minta pertanggung jawaban kepada gadis itu namun, ia tidak tahu harus mencari dimana.
“Argh!” teriaknya.
Satu bulan telah berlalu, Liora tetap tidak bisa melupakan tragedi yang menimpa kedua orang tuanya, ia selalu menangis dan menyesal, ia selalu melamun dan merasa bahwa hidup ini sudah tidak ada artinya lagi.
“Hidup ini nggak adil untuk gue jalani,” lirihnya dalam hati.
Setiap hari Liora selalu termenung mengingat kejadian-kejadian tersebut dan selalu murung, tak ada lagi wajah Liora yang dulu dikenal dengan keceriaanya, Fika dan Viki tidak dapat berbuat banyak, mereka hanya bisa merawat Liora dan mencoba untuk menenangkannya.
Hingga suatu hari datang seorang wanita cantik berambut lurus, yaitu Lily sahabat Liora sedari kecil yang pisah dengan Liora saat memasuki masa SMA. Lily datang ke rumah Liora, ia mendapat kabar dari Rio tentang Liora. Akhirnya, ia pun mengunjungi Liora dan ingin menemuinya.
Tok ... Tok ... Tok ...
Seorang wanita dengan rambut lurus itu mengetuk beberapa kali pintu rumah Liora. Tidak lama kemudian, Si Mbok pun membukakan pintu rumah itu.
Kedatangan Lily disambut hangat oleh Fika yang berada di belakang si Mbok, ia pun memeluk Lily dan Lily pun segera menanyakan keadaan Liora, sahabatnya itu. Fika pun mengantarkannya ke kamar Liora.
Ceklek.
Lily membuka pintu kamar Liora. Pandangannya langsung tertuju pada gadis yang tengah duduk termenung diatas kasurnya, dengan tatapan kosong seraya terus memandangi foto Mamah dan Papahnya yang berada ditangannya.
Melihat keadaan sahabatnya seperti itu, membuat Lily pun ikut merasakan kesedihan yang di alami oleh sahabatnya itu.
“Tante, om dan Rio gak tau harus berbuat apa, Liora selalu saja menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian kedua orang tuanya,” ujar Fika kepada Lily.
“Lily akan coba berbicara pada Liora ya tante.” ucapnya yang langsung dianggukan oleh Mamah Rio
Lily pun masuk ke dalam kamar Liora dengan melangkahkan kakinya secara perlahan, dan Lily langsung memeluk Liora dari belakang sambil menahan airmatanya.
Liora langsung mengetahui bahwa itu adalah Lily, karena itu memang kebiasaan yang sering Lily lakukan ketika bertemu dengan dirinya. Memeluk Liora secara tiba-tiba dari arah belakang. Liora hanya terdiam, namun mata indahnya meneteskan butiran bening hingga membasahi pipinya yang mulus.
“Gue ada disini untuk lo Ra. Ra ... maafin gue ya, gue gak ada disaat lo membutuhkan gue,” ucap Lily yang memeluk erat tubuh Liora.
Liora hanya terdiam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Lily memegang pundak Liora dan mengarahkan kearah dirinya.
“Ra ... inget gue sahabat lo, dan gue selalu ada buat lo. Jadi apa pun masalah yang lo hadapin, kita hadapin sama-sama,”
Lily menghapus airmata Liora. “Lo harus bangkit Ra, ayo ... bangkit, mana Liora yang dulu gue kenal? Mana Liora yang dulu ceria? Ra ... lo harus melanjutkan hidup lo lagi, masih banyak cita-cita yang harus lo gapai Ra,” terang Lily dengan nada gemetar menahan tangis.
“Hidup gue udah gak bearti lagi Ly ... gak ada yang harus gue lakuin lagi,” rintih Liora dengan tatapan yang masih kosong.
Lily menahan airmatanya. “Nggak. Ini bukan Liora yang gue kenal dulu. Lo inget kan kita bersahabat udah lama. Dan kita harus saling menguatkan satu sama lain, Ra” terang Lily yang terus memberikan semangat pada sahabatnya itu.
Ia mendekatkan kepala Liora kearahnya dengan memberikan senyuman manis pada Liora.
Liora melepaskan tangan Lily. “Lo gak ngerasain apa yang gue rasain Ly ... kehilangan kedua orangtua sekaligus buat hidup gue hancur,” rintih Liora.
“Ra ... please, ini bukan Liora yang gue kenal dulu, lo harus --" terputus.
“Pergi!” seru Liora dengan airmata yang mengalir dipipinya.
Mendengar apa yang dilontarkan oleh sahabatnya membuat hati gadis berambut lurus itu sedih.
“Ra, Gue ....”
“Pergi Ly, Pergi!” seru Liora yang mengusir sahabatnya.
Akhirnya, Lily pun keluar dari kamar Liora dengan penuh kesedihan lantaran melihat keadaan sahabatnya itu.
Lily berjalan menuruni tangga, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekati dirinya dari arah belakang.
“Sahabat macam apa lo, gak ada disaat Liora lagi susah,” sindir laki-laki yang berdiri dibelakang Lily.
Gadis dengan bola mata coklat itu pun menoleh kebelakang, ia berjalan sedikit mendekat kearah laki-laki yang berbicara itu.
“Ada hal yang harus gue selesain, dan itu bukan urusan lo,” jawab Lily
“Urusan lo memang bukan urusan gue, tapi seengaknya, lo dateng disaat Liora benar-benar lagi terpuruknya kemarin-kemarin. Lo gak tau kan, Betapa terpuruknya Liora, saat dia tau bahwa orangtuanya udah gak ada, dan lo gak ada disaat dia seperti itu,” lirih Rio seraya berjalan perlahan kearah Lily
Mata coklat Lily berkaca-kaca, setelah mendengar perkataan yang Rio ucapkan. “Kehadiran gue kesini itu untuk ketemu sama Liora, bukan untuk berdebat sama lo,” ucapnya menahan tangis.
Rio terus menerus mengomel dan berbicara panjang lebar kepada Lily. Ocehan Rio seakan-akan membuat Lily sedang menaiki kereta listrik yang tak pernah berhenti, hal itu pun membuat Lily merasa bersalah, ia menyesal karena ia tidak ada disaat sahabatnya itu sedang membutuhkanya.
Tidak lama kemudian, Mamahnya Rio datang, wanita cantik dengan riasan tipis itu menyudahi perdebatan itu dan menyuruh Rio agar tidak memperpanjang masalah. Beliau berdiri tepat ditengah-tengah mereka.
“Seharusnya kita sekarang ini harus memberi penguat kepada Liora, agar ia memiliki semangat hidup lagi. Bukannya malah berdebat seperti ini,” decak Fika yang kesal dengan anaknya yang malah memperpanjang masalah.
Mendengar apa yang Mamahnya ucapkan, membuat lelaki dengan alis tebal itu menghela napasnya, lalu berjalan pergi dari tempat itu. Mamahnya Rio tersenyum kearah Lily.
“Maafin sikap Rio tadi ya Ly,” ucap Mamah Rio.
Lily tersenyum seraya menganggukan kepalanya kearah Mamah Rio. “Oh ya tante, Lily pamit pulang dulu ya. Lily janji, Lily besok akan kesini lagi untuk nemuin Liora.”
Mamah Rio pun mempersilahkan Lily untuk pulang dengan senyuman manis di wajahnya.
Brak ...
Rio membanting pintu kamarnya, ia merasa kesal dan marah terhadap Lily dengan sikap Lily yang seakan-akan tidak memperdulikan Liora, entah apa yang disembunyikan Rio. Sehingga Rio merasa kesal dengan perilaku Lily, namun ia juga merasa tidak tega melihat Lily tadi, ia merasa bahwa ia terlalu kasar dan terlalu kurang ajar telah mengomeli Lily dengan cara seperti itu, padahal Rio tahu yang sebenarnya terjadi pada Lily.
Ada suatu hal yang tidak dapat dikatakan dan harus dirahasiakan sehingga tidak boleh ada satu orang lain pun tahu rahasia Lily.
Rio berjalan menuju kearah jendela kamarnya, melihat sang surya yang sudah mulai turun.
Perasaan itu membuat Rio menjadi merasa bingung harus berbuat apa, dan harus bagaimana bisa menghadapi semuanya. Perasaan Rio saat itu pun kacau, bingung dengan sepupunya yaitu Liora yang semakin hari semakin berprustasi, namun ia juga harus merahasiakan keadaan yang sebenarnya tentang Lily, ia merasa diambang dua pilihan yang sulit dan merasa bahwa tidak dapat berbuat apa-apa.
Setibanya Lily di rumah, ia langsung berjalan menuju ke kamarnya.
“Lily,” suara lembut itu berasal dari Ibunya, yang tengah duduk di kursi ruang makan.
Lily menoleh karah sang Ibu dengan tersenyum. “Lily ke kamar dulu ya Bu,” ujar Lily, lalu ia melanjutkan lagi langkah kakinya menuju ke kamarnya.
Setelah di kamarnya, Lily langsung menaruh tasnya dan duduk didepan meja riasnya, ia melihat dirinya dan menangis mengingat keadaan Liora tadi.
“Gue sahabat yang payah, Ra. Gue gak ada disaat lo susah, dan gue juga gak berani jujur sama diri gue sendiri Ra,” batinnya.
Lily pun menangis, butiran bening itu terus mengalir di pipinya. Hatinya hancur mengingat keadaan sahabatnya itu, gadis dengan rambut lurus itu juga mengingat ucapan yang Rio katakan kepada dirinya tadi. Bahwa sebenarnya Rio tidak bermaksud untuk berkata seperti itu, karena Rio mengetahui hal yang dirahasiakan oleh Lily terhadap Liora.
Tok ... Tok ... Tok ...
“Lily keluar yuk sayang, makan dulu. Ibu sudah siapin semuanya dimeja makan nak,” Suara lembut itu datang dari balik pintu kamar Lily.
Lily menghela napas panjangnya, lalu mencoba untuk bersikap setenang mungkin. “Iya Bu, bentar lagi Lily keluar.” jawab Lily, lalu ia berdiri dan menghadap kecermin, mengusap kedua pipinya lalu berjalan keluar dari kamarnya.
Di kamarnya, gadis berambut panjang dengan tubuh mungil itu duduk termenung diatas kasurnya, ia mengingat kata-kata yang diucapkan oleh sahabatnya itu.
“Inget Ra, kita ini bersahabt udah lama. Dan kita harus saling menguatkannsatu sama lain.”
Atensinya tertuju pada sebuah foto yang berada diatas meja kamarnya. Foto itu adalah foto ia dengan Lily, sahabatnya.
Seketika, mata indahnya berkaca-kaca mengenang masa lalu saat ia bersama dengan sahabatnya, perlahan tangannya yang lentik itu menghapus airmatanya.
Gadis dengan senyum manis itu menghela napasnya lalu ia beranjak dari kasurnya dan berjalan keluar kamarnya.
Lily the Best Friend
Tok ... Tok ... Tok ...
Gadis berkulit putih itu mengetuk pintu kamar seseorang yang tak jauh dari kamarnya. Seorang laki-laki pun keluar dari kamar tersebut. Laki-laki dengan mata teduh itu terkejut bahwa sepupunya tengah berada didepan kamarnya.
“Liora,” gumam Rio.
Gadis manis itu menatap Rio dengan wajah sendu.
“Gue mau minta nomornya Lily.”