Mac mengaduh, saat benda tajam itu menusuk pada pergelangan tangannya.
"Tenang Mac, ini tidak akan sakit! Aku hanya ingin mengambil sampel darahmu," tutur Richard. Sudut netranya sekilas melirik kepada Mac yang duduk di sampingnya. Tampak menegang.
"Sudah! Tidak sakit lagi bukan," Richard menarik sebuah alat yang ujungnya terdapat jarum untuk mengambil sampel darah Mac. "Tentunya, ini tidak akan membuat kamu mati!" kekeh Richard mengusap bekas tusukan jarum pada pergelangan tangan Mac dengan kapas yang terasa dingin.
"Oke, memang ini tidak sakit, hanya seperti di gigit semut saja!" Mac menimpali dengan nada kesal.
Richard berjalan menuju sebuah lemari kaca yang hampir mirip seperti dengan lemari yang berada di ruang laboratorium Profesor Danil. Hanya saja lemari milik Ricard sedikit lebih kecil daripada milik Profesor Danil yang ada beberapa. Lelaki itu menyimpan sampel darah milik Mac di dalam lemari itu.
"Aku merasa ada yang aneh pada diriku, Rich. Aku memiliki kekuatan super, terkadang aku tidak bisa mengendalikan diriku. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi, akupun tidak tahu." Mac mengedikan bahunya dengan wajah penuh tanya.
Lelaki bermata sipit itu tersenyum kecil. "Tenanglah Mac, kita pasti akan bisa menemukan penyebab semua itu terjadi," tutur Richard menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang ada di hadapan Mac.
Mac mengangguk-angguk. "Yes, aku harap juga seperti itu," tutur Mac membalas tatapan lelaki yang sudah menjadi sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah dasar itu.
"Oh, iya!" Mac nampak tergeragap, ia segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya.
"What is this, Mac?" Richard segera menyambar benda yang berada di dalam botol kecil yang baru saja Mac letakan di atas meja. Netra sipit itu nampak sangat tertarik dengan benda yang Mac bawa.
"Aku mengambil benda itu dari ruang laboratorium Professor Daniel!" tutur Mac. Menatap pada Ricard dan benda yang berada di tangannya secara bergantian.
"What, kamu sudah gila Mac? Kamu mencuri benda ini dari sana?" Richard terkejut, netranya membulat penuh menatap pada lelaki yang duduk di hadapannya.
Mac mengangguk mantap. "Yes, aku telah mencurinya dari sana, tapi kamu tenang saja, aku melakukannya dengan sangat aman sekali," ucap Mac menyunggingkan senyum.
Richard menggelengkan kepalanya menatap pada Mac. "Lalu benda apa ini, Mac? Mengapa kamu sangat menginginkannya?" Sorot mata Richard berubah menyelidiki.
Mac mendengus berat. "Aku tidak tahu itu benda apa, yang pasti aku ingin kamu menelitinya," tegas Mac.
Richard menautkan kedua alisnya menatap pada Mac. Sudut kiri bibirnya terangkat sinis. "Mac, aku yakin pasti ada sesuatu dengan ini?" Richard mengoyangkan tabung kecil seujung jari itu di depan wajahnya.
Mac bangkit dari bangku, "Aku akan menceritakannya kepadamu, setelah kamu melakukan penelitian dengan benda itu," tutur Mac.
Richard mendengus berat, meletakkan benda yang berada di tangannya di atas meja. "Ayolah Mac, kamu seperti dengan siapa saja!" bujuk Richard agar Mac mau berkata jujur.
"Rich, aku harus kembali ke kampus, pagi ini aku ada mata kuliah!" seru Mac mengabaikan permintaan Richard. Lelaki itu memutar tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu keluar.
"Mac, ayolah, kita ngobrol dulu! Aku punya kopi dan roti coklat kesukaanmu. Ceritakan padaku, Mac!" teriak Richard.
Mac hanya melambaikan tangannya ke udara, tanpa menoleh kepada Richard.
"Mac, ayolah!" Richard menaikkan nada suaranya berharap Mac berubah pikiran. Tetapi sayangnya lelaki itu terus saja berlalu.
____
Mac telah berlari cukup jauh dari kediaman Richard yang telah disulap menjadi rumah tinggal dan laboratorium. Menuju sebuah haltebus yang memang sedang ramai para penumpang yang hendak menunggu datangnya kendaraan umum seperti dirinya.
Mac mengedarkan pandangannya ke sekeliling, masih ada sedikit bangku kosong di ujung bangku satu-satunya yang berada di halte itu. Dan Mac menjatuhkan tubuhnya tepat di ujung bangku kosong itu.
"Huf!" Mac membuang nafas panjang. Sekarang ia bisa menunggu bus itu dengan nyaman.
Seorang wanita tua datang dengan beberapa belanjaan di kedua tangannya. Membuat langkah wanita itu terseok-seok dan hampir saja terjatuh karena beban yang banyak. Wanita itu mendengus berat, karena tidak ada bangku kosong lagi untuknya. Padahal dia sudah sangat lelah sekali dengan beberapa belanjaan di tangannya.
Benak Mac teringat pada Nyonya Hana. Mungkin beberapa tahun ke depan Nyonya Hana pasti akan seperti nenek tua yang akan kebingungan di hadapannya itu.
"Nyonya, duduklah di sini!" ucap Mac bangkit dari bangku dan memberikan bangku kosong itu untuk wanita tua yang ada di hadapannya.
Seketika wanita tua itu tersenyum lebar. "Benarkah ini untuk aku!" seru wanita tua itu senang. Menatap penuh binar pada Mac.
"Iya Nyonya!" balas Mac dengan ulasan senyuman.
"Baiklah, nanti kamu harus mampir ke rumahku. Aku ada suatu untuk kamu anak baik," ucap wanita tua itu ramah.
"Tidak, tidak perlu Nyonya, saya sedang buru-buru," tolak Mac.
"Ayolah anak muda, karena kamu sudah membantuku. Maka izinkan aku melakukan satu kebaikan pada kamu!" ucap wanita tua itu dengan wajah memelas.
Mac sama sekali tidak bisa menolak ajakan wanita tua itu. Membuat Mac teringat dengan Nyonya Hana yang kerap kali meminta tolong kepadanya.
"Tapi sebentar saja, ya, Nyonya!" tawar Mac disambut anggukan lembut oleh wanita tua itu dengan senyuman lebar.
Sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna putih menjadi arah tujuan Mac. Lelaki itu menenteng dua kantong plastik belanjaan wanita tua yang sudah berjalan mendahuluinya.
"Ini adalah rumahku. Memang tidak terlalu bagus, tapi sinilah aku tinggal bersama mendiang suamiku!" tutur wanita tua itu mengingatkan Mac dengan Nyonya Hana yang begitu mencintai rumahnya. Mungkin, perasaan Nyonya Hana sama seperti wanita tua yang membersamai Mac itu. Hingga membuat Nyonya Hana enggan untuk pindah dari rumah yang lingkungannya kurang bagus itu.
"Memangnya di mana anak-anak Nyonya?" tanya Mac meletakan tas belanjaan wanita tua itu di atas meja yang berada di depan rumahnya.
Wanita tua itu membalas pertanyaan Mac dengan senyuman. "Anak, Tuhan tidak pernah mengizinkan aku untuk memiliki anak. Hanya saja hidupku sudah sangat sempurna, anak muda. Meskipun aku tidak memiliki keturunan dan suamiku tidak pernah mempersoalkan hal itu," jawab wanita tua itu dengan senyuman.
Mac mengangguk, menatap iba pada wanita tua itu. Lalu menyunggingkan senyuman.
Mac kembali teringat dengan jadwal dosen killer yang akan mengisi kelasnya. "Nyonya, saya harus pergi sekarang. Maaf saya tidak bisa berlama-lama," seru Mac dengan nada memburu.
"Baiklah anak muda, terimakasih sudah membuatku!" ucap wanita itu menyodorkan beberapa lembar dolar untuk Mac.
"Tidak, Nyonya, terimakasih!" tolak Mac.
"Tidak apa-apa, aku tau kamu pasti membutuhkan ini!" seru wanita tua itu tersenyum lebar.
Perlahan tangan Mac terulur dan menerimanya. "Terimakasih!" ucap Mac menyunggingkan senyuman dan buru-buru pergi.
___
Bersambung ....