Bandung, kota penuh cahaya dan kesibukan itu, selalu memiliki sisi gelap yang bersembunyi di antara gedung-gedung megahnya. Alvaro baru saja melangkah dari kegelapan itu—setelah menumbangkan tiga preman gang yang merundung seorang anak tak bersalah. Adrenalin masih mengalir deras di aliran darahnya, tetapi langkahnya tetap mantap.
Namun tepat ketika ia hendak meninggalkan gang itu, sebuah notifikasi transparan kembali melayang di hadapannya seperti hologram futuristik.
[Fitur Baru Aktif]
"Anda dapat menilai kekuatan lawan sebelum bertarung."
Fitur ini terbuka hanya ketika Anda berada dalam ancaman fisik.
Alvaro melirik layar itu sambil menyipitkan mata. Ho… jadi sistem ini bisa mengukur kekuatan orang? Bibirnya melengkung kecil.
“Kalau begitu… mari kita coba,” gumamnya dalam hati.
Dalam sekejap, layar lain muncul.
Analisis Target
Pria 1 – Kekuatan: 23
Pria 2 – Kekuatan: 19
Pria 3 – Kekuatan: 20
Alvaro mendengus pelan. “Hah… kecoak. Lemah semua.”
Dengan status Fisik 30 plus kemampuan Karate yang baru saja ia beli, ia tahu bahwa mereka bukan tandingan sedikit pun.
Preman pertama maju dengan emosi meledak-ledak, menarik kerah baju Alvaro dengan kasar.
“b******n! Berani amat lo—”
BUUUKK!!!
Pukulan telak Alvaro mendarat di rahangnya lebih cepat daripada kata-kata itu selesai diucapkan. Preman itu terlempar ke belakang, jatuh menghantam tanah berpasir gang.
“AARRGHH!!” ia merengek, darah menetes dari bibirnya.
“Ayo hajar dia bareng-bareng!!” teriak salah satu dari dua kawannya.
Mereka datang menerjang bersamaan. Tinju-tinju besar meluncur cepat, namun bagi Alvaro…
Semua terasa lambat.
Seperti adegan slow motion dalam film aksi mahal.
“Prediktabel,” pikirnya datar.
Ia memiringkan tubuh, menghindari serangan pertama hanya dengan sedikit gerakan.
BUUUK!
Tinju kanan Alvaro mendarat tepat di ulu hati pria kedua. Pria itu langsung membungkuk sambil muntah udara dari paru-parunya.
BUAAK!!!
Tendangan rendah mengenai tulang kering preman ketiga. Pria itu menjerit dan limbung.
Dua pukulan cepat menyusul…
DUAK!! DUAK!!
Rahang dan perut keduanya kena telak. Dua orang langsung tumbang tak berdaya di atas tanah dengan erangan tertahan.
Preman pertama yang tadi terkapar, merangkak bangkit sambil memegangi rahangnya. Ia menatap Alvaro dengan mata penuh kebencian dan rasa takut bercampur jadi satu.
“Sialan kau! Ini belum selesai! Kami akan kembali… akan kubuat kau menyesal!” katanya terbata sebelum menyeret kedua temannya untuk kabur.
Alvaro hanya mendengus kecil, bahkan tak menoleh ketika mereka kabur terbirit-b***t.
Suara lirih terdengar dari sampingnya.
“T-terima kasih, Bang… A-Abang udah nyelametin aku,” ucap anak SMA itu dengan suara gemetar.
Alvaro menoleh sebentar. “Pergi. Jangan lewat sini lagi kalau sendirian.”
Anak itu cepat-cepat mengangguk lalu berlari pergi.
Kini, gang itu sunyi. Namun d**a Alvaro masih berdebar—notifikasi kemenangan itu seperti doping yang memicu rasa percaya diri.
Ini luar biasa. Kekuatan ini… poin ini… semuanya nyata.
Ia mengepalkan tangan, merasakan kekuatan baru yang mengalir di otot-ototnya.
“Kalau begini,” gumamnya, “aku bisa berubah. Aku bisa melindungi diriku… dan Dina.”
Ya. Dina.
Adiknya adalah satu-satunya alasan ia masih bertahan hidup selama ini. Alvaro mempercepat langkah menuju kontrakannya yang lusuh dan dingin. Ketika ia membuka pintu, tak ada suara. Pencahayaan temaram menguatkan kesan kesepian.
“Dina belum pulang?” gumamnya.
Jam dinding kayu murahan menunjukkan sore hari mulai merangkak turun.
Alvaro keluar lagi, berjalan cepat menuju sekolah adiknya. Tapi tanpa diduga, ia berpapasan dengan sosok mungil yang sangat ia kenali.
Dina.
Gadis itu berjalan lunglai, menunduk layaknya seseorang yang baru saja menelan pil pahit kehidupan.
“Dina?” Alvaro mengernyit dan mempercepat langkah. “Kenapa kamu terlihat capek begitu?”
Dina mengangkat wajahnya sedikit. Mata gadis itu sayu, seakan telah menanggung beban terlalu besar untuk pundak remajanya.
“K-Kak Alvaro…” suaranya pelan, lalu tanpa menunggu apa pun, ia memeluk kakaknya erat-erat. “Aku ingin kerja, Kak. Aku mau bantu Kakak cari uang.”
Alvaro terperangah. “Kenapa kamu bicara begitu?”
Dina menatap lantai dengan air mata tertahan.
“Aku udah… nunggak uang sekolah lima bulan. Kepala sekolah bilang kalau aku nggak bayar… aku akan dikeluarkan.”
Dunia Alvaro seperti runtuh seketika.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” suaranya bergetar.
“Aku nggak mau tambah beban Kakak…” Dina menangis tanpa suara. “Kakak kerja keras buat kita. Aku cuma belajar, cuma jadi beban…”
Alvaro merasa seperti seseorang baru saja memukul dadanya tanpa ampun. Ia menangkup kepala Dina lembut, mengacak rambut adiknya itu.
“Dina… kamu bukan beban. Kamu harapan Kakak,” katanya tegas. “Mulai sekarang, Kakak yang akan urusan semuanya.”
Dina menatap wajah kakaknya yang tampak jauh lebih tenang dari biasanya. Ada cahaya berbeda di mata Alvaro malam itu—ketegasan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Yuk, kita bereskan semua urusan sekolahmu. Hari ini juga,” ucap Alvaro.
Dina mengangguk sambil tersenyum kecil di balik air matanya.
Mereka bergandengan menuju sekolah. Namun, setibanya di depan gerbang…
Bisikan-bisikan tajam mulai bermunculan.
“Eh itu Dina kan?”
“Dia gandengan tangan sama cowok!”
“Itu pacarnya?!”
“Pantes nolak Anton, bilang mau fokus belajar ternyata sudah punya cowok…”
Dan suara itu terdengar jelas oleh seseorang.
Anton.
Siswa paling populer sekaligus paling menyebalkan di sekolah itu. Seorang raja kecil yang selalu haus akan pujian. Beberapa hari lalu, Anton menyatakan cinta pada Dina di depan kerumunan. Dina menolak dengan halus, mengatakan ingin berfokus pada sekolah.
Dodong… EGO Anton hancur seketika.
Kini melihat Dina bergandengan dengan seorang pria? Apalagi pria itu tampak jauh lebih tampan dan berkarisma dibanding dirinya?
Senyum Anton seketika menghilang. Wajahnya memerah, bukan karena malu—tapi karena murka.
“Gadis sialan itu mempermalukan gue,” gumamnya dingin.
Teman-temannya menepuk punggung Anton, semakin menyulut api.
“Dia sengaja pamer pacar baru tuh.”
“Parah sih… nusuk harga diri lo.”
“Hahaha Anton idolanya cewek aja ditolak gadis miskin.”
Tawa-tawa itu seperti pisau menusuk d**a Anton berkali-kali.
Dina harus dihukum.
Ia bangkit dan maju cepat dengan d**a membusung.
“HEY!!! BERHENTI!!!” teriak Anton lantang.
Alvaro menoleh pelan. Dina terkejut.
“Ada apa, Kak Anton?” tanya Dina gugup.
Anton menatap tajam, lalu berteriak dengan kata-kata yang menusuk lebih kejam dari belati:
“GADIS SIALAN!!! KAU ITU LACUR!!!”
Suara keras itu menggema ke seluruh halaman depan sekolah. Semua siswa langsung menoleh. Smartphone terangkat, kamera dibuka. Drama gratis.
Mata Alvaro berubah dingin. Sangat dingin.
“Jaga mulutmu,” katanya rendah tapi menusuk. “Atau aku kirim kau ke rumah sakit.”
Anton tertawa—tawa yang tak memiliki dasar keberanian lagi.
“Kau pikir kau siapa? Ini wilayahku! Lo mau digebukin rame-rame?!”
Oh ya. Anton bukan sekadar murid manja. Ia anggota geng Cobra . Geng siswa paling brutal di Bandung Barat.
Dina memegang lengan kakaknya, panik.
“Kak… jangan. Abaikan dia.”
Namun Anton melangkah maju ingin menarik tangan Dina.
Dan itu…
SALAH BESAR.
BUUAAAAKK!!!
Pukulan dari Alvaro mendarat tepat menghancurkan hidung Anton. Darah langsung mengucur deras. Anton jatuh berdebum seperti karung jerami.
“AAAAAHH!!!”
Suasana sekolah langsung hening. Terlalu hening.
Alvaro mendekat, menatap dari atas dengan suara pelan, namun dingin membekukan.
“Sentuh Dina sekali lagi… dan aku patahkan semua tulangmu.”
Ia menggenggam tangan adiknya dan melangkah pergi. Tidak menoleh. Tidak peduli.
Tapi dendam Anton…
Baru saja dimulai.
“b******n!!! AKU AKAN BUAT KAU MENYESAL!!!” teriak Anton sambil menekan ponsel.
Telepon tersambung.
“Datang ke sekolah gue sekarang!” teriaknya.
“Aku punya target untuk dihajar sampai remuk!”
“Sesuai harga, Bro. Bayarannya?” jawab suara pria enteng dari ujung telepon.
“Aku bayar full!! CEPAT!!!”
“Hahaha… siap. Kami otw,” jawab mereka.
Klik. Sambungan terputus.
Anton berdiri sempoyongan sambil melotot liar pada siswa lain yang masih menonton.
“APA LIAT-LIAT?! MAU GUE HAJAR JUGA?!” bentaknya.
Sekejap semua siswa bubar seperti kecoak dikejar api.
Anton berdiri sendiri, wajah dipenuhi darah dan amarah mendidih. Tatapannya penuh dendam tak terbendung.
Sementara itu…
Alvaro dan Dina sudah jauh melangkah masuk ke koridor sekolah. Suasana berisik di belakang sama sekali tak menggoyahkan langkah mereka.
Tujuan mereka jelas:
Ruang Kepala Sekolah.