Bara Mahendra

1258 Words
Gendhis sedang berdiri tegak di depan sebuah cafe ternama. Tarikan nafasnya berat, dengan mata tertuju pada bangunan yang terdiri dari tiga lantai itu. Sebuah cafe dengan nuansa kekinian, dan selalu ramai pengunjung setiap Gendhis melewatinya, karena baru kali ini dia menginjakkan kakinya disana. Setelah tadi dia mengemis informasi dari Pak Tony—pihak penagihan resmi yang menjadi fasilitator masalah rumahnya, akhirnya dia mendapatkan data orang yang akan membeli rumah orang tuanya. Pak Tony bilang, Gendhis bisa berbicara saja saat mereka dipertemukan nanti. Tapi, seolah tak sabar, Gendhis memilih mendatangi calon pembeli rumahnya di cafe milik orang itu secara langsung. Tanpa membuang waktu, Gendhis masuk ke dalam cafe, langsung meminta akses bertemu dengan Bara Mahendra. Lelaki yang sebelumnya sudah dia hubungi via telepon, tapi tidak mau mengangkat panggilan. “Selamat siang.” Orang yang sedang serius menatap layar datar di depannya itu mengangkat kepalanya saat Gendhis menyapa. “Ya. Silahkan masuk!” Ucap lelaki itu formal dan datar. Sekilas Gendhis menatap, menurutnya lelaki itu adalah lelaki tampan dengan tubuh bagian atas yang tegap atletis. Masih muda, tapi terlihat cukup matang. Mungkin, kisaran 27 atau 28 tahun. Setelah mengangguk sopan, Gendhis lantas duduk di hadapan lelaki bernama Bara itu. Entah kenapa, belum mulai saja, Gendhis sudah merasa akan sulit bernegosiasi dengan Bara. Kalau dilihat-lihat Bara cukup angkuh dengan sikap kurang menyenangkan. “Jadi, kamu pemilik rumah yang akan saya beli?” Tanya Bara, tidak ada basa-basi, bahkan sebelum Gendhis mengutarakan maksudnya. Gendhis tersenyum tipis. “Kalau anda sudah tahu, kenapa tidak mengangkat panggilan saya, Pak?” “Oh, tadi kamu yang menelpon?" tanya lelaki itu enteng. "Sorry, saya tidak suka menerima panggilan dari nomor asing. Masalahnya, banyak nomor tidak dikenal yang ujung-ujungnya hanya minta kenalan.” Ingin sekali, Gendhis memutar bola matanya. Tapi, berhubung dia masih punya sopan santun, wanita itu akan mengalah. “Maaf sebelumnya karena sudah mengganggu waktu anda, Pak. Tapi, saya janji tidak akan berlama-lama.” Gendhis memilih fokus pada tujuannya. “Kamu mau meminta saya membatalkan pembelian rumah itu?” tebak lelaki itu lagi. Lagi-lagi, Gendhis tersenyum. Tapi, kali ini lebih terlihat sinis. “Rupanya, anda juga sudah tahu soal itu, Pak.” “Tony yang memberitahu saya.” Bara menumpu tangannya di atas meja. Santai tapi masih terkesan angkuh. Gendhis mengangguk saja. Dia bisa mengambil kesimpulan jika lelaki di depannya itu cukup dekat dengan Tony. “Kalau begitu, saya nggak akan lama-lama. Langsung saja, Pak. Meskipun Bapak sudah tahu tujuan saya, tapi saya akan tetap berbicara lagi. Saya mohon, batalkan keinginan Bapak untuk membeli rumah orang tua saya. Saya sedang berusaha mengumpulkan uang untuk mengambilnya kembali.” Bara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, matanya menelisik Gendhis yang cukup formal. “Kalau saya terlanjur suka sama rumah kamu, gimana?” Gendhis meremas tangannya di bawah meja. Sumpah demi apa, dia kesal dengan sikap lelaki itu. Tapi, demi rumahnya, dia akan mengalah sebentar saja. “Bapak bisa cari rumah yang lebih bagus dari itu.” singkat Gendhis. “Soal bagus atau tidak, itu bisa diperbaiki. Saya butuh lokasi kompleks perumahan kamu yang strategis.” “Mungkin, Bapak bisa cari rumah lain di sekitar sana.” Gendhis masih mencoba memprovokasi. “Harganya tidak akan sebanding dengan dengan rumah hasil lelang. Kamu tahu sendiri kan, rumahmu tinggal harga segitu karena pihak lelang sudah menurunkan jauh sekali? Kamu pikir, saya mau menyia-nyiakan kesempatan ini? Uang satu Miliar itu tidak sedikit. Bisa menghemat satu miliar saja, saya bisa gunakan untuk mengembangkan usaha saya.” Gendhis menghembuskan nafas pasrah. Rasanya, baru begini saja dia sudah ingin menyerah. Memang, dia bukan orang yang pandai bernegosiasi dengan orang lain. Pergaulannya pun terbatas karena memang dia ingin membatasi diri. Apalagi, Gendhis cukup malas mencari masalah. Tapi sialnya, masalah yang justru kerap mencarinya. “Ya sudah kalau begitu. Saya permisi, Pak. Maaf sudah mengganggu waktu Bapak.” Tanpa basa-basi lagi, Gendhis beranjak. Dia membungkuk sopan sebelum akhirnya meninggalkan tempat. Tapi ternyata, sebelum Gendhis benar-benar keluar, Bara sudah memanggilnya lagi. “Tunggu!” Gendhis berhenti dan menoleh. “Ya?” Bara bangkit dari duduknya, mendekati Gendhis. “Apa cuma seperti ini saja usahamu? Mana yang Tony bilang ada gadis tangguh yang ingin mempertahankan rumahnya?” satu alis lelaki itu terangkat meremehkan. Gendhis menegakkan tubuhnya, menghadap Bara. “Memangnya, Bapak mau saya memohon seperti apa?” “Setidaknya ada effort yang menakjubkan.” “Contohnya?” Gendhis menantang. Bara mengedikkan bahunya. “Mungkin, dengan cara kamu menangis di depan saya.” Gendhis tertawa kecil. “Anda suka menindas orang ya, Pak?” “Saya kan bilang mungkin. Kalau soal usaha, itu terserah kamu.” “Tapi, saya nggak suka dikasihani, Pak.” Bara tersenyum jumawa. “Kalau begitu, cukup makan siang sama saya di bawah. Ceritakan kisahmu sama saya, siapa tahu saya tertarik dan berubah pikiran.” * * [Dasar bujang tua bangkotan! Ketagihan lo sampai bini muda sampai nggak bolehin ngampus?] Bhumi mengerutkan keningnya membaca pesan dari temannya yang merupakan salah satu dosen Gendhis. “Ngapain si Arman chat gue kayak gini?” Bhumi yang semula hanya mengintip notifikasi ponselnya, sampai harus mengangkat benda itu. [Apa maksud lo?] Balas Bhumi singkat. Tak berapa lama, pesan dari sahabatnya itu datang lagi. [Gendhis nggak ada di mata kuliah gue. Tuh!] pesan itu disertai sebuah foto kelas mengajar yang diambil dari angle depan kelas. “Kemana dia?" Bhumi berpikir keras. Mencoba menebak apa yang sedang terjadi kepada istrinya. Tapi, dibandingkan sibuk bertanya-tanya, dia memilih langsung menghubungi istri kecilnya itu. “Ya, Om!” Sapaan dari seberang sana, terdengar ceria. “Kamu bolos kuliah, Gendhis?” Bhumi langsung pada intinya. “Eh, ya ampun, jam berapa sekarang? Maaf, Om. Saya lupa. Tadi niatnya cuma keluar sebentar doang. Ck. Ya udah deh bolos aja jamnya Pak Arman.” wanita itu terdengar menyesal. “Memangnya, dimana kamu sekarang?” Entah kenapa, Bhumi merasa curiga. “Di cafe Andromeda, Om.” “Kamu nongkrong disana?” “Enggak. Eh, tadinya enggak sih. Tapi, sekarang jadi nongkrong beneran karena ditraktir sama yang punya cafe.” Wajah Bhumi semakin berkerut. “Kamu kenal sama pemiliknya?” “Baru kenal, Om. Tapi, ternyata Kak Bara baik kok. Enak lagi diajak ngobrol meskipun tadi—" Tut. Bhumi menutup panggilannya sepihak tanpa basa-basi. Kemudian, dia beranjak dari meja kerjanya, keluar kantor secepat kilat. Bahkan, dia mengabaikan Papanya yang sedang berbincang dengan Jimmy entah apa. Tak mau membuang waktu, Bhumi mengendarai mobilnya menuju tempat yang Gendhis katakan. Tidak perlu bertanya dimana alamatnya karena cafe itu cukup dikenal di berbagai kalangan. Sampai disana, Bhumi langsung mencari istrinya yang bandel itu, menyusuri penjuru ruangan dengan wajah tegasnya. Hingga akhirnya, matanya berhasil menemukan sosok cantik yang sedang mengobrol asyik sambil tertawa-tawa. “Gendhis!” Panggilan Bhumi terdengar rendah namun tegas. Persis seperti Ayah yang tengah memergoki anak gadisnya pacaran di tempat umum. “Om? Kok kesini?” Gendhis bangkit menyambut suaminya. Sayangnya, tak ada raut bersalah sama sekali di wajahnya. Gendhis justru tersenyum lebar. “Kamu lupa kalau sebentar lagi kita ada janji sama dokter?” Bhumi mendekat perlahan, kemudian berhenti di samping istrinya. “Eh, iya. Hampir aja saya lupa juga, Om. Ya udah, ayo berangkat kalau gitu." Sayangnya, ajakan Gendhis diabaikan oleh Bhumi. “Siapa dia?” lelaki itu bertanya dengan nada dingin. Sialnya lagi, Gendhis masih tak paham jika Bhumi tidak suka. “Ah, iya. Kenalin, Om! Ini Kak Bara yang punya cafe ini.” Kemudian Gendhis menatap Bara. “Kenalin juga, Kak. Ini Om Bhumi. Om Bhumi ini… em…” Jujur saja, Gendhis bingung harus menjawab apa. Ingin jujur, tapi dia belum sempat berdiskusi dengan Bhumi. “Saya suami Gendhis!” Tiba-tiba, Bhumi mengulurkan tangannya kepada Bara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD