“Om.”
Orang yang berbaring di sebelah Gendhis itu menoleh. Rupanya, suara Gendhis memecah keheningan di antara keduanya. Mereka sudah berbaring di satu ranjang sejak satu jam yang lalu, tapi sama-sama masih sulit memejamkan mata.
“Ada apa?”
“Em...” Gendhis ragu mengeluarkan pikirannya.
“Kenapa?” tanya Bhumi lagi. Bahkan, lelaki itu sampai memiringkan tubuhnya menghadap Gendhis dengan ekspresi serius.
Sumpah demi apa, sikap Bhumi membuat Gendhis menyesal sudah memanggil lelaki itu hingga berakhir salah tingkah.
“Em, nggak jadi, Om.” Pada akhirnya, Gendhis hanya bisa nyengir.
“Ada apa? Kamu ingin sesuatu? Katakan saja!”
Gendhis menggeleng cepat.
“Kamu mau bicara soal Laura?”
Gendhis menggeleng lagi.
“Lalu?”
“Nggak jadi, Om. Kan tadi saya sudah bilang, nggak jadi.”
Bhumi menghembuskan nafas berat. Kembali pada posisi semula menghadapi langit-langit kamar.
“Tidak apa-apa, Gendhis. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, katakan saja. Saya tahu, kamu belum terbiasa dengan semua ini. Apalagi, kamu harus satu rumah dengan Laura. Saya nggak tahu kalau kalian sampai seperti itu.”
Gendhis jadi ikut-ikutan tak enak hati. “Nggak apa-apa, Om. Pindah rumah itu biasa buat saya. Ada yang lebih parah dari ini dan saya bisa menjalaninya.”
“Lebih parah?” Bhumi kembali menghadap ke arah Gendhis.
Lagi-lagi, Gendhis salah tingkah.
“Bukan apa-apa, Om. Hehehe.” Gendhis jadi tak minat untuk bercerita.
“Apa karena kamu pindah dari rumah kamu sendiri yang disita Bank itu?” Tebak Bhumi.
Dengan terpaksa Gendhis mengangguk. “Makanya saya pengen banget balikin rumah kami, Om. Selain banyak kenangannya, saya juga mau punya tempat tinggal sendiri.”
Bhumi mengangguk pelan. Menunjukkan sikap prihatin kepada Gendhis.
“Saya nggak tahu apa yang kamu dapat di rumah Pakdemu. Tapi, kalau kamu nggak suka disana, sekarang kamu boleh sedikit tenang. Tinggallah disini sesukamu, tanpa harus sungkan apapun, termasuk Laura. Saya tahu, kamu bisa menghadapi Laura.”
Gendhis tersenyum saja. Masih belum rela kalau harus mengangguk, menyetujui apa perkataan Bhumi. Sudah tentu, Gendhis masih berat tinggal di rumah itu, meskipun tidak dia tunjukkan.
“Om.” Panggil Gendhis lagi.
“Ya.” Bhumi kembali fokus kepada Gendhis.
“Soal perjanjian kita, kalau misalnya saya nggak hamil-hamil gimana, Om? Apa Om punya batas waktu kapan saya harus hamil?”
“Semua itu di luar kendali kita, Gendhis. Tapi, kita bisa usahakan. Kita akan terus berusaha biar kamu cepat hamil.”
“Tapi, kalau sudah hamil, tapi anaknya perempuan, gimana, Om?”
Bhumi tak lantas menjawab. Lelaki itu nampak berpikir untuk sejenak.
“Besok, kita konsultasikan sama beberapa dokter bagaimana baiknya. Jimmy sudah membuat jadwal dengan dokter obgyn FER dan dokter andrologi."
“Oh…” wanita itu paham. “Jadi, kita nggak perlu berhubungan badan banyak-banyak kan, Om? Malam ini saya bebas kan jadinya? Kita nggak jadi buat anak kan?”
Gendhis mendadak menyesali ucapannya saat Bhumi menyeringai.
“Apa kamu sudah ingin membuat anak, hem?” Tiba-tiba lelaki itu mendekati Gendhis hingga mundur teratur karena gugup.
“Eh, enggak, Om! Saya… saya kan cuma nanya aja.” Gendhis melambaikan tangannya dengan ribut.
“Tapi, tidak apa-apa. Kalau kamu mau, saya masih punya tenaga untuk melakukannya.”
“Akh!”
Karena banyaknya tingkah mereka, Gendhis sampai hampir terjatuh, namun Bhumi cepat menangkapnya.
Untuk beberapa saat, tatapan keduanya terkunci dalam jarak yang sangat dekat.
Deg.
Deg.
Deg.
Kalau saja jantung bunyinya cukup nyaring, pasti mereka bisa sama-sama tahu kalau kedua jantung mereka bekerja lebih cepat dari biasanya.
Entah apa yang Bhumi pikirkan, tiba-tiba dia mendekatkan wajah mereka, ingin mencium bibir Gendhis. Tapi sayangnya, sedikit lagi bibir mereka bersentuhan, Gendhis berkelit memalingkan wajahnya.
“Sa—saya udah ngantuk, Om.” Wanita itu mendorong Bhumi pelan, dan untungnya Bhumi pun tak memaksa.
Lelaki itu lantas menjauhkan diri kembali ke posisinya.
“Tidurlah! Besok kamu kuliah dulu sebelum kita ke dokter. Saya sudah sesuaikan sama jadwalmu juga.”
Gendhis mengangguk, tersenyum canggung. Kemudian, dia menaikkan selimut yang sama dengan selimut Bhumi, lalu merubah posisi membelakangi suaminya.
Sedangkan Bhumi sendiri menghela nafas berat, karena menyadari hal luar biasa yang terjadi pada tubuhnya lagi.
Berkali-kali dia sengaja mendatangkan wanita seksi, tapi lelaki itu hanya menganggap remeh mereka semua. Sedangkan tadi, saat dia hanya berniat menggoda Gendhis, sesuatu di bawah sana sudah memberontak ingin dimanja.
‘Ada apa dengan bocah ini?’
*
“Makan, La!” Titah Bhumi melihat anaknya hanya mengacak-acak sandwich di piringnya.
“Aku nggak lapar.” Ketus Laura, terdengar kesal.
Gendhis sendiri tak peduli. Dia hanya ikut memperhatikan mereka, sambil menghabiskan nasi goreng di piringnya.
Lumayan, batin Gendhis. Biasanya, makan saja harus diatur oleh Safitri—istri Pakdenya. Bahkan, makanannya selalu dibedakan dengan Radit.
Tapi disini, Gendhis justru ditawari ingin sarapan apa, dan pilihannya jatuh pada nasi goreng yang rasanya lezat itu.
“Tapi kamu harus sarapan, Laura. Nanti kamu sakit.”
Kalau boleh, Gendhis ingin iri kepada Laura karena papanya begitu perhatian. Tapi, dia tidak ingin terlalu terlarut karena hanya akan membuatnya sakit.
Ya, tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi Gendhis selain kehilangan kedua orang tuanya dalam satu waktu sekaligus.
Merasa dadanya mulai sesak, Gendhis meletakkan sendoknya dan memilih meneguk segelas air.
“Udah selesai?” Tanya Bhumi, menatap makanan Gendhis yang masih banyak.
“Eh, enggak, Om. Belum. Saya cuma mau minum aja.”
Bhumi tersenyum tipis. “Jangan dibiasakan minum sebelum selesai makan.”
“Hehehe. Iya, Om. Tadi seret.” Kilah Gendhis.
Tak!
Perhatian mereka langsung tertuju kepada Laura yang cemberut sambil menusuk kencang roti, dengan garpunya, tanda ingin menunjukkan kekesalannya.
“Ayolah, La. Jangan seperti ini terus. Ini semua juga gara-gara kamu sendiri. Coba kamu bercandanya nggak usah kelewatan, mungkin Papa nggak akan dipertemukan sama Gendhis.” Bhumi mencoba bernegosiasi lagi.
“Tapi, kenapa Tuhan malah mempertemukan kalian, Pa?” Keluh gadis itu dengan berlebihan, hampir menangis.
“Terima aja sih, La. Namanya juga takdir.” Gendhis malah memprovokasi.
“Enak aja terima-terima. Lo kesenengan ya jadi OKB?” sewot Laura
“Ih, enggak ya. Gue sih cukup bersyukur aja sama jalan hidup gue.”
“Ck. Lo bersyukur, gue yang stress. Kemarin, lo rebut perhatian Leon dari gue. Sekarang, lo rebut perhatian bokap gue.”
“Kalau gitu, gue aja yang perhatian sama lo. Lo kan anak tiri gue sekarang.”
“Cih, ngarep lo jadi ibu tiri gue?” Laura semakin kesal.
“Udah gue bilang, itu takdir. Jadi, sekarang lo harus panggil gue mommy.”
“Dih, ogah! Nggak akan ya!” Laura menuding Gendhis dengan garpunya.
Tapi, berhubung mereka dipisahkan oleh meja makan, jadi Gendhis santai.
“Tapi, lo harus nurut sama gue, La. Biar bagaimanapun juga, gue udah jadi ibu tiri lo. Jadi, mending sekarang lo makan daripada ibu tiri lo jadi jahat.”
“Nggak usah sok ngatur lo! Gue belum terima lo jadi keluarga gue.”
“Itu sih urusan lo. Tapi kan kenyataannya gue udah jadi ibu tiri lo.”
“Eh, mau apa lo?” Laura mendadak panik saat Gendhis mendekatinya dengan santai.
“Ibu itu sering nyuapin anaknya kalau nggak mau makan. Jadi, kalau lo nggak mau makan, biar gue yang nyuapin lo.” Gendhis mengambil garpu Laura dan menusuk sepotong roti besar.
“Ah, Gendhis! Itu kebanyakan, Bego!”
*
Drrrttt drrrttt drrrttt.
Langkah Gendhis keluar dari kelasnya, terganggu saat ponselnya bergetar. Seperti alarm, benda itu langsung menjadi pusat perhatian Gendhis.
“Pakde… pasti mau tanya soal gue nggak pulang semalem.”
Dengan berat hati karena harus menjelaskan banyak hal, Gendhis mengangkat panggilan itu
“Halo, Pakde.”
“Kamu dimana, Gendhis? Kenapa semalam nggak pulang?”
Gendhis tersenyum karena tebakannya benar.
“Maaf, Pakde. Kemarin, Gendhis pulang tapi Pakde nggak di rumah.”
“Kata Bi Surti, kamu sudah menikah?”
Gendhis menghela nafas panjang. “Iya, Pakde. Gendhis nikah sama pacar Gendhis.” Bohongnya.
“Kenapa nggak bilang, Nduk?”
Gendhis merasa bersalah karena suara Pakdenya yang terdengar pilu.
“Maaf, Pakde. Gendhis nggak mau nambah-nambahin masalah di rumah. Apalagi kalau Bude tahu.”
Terdengar helaan nafas berat dari seberang sana. “Maaf, Gendhis, Pakde nggak bisa jaga kamu dengan baik sampai kamu memilih jalan secepat ini.”
“Ini bukan salah Pakde. Lagian, pacar Gendhis udah dipaksa cepat nikah kok, Pakde.”
“Baiklah, Pakde cuma bisa berdoa untuk kebaikan kamu. Pakde dukung apapun yang menurutmu baik.”
“Makasih, Pakde.”
Hening beberapa saat sebelum akhirnya Pakde Bagus bersuara lagi.
“Dhis.”
“Ya, Pakde?” Gendhis fokus lagi.
“Tadi pihak bank kasih tahu Pakde kalau ada yang mau beli rumah kamu di bawah tangan. Mungkin, beberapa hari lagi, kamu diminta ketemu sama mereka.”
“Pakde serius?” Gendhis mendadak panik.
“Ya. Kalau kamu nggak percaya, mungkin kamu bisa tanyakan langsung sama pihak penagihan.”
Gendhis berpikir keras. Memang, sebelumnya dia sudah tidak terlalu peduli dengan rumah itu meskipun ingin. Tapi, karena dia sudah terlanjur sejauh ini, tidak mungkin Gendhis tinggal diam.
‘Gue harus cepat temuin orangnya, biar batalin prosesnya. Ya kali gue udah bela-belain nikah sama Om Bhumi, tapi gue tetep nggak bisa dapet rumah Papa.’