Part 1

1176 Words
                                                                                        BAB 1                          Hal terberat dalam hidupku adalah meninggalkan meraka demi citaku.                                                                                          **** Embun pagi belum beranjak dari tempatnya seakan-akan dia masih ingin bermanja-manja padaku. Hamparan hijau dihadapan ku membuatku bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan padaku saat ini. Karena kesempatannya aku bisa melihat keindahan ciptaannya. Sebuah tangan besar melingkar ditubuh ku dengan sangat erat, seakan-akan takut jika aku melepaskan pelukannya. Hembusan nafasnya di leherku menandakan bahwa sosok di belakangku ini tengah frustasi. Frustasi akan apa yang akan terjadi hari ini. "Bisakah kamu tidak pergi? Bagaimana jika disana tempat yang sangat berbahaya? Apa kamu tidak takut?" Aku tersenyum sambil memandang bunga-bunga indah dihadapan ku. Takut? Tentu saja! Tapi aku tidak bisa selamanya berada ditempat yang sama. Aku butuh tempat dimana aku bisa menemukan siapa diriku. Tempat yang membawaku pada sebuah realita. Dimana kehidupan tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Tidak." Helaan nafas dan renggangnya pelukan di tubuhku membuat aku tersenyum lagi. Ku yakini sosok di belakangku akan melakukan aksinya. 1...2...3... "Raisa Stevano! Indonesia memiliki 33 Provinsi dan di antara mereka semua kenapa harus New York? Kenapa tidak di Jerman tempat Opa Tua berada? kenapa Raisa?! Berikan penjelasan yang membuat kakak yakin melepaskan kamu." Jeritan frustasinya lagi-lagi membuatku merasa takut untuk meninggalkan negeri tercinta ini. Negeri yang memberikan kesempatan padaku untuk mencium indahnya dunia. Negeri yang dipenuhi oleh pesona alam dan budayanya yang menakjubkan membuat ku enggan melangkahkan kakiku. Tapi aku harus melakukannya. Aku harus meninggalkan Ibu Pertiwi ini. "Karena kontrak modelling dan beasiswa yang tidak bisa aku tolak. Dan itu adalah alasan yang sangat jelas wahai tuan Rian Stevano." Stevano mungkin nama yang sangat terkenal. Bahkan mereka semua pasti sangat tahu tentang kejadian buruk yang menimpa keluargaku. karena hal tersebut, aku langsung mengambil kontrak dan beasiswa tersebut. Berharap aku bisa melupakan apa yang terjadi di sini. Ah! Aku sampai lupa. Namaku Raisa Stevano anak tunggal dari pasangan Ritter dan Risa. Kedua orang tuaku meninggal saat kecelakaan menuju ke rumah kami dan karena kecelakaan tersebut, aku kehilangan seluruh memoriku. Aku sedih? Tentu saja! Jika mereka tidak menjelaskan tentang kedua orangtuaku dan kecelakaan itu mungkin saja aku masih disini. Namun karena cerita itu, aku jadi--ah sudahlah aku malas membahasnya. Karena lebih asik menjelaskan sosok yang ada di hadapanku kini. Dia adalah Rian Stevano. Pria berusia 22 tahun adalah anak dari Rio Stevano dan Raline. Kak Rian adalah sosok yang sangat overprotective melebihi Papa. Bahkan Kak Rian bisa mengirim puluhan anak buahnya demi melindungi diriku. Lebay? Itulah dia. Kadang kala aku merasa muak tapi aku tidak bisa menolaknya, apalagi jika nenek dan kakekku bertindak. "Kamu hanya takut bukan? Kamu takut jika pemberitaan media mengenai kecelakaan tersebut benar adanya." Lagi-lagi masalah ini. "Ak-" "Raisaaaaaaa...." Teriakan dan pelukan hangat langsung ku dapati dari sosok cantik di hadapanku. Sosok yang selama ini ku panggil Mama tengah memelukku dengan penuh kasih sayang. "Kamu harus banget pergi sayang? Nanti yang nemenin Mama dirumah siapa? Kamu tahukan Papa sama Kakak kamu itu gila kerja. Bisa-bisa Mama mati kebosanan di sini." "Lebay!" "Papa!" Aku melepaskan pelukan dari bidadari ku dan berlari kearah malaikat pelindungku. Mereka adalah sosok yang sangat berharga bagiku. Seperti ombak yang membutuhkan batu karang untuk menahan amukannya. Ya seperti itulah mereka. Mereka adalah penopang ku selama beberapa bulan ini. "Baru sebulan yang lalu kamu siuman, baru tujuh bulan kamu bisa mengembalikan semua kekuatan kamu. Eh sudah mau pergi saja. Papa tidak sanggup melepaskan kamu. Siapa yang akan merawat kamu di kala kamu sakit? Siapa yang memeluk kamu di kala kamu membutuhkan sandaran? Dan siapa yang melindungi kamu dari kejahatan dunia? Papa tidak sanggup sayang." See? Inilah alasan kenapa aku sulit untuk pergi. Mereka selalu bisa mengungkapkan kata-kata yang membuatku goyah. "Tuhan selalu melindungi ku Pa. jadi bisakah kita lupakan sejenak kepergianku dan nikmati keindahan alam nan cantik ini?" Papa menghela nafasnya, aku yakin dia sudah tidak bisa mengeluarkan jurus-jurusnya untuk menahanku. "Papa cuma berbicara sekali, jika kamu butuh bantuan. Kami siap melakukannya dan kamu ingat? Kamu tidak sendirian di sini." "Raisa tidak janji Pa." Jawabku dengan tersenyum tulus ke arahnya. Bagaimanapun juga aku tidak mau merepotkan mereka terlalu jauh. Sambil menunggu jemputan, aku dan keluarga kecil yang selalu merawat ku ini menikmati secangkir teh hangat. Berbincang seperti biasanya melupakan ketegangan yang baru saja terjadi. Tin.. tin... Suara klakson mobil menyadarkan ku, jika waktunya sudah tiba. Tatapan kesedihan mereka membuatku langsung memeluk ketiganya. "Raisa janji, Raisa akan berkunjung jika liburan nanti. Dan Raisa mohon tersenyumlah. Karena hal itu yang ingin Raisa lihat dari kalian semua." Mereka tersenyum ke arahku dan langsung memelukku kembali. Sambil membisikkan kata-kata nasihat di telingaku. "Lama tidak berjumpa sahabat, apa kabar?" Tanya sosok pria dewasa. Dia adalah Julian Fernandez, Ayah dari sahabatku. "Baik Brother! Gimana ni kalau kita batalkan perjalan anak-anak kita. Apa kamu tidak khawatir dengan putri semata wayang mu? Di tambah lagi mereka akan jauh dari kita." Jawab Papa. "Khawatir pasti Bro. Tapi inikan cita-cita mereka juga." Om Julian menatapku dengan senyuman hangatnya dan aku bersyukur Om Julian bisa membantuku keluar dari situasi seperti ini. "Tahu Om Rio, santai aja. Raisa di sana kan sama Caca. Kalau kenapa-kenapa Caca langsung hubungi Om dan Tante." Caca Fernandez. Gadis manja dan periang yang katanya sahabat ku sejak kecil. Entah mengenal ia di mana, aku jadi penasaran dengan masa laluku dulu. Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi pasti aku akan mengingat semuanya. "Raisa? Ini Tante Acha. Kamu ingatkan?" Sebuah pertanyaan menyadarkan aku. "Jika ditanya ingat atau tidak maka aku jawab tidak. Tapi Mama dan Papa selalu menjelaskan siapa saja orang-orang terdekat ku. Termasuk Tante." Jawabku membuat ia langsung memeluk tubuhku dengan erat. "Kami akan menebus kesalahan kami." Bisiknya. Kesalahan? Kesalahan apa? Baru saja aku ingin bertanya. Caca dan yang lain sudah berseru supaya aku cepat masuk ke dalam mobil. Disana keluarga ku sudah menunggu dengan senyuman mereka. Ya setidaknya saat aku pergi mereka sudi mengantarku ke bandara. Selama perjalanan, tidak banyak yang kami obrolkan. Tapi bagiku ini adalah perpisahan yang luar biasa. Setidaknya mereka memberikan kepercayaan padaku untuk menentukan pilihanku. Dan aku sangat berterima kasih atas situasi saat ini. "Mama akan merindukan kamu. Jangan telat makan, istirahat yang cukup dan jika dunia modelling meminta kamu melakukan sesuatu yang di luar nalar hubungi kami. Kami akan langsung terbang ke sana," kata Mama. "Benar kata Mama kamu, jangan pernah merasa sendirian. Kamu masih memiliki kami dan kami tidak keberatan untuk di susahkan oleh kamu. Karena kamu juga anak kami." Tambah Papa. "Sudah cukup! Pokoknya kakak akan mengawasi kamu. Jika ada hal buruk dan kamu menyembunyikan pada kami, jangan harap kamu bisa berkuliah di sana. Kakak bersumpah akan membawa kamu kembali ke Indonesia!" Ancam Kak Rian. Aku tersenyum menatap ketiga orang yang paling berharga untukku saat ini. Ku peluk tubuh mereka secara bergantian. Dan berbalik meninggalkan mereka. Akhirnya, aku bisa melewati semuanya. Setidaknya untuk saat ini aku bisa tenang. Soal esok? Biarlah menjadi rahasia untuk saat ini. ❤️❤️❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD