7. Rumah

1620 Words
Lovely Pov Beberapa menit yang lalu, kami baru saja meninggalkan kios bubur Pak Sulaiman. Tanpa menyisakan satu sendok pun, kami berhasil mengosongkan mangkuk bubur masing-masing dalam waktu yang bersamaan. Selain rasanya lezat, porsinya juga banyak hingga aku sendiri merasa kenyang tak tertolong. Bahkan bukan hanya aku yang merasakan, tapi lelakiku pun sama halnya denganku. Lihat! Dia sedang mengusap perut kotak-kotaknya saat ini, mungkin pengaruh dari perut yang kenyang pasca memakan bubur langgananku. "Kenyang banget ya, Yo?" tegurku di tengah langkah kami yang sudah menjauhi kios Pak Sulaiman. Sekilas ia melirik, lalu mengangguk seraya menghela napas, "Bukan banget lagi, Yang. Tapi, udah masuk kategori begah kalau gini ceritanya," katanya tak henti mengusap perutnya itu. Kontan aku terkikik geli, tidak menyangka kalau dia akan menghabiskan porsi buburnya tadi. Padahal, semula aku mengira dia hanya akan memakan setengahnya saja. Tapi nyatanya, dia benar-benar mengosongkan mangkuk buburnya hingga suapan yang terakhir. "Kita duduk aja dulu gimana? Aku khawatir kamu gak kuat jalan kalo kekenyangan gitu," ajakku mengusulkan. Untuk sesaat, langkah Rio memang terhenti. Pandangannya pun beredar ke segala arah, "Gak ada tempat duduk di sekitar sini, Yang. Malah banyak anak-anak yang main sepatu roda," gumamnya menggaruk belakang telinga. "Ya udah kita jalan dikit lagi deh, seingatku di depan sana ada tempat mengaso deh..." ujarku kembali mengajaknya berjalan. "Hem, ya udah deh ... walau sebenarnya perut aku rasanya gak nyaman gini, tapi demi mendapat tempat duduk buat kita nongkrong dulu, ayo deh kita jalan lagi!" setujuinya sembari menautkan lagi jemarinya di sela-sela jariku. Dengan hanya tertawa tanpa suara, aku pun lekas menyamai langkahnya guna berjalan lagi agar segera mendapatkan tempat duduk untuk sejenak kami pakai istirahat. Sebenarnya, ini salahku. Gak seharusnya aku langsung mengajak Rio meninggalkan kios itu setelah mangkuk bubur kami sama-sama kosong. Padahal, biasanya aku juga suka diam dulu di sana sampai si bubur tertata rapi di dalam perut. Namun tadi, aku malah buru-buru mengajak Rio untuk angkat kaki dari kios tanpa berbasa-basi dulu di sana. Salahkan perempuan berpakaian serba pendek yang tiba-tiba datang dan menyapa Rio sebegitu akrabnya, entah siapa namanya-aku lupa, yang jelas aku gak suka sama perempuan itu. "Hai, Delta? Gak nyangka banget ya gue bisa ketemu lo di sini, " tahu-tahu seorang perempuan berambut panjang menyapa Rio yang tengah duduk di sebelahku. "Eh, kok lo bisa ada di sini?" dongak Rio berseru-yang kurasa dia juga kaget karena bisa ketemu dengan perempuan itu di kios Pak Sulaiman ini. "Iya nih, kebetulan gue diajak mampir sama temen buat makan bubur di sini ... katanya bubur di kios ini rasanya enak, ya daripada gue penasaran kan mending gue langsung coba aja datang ke sini ... hehehe," tutur perempuan itu cengar-cengir. "Oh gitu, terus ... temen lo di mana sekarang?" tanya Rio celingukan. Kulihat, si perempuan berambut agak pirang itu mengangkat bahu tanda tak tahu, "Gak tau tuh, tadi sih katanya mau beli air mineral dulu. Mungkin bentar lagi juga dateng," terkanya santai. Rio manggut-manggut, sementara aku langsung berdeham karena sejak tadi dia sama sekali tak berinisiatif untuk mengenalkanku pada perempuan asing tersebut. "Ehem," spontan, Rio pun menoleh. Meski sebenarnya aku ingin sekali mengomelinya karena sudah mencuekkanku, tapi aku lebih memilih berpura-pura tak acuh saja sambil memainkan asal ponsel yang tengah kugenggam. "Eh iya, kenalin ... ini Lovely, tunangan gue!" cetus Rio tiba-tiba, sepertinya dia paham dengan maksud dehemanku barusan. Kulihat dari ekor mata, si perempuan itu tampak melongok mengarahkan pandangannya ke arahku. Sementara aku, walau sudah tahu sejak tadi tapi aku baru mengalihkan tatapanku padanya ketika Rio merangkul bahuku dengan lembut. "Oh hai? Gue Lovely," lontarku melempar senyum seadanya. "Hai, gue Malika ..." sahutnya balas tersenyum juga. "Yang!" aku terkesiap tatkala Rio sedikit mengguncang bahu kananku. "Eh... i-iya, kenapa?" tatapku melongo. "Kita jadi duduk enggak? Kamu malah ngelamun, ngelamunin apa sih?" omel Rio mengernyitkan kening sembari menatapku penuh tanya. Refleks, aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal sambil cengar-cengir. Sadar akan lamunanku tentang perempuan yang sok akrab dengan Rio di kios bubur tadi, aku malah jadi lupa dengan sekelilingku. Maka, tanpa berniat untuk menjelaskan pada Rio bahwa aku tengah melamunkan perempuan bernama Malika itu, aku lantas buru-buru menarik tangan Rio untuk segera menduduki bangku kosong di dekat tiang lampu taman sana.                                                                                   *** Siang hari di tengah cuaca yang panas menyengat memang enaknya duduk di beranda rumah sambil membaca novel romance, ditemani segelas jus dingin dan setoples camilan aku pun duduk selunjur sambil bersandar santai ke kaki meja. Meski tersedia kursi, tapi aku lebih memilih duduk di atas lantai agar bisa dengan leluasa mengubah posisi duduk yang kuinginkan. Tiap hari libur, aku memang selalu betah di rumah. Walau tak jarang Rio mengajakku untuk jalan-jalan ke mall, tapi sering juga aku menolak ajakannya itu. Alasannya simpleks, karena di hari libur aku hanya ingin menghabiskan waktu di rumah saja seperti sekarang. Jika saat masih ada bunda di sini, aku akan selalu mengajak bunda untuk bereksperimen membuat kue dan camilan-camilan ringan dengan resep baru olahanku sendiri. Namun semenjak bunda pindah kembali ke Bandung demi mendampingi ayah, waktu libur pun kuhabiskan saja dengan membaca novel bergenre romance yang terkadang membuatku senyum-senyum sendiri saking terbawa perasaannya akan adegan demi adegan yang kutemui di dalam cerita. "Kak!" Spontan, aku menengok tatkala mendengar seruan pendek dari Kena. Akhirnya, dia keluar juga dari persemadiannya. "Ya, Ken ... ada apa?" tanyaku tanpa bergerak dari posisi nyamanku. "Laper," cicitnya pelan yang sudah duduk bersila di sebelahku. "Ya kalo laper kamu makan lah, Ken!" ujarku seadanya. "Di dapur gak ada makanan," gumamnya-yang kutebak pasti sambil mencebik. Aku mendecak, "Terus kamu gak inisiatif buat bikin makanan sendiri gitu? Kamu kan udah gede, masak sendiri dong! Masa harus Kakak bikinin terus," dumelku menggeleng. "Kena mager, Kaaaak ..." rengeknya sambil menjedotkan kening ke bahuku. "Dih," lirikku sesaat, "Ya kalo males gerak udah kamu tidur aja di kamar! Suruh siapa keluar, lanjutin aja sana meditasinya ... katanya tadi gak mau diganggu, tapi malah kamu sendiri yang gangguin waktu santai Kakak!" sindirku mendengus. Kali ini, giliran Kena yang mendecak, "Kakak nyebelin banget sih, adiknya lagi galau bukannya dihibur atau dimanja ... ini malah disindir-sindir gitu, bikin Kena makin kesal aja tauuu!!!" ocehnya meradang. Sementara aku yang sudah mulai kehilangan mood untuk membaca pun akhirnya memutuskan untuk mengakhiri kegiatan santaiku saja seraya menutup novelku di bab 10. "Kamu bikin Kakak kehilangan selera baca aja tau gak, Ken? Kalo bukan adik, udah Kakak deportasi kamu ke Hongkong!" tukasku mendelik sebal. "Mau diapain kalo Kena udah di Hongkong?" lontarnya malah meladeni ucapanku. "Mau Kakak jadiin TKW, puas kamu?" semburku gemas, lalu segera bangkit berdiri berniat untuk membuatkan Kena makanan. Meski sebenarnya aku kesal sama dia, tapi rasa sayangku jauh lebih besar rupanya. "Mau makan apa? Biar Kakak gak harus bengong dulu di depan wajan gara-gara bingung mau masak apa..." tanyaku saat sudah sampai di ambang pintu, dan tentu saja membuat Kena mendongak ke arahku lalu ikut bangkit disertai wajah yang berbinar. "Kak Lovey beneran mau masakin buat Kena?" pekiknya semringah. "Iya, cepet bilang mau Kakak masakin apa? Seenggaknya sebelum Kakak berubah pikiran dan malah timbul niatan buat masukin kamunya aja ke dalam wajan," celetukku membuat Kena menatap horor.                                                                                          ***  Sekitar pukul 10 malam, aku lari terbirit-b***t keluar dari kamar menuju jamban. Rasa mulas mendera bagian perutku, bahkan ini kali ketiganya aku masuk ruangan tersebut untuk mengeluarkan ampas dari dalam perut. Sungguh! Sakit perut di malam hari itu rasanya tidak enak. Di saat mata sudah mengajak berkelana ke alam mimpi, tapi perut seakan tidak setuju dan memilih untuk menongkrong saja di WC. "Aduuh, kenapa sakitnya gak hilang-hilang sih..." keluhku pasca keluar dari tempat kakus sambil memegangi perut yang terasa melilit. Diiringi dengan punggung tangan yang mengusap peluh di kening, aku pun terus melangkah mendekati kursi yang merapat ke meja makan. Kutarik kursi itu, lalu mendudukkan diri di sana. Aku menumpukan sikut kanan ke atas meja, lalu kutopang kepala dengan telapak tangan. Memejamkan mata sembari setengah meringis merasakan sesuatu yang seolah mendidih di dalam perut. Salahkan Kena yang tadi siang minta dibuatkan seblak dengan cabe rawit yang lumayan banyak, gara-gara itu aku pun tergiur dan ikut-ikutan memakan seblak buatanku sendiri. Andai saja ulekan cabenya tidak kutuang semua, mungkin sekarang aku sudah bisa tidur nyenyak. "Kak!" aku refleks menegakkan kepala ketika Kena memanggilku. "Ada apa?" tanyaku lemas. "Ini, ponsel Kakak bunyi terus. Berisik, ganggu Kena banget lagi tidur nyenyak..." ujarnya mengeluh seraya menyodorkan benda pipih di tangannya ke hadapanku. Lihat! Kena bahkan sama sekali tidak terganggu dengan seblak pedas yang ia makan tadi siang. Memang benar kata bunda, adikku itu adalah si ratu cabe yang bilamana memakan pedas dalam jumlah banyak pun, dia tidak akan didera sakit perut layaknya yang kurasakan saat ini. Entah terbuat dari apa pencernaannya, sehingga dia bisa terbebas begitu saja dari imbas memakan asupan superpedas sekali pun. Aku membuang napas. Meski sebenarnya aku sedang tidak ingin banyak bicara dikarenakan rasa mulas masih mendominasi, tapi mau tak mau aku pun menerima ponsel yang Kena sodorkan sesaat lalu sambil memeriksa nama penelpon yang tertera di layar. Seperginya Kena yang mungkin hendak kembali tidur, aku pun mencoba untuk menyahut panggilan masuk yang rupanya berasal dari nomor kekasihku. Ada apa gerangan dia meneleponku di jam segini? Bukannya tadi siang dia bilang mau ke rumah Fedrik sekaligus reunian bareng temen-temen kampusnya dulu. Dikarenakan yang reuni kaum adam semua, alhasil aku pun tidak diajak oleh dia. Diikuti dengan mulut yang menguap, aku lantas menjawab panggilan tersebut sembari merapatkan ponsel ke telinga kiri. "Halo?" sambutku. "Halo Lov, gue Fedrik ... Delta mabuk, dan dia meracau gak jelas di depan pub yang biasa kita datengin..." "APA?" pekikku memelotot. Seketika, rasa mulas di perut dan ngantuk di mata pun seakan lenyap tak berbekas sedikit pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD