Bab 16.1 : Ilmu VS Mistis, Mana yang Lo Pilih?

1062 Words
Ketika semuanya menjadi 'salah' dalam hidup Anda - Bekerja lebih keras. Jatuh Lebih Keras. Bekerja lebih keras lagi. Jatuh lebih keras lagi. Dalam proses ini - Anda akan menyadari bahwa fase 'salah' dalam hidup Anda sebenarnya adalah 'benar'. "Ketika semuanya menjadi 'salah' dalam hidup Anda - Anda hanya memiliki satu opsi - bertumbuh. Untuk menjadi lebih kuat dari orang lain di luar sana. Tidak ada pilihan selain berhasil. Berdoalah agar Anda jatuh sedalam itu."- kevriawan, 2020    = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =    Bab 16 : Ilmu VS Mistis, Mana yang Lo Pilih?   “Jon, kamu itu kalau libur jangan tidur terus! Olahraga kek, keluar kek, atau ngapain kek.”   Gue bergelung di dalam selimut, sementara bacot emak gue menggema kemana - mana. Mood gue enggak bagus hari ini. Dan sebenarnya memang enggak pernah bagus. Dulu gue pernah mau bunuh diri, tapi enggak jadi. Nyali gue ciut banget melihat aspal dari ketinggian lantai atas kampus. Gile, kalau waktu itu gue terjun, gimana kali ya?    Sejak saat itu pun gue jadi agak rajin untuk menyemangati diri sendiri. Minimal gue mengingatkan diri sendiri bahwa masih ada harapan untuk hidup. Masih ada yang bisa gue lakukan kedepannya. Tugas gue sebagai manusia, anak, laki - laki, sekaligus calon suami dari calon istri gue di masa depan yang sama sekali belum kelihatan hilalnya itu belum selesai. Bahkan kayaknya mulai pun belum. Tapi, entah apa yang terjadi … bahkan kehidupan yang belum dimulai itu pun sudah terasa berat. Gue enggak tahu lagi apa yang harus gue lakukan kalau gue benar - benar hidup sebagai orang dewasa. Kayaknya gue enggak mau dan kalau bisa enggak usah dewasa. Tapi … kok gue ampas banget, anjir!   “Jon, udah siang … masih enggak mau bangun juga, hah?”   Gue menutup telinga, bacotannya tapi terasa menembus ke gendang telinga terdalam.   “Seharusnya udah gede mah nyadar diri, Jon. Bangun pagi kek, bantuin Emak. Nganter ke pasar, atau bantuin nyapu, ngepel, nyuci piring. Ngapain aja dah. Emak lu ini bukan pembantu, Malih!”   Ah, lagi -lagi ceramah khas Emaknya Jono di mulai lagi. gue enggak tahu sejak kapan, tapi ada waktu di mana gue emang lagi enek - eneknya mendengar omelan Emak. Gue bukan mau jadi anak durhaka, atau mau melakukan hal yang iya - iya, eh, maksudnya yang enggak - enggak. Tapi, ya tetap saja gue merasa … kok, ya kayaknya Emak itu enggak sayang sama gue, sih. Hiks!   “Kuliah kan enggak setiap hari, tapi kerjaan tiap hari udah sok sibuk aja, kagak jelas padahal ngapain - ngapain di kampus. Uang jajan enggak pernah nyisa. Giliran libur males banget dah Jon! Bangguuuunnn!”   Duh, emak sekarang menarik - narik selimut gue, dan gue mengencangkan lengan untuk menahan selimutnya. Entah kenapa gue enggak mau Emak berhasil menyingkap selimut ini. rasanya seperti zona terdalam diri gue bakalan terekspose. Yah, mungkin kelihatannya ini lebai dan alay, atau apapun lah ya menurut lo, tapi gue enggak peduli. Benar - benar enggak peduli. Lo tau enggak sih, perasaan yang gue rasain ini kayak apa?   Emak sepertinya menyerah, dia kemudian menghela napas kasar sebelum keluar dari kamar gue dengan membanting pintu. Begitu gue yakin enggak ada siapapun lagi di ruangan ini, gue dengan perlahan menurunkan selimut. Mengintip dan memastikan hal yang sebenarnya sudah pasti, dan jelas saja kamar gue kosong. Secepat mungkin gue meraih pintu, menguncinya. Lalu sepersekian detik berikutnya gue bergelung lagi di kasur. Hela napas berat keluar dan berembus begitu saja tanpa gue minta. Rasanya seperti ada batu besar yang dipaksa masuk ke dalam d**a. Dia mengganjal dan menekan di d**a. Terasa sesak dan penuh banget. Sumpah, enggak ada yang lebih berat daripada bawa batu di dalam d**a.   Mata gue sekarang terbuka, tapi sama sekali enggak tahu harus melakukan apa. Semuanya terasa hambar, kosong, gamang, dan yang paling parah adalah semua warna kehidupan ini rasanya sama. Putih. Enggak ada yang lain, dan gue enggak tahu kenapa. Beberapa waktu lalu gue merasa sudah berada di puncaknya, dan Juki jujur saja menjadi penyelamat. Ucapan ulang tahunnya yang sederhana itu membuat gue kembali merasa diinginkan. Padahal sebelumnya gue enggak berguna, sampai sekarang, sih.   Awalnya gue mengira ini cuma karena capek atau kelabilan sesaat. Tapi semakin lama rasanya sesuatu yang gue anggap sesaat itu sudah beranjak, memakan diri gue tanpa disadari. Gue bahkan enggak tahu lagi mana yang benar dan salah, mana yang boleh atau enggak. Mana yang bercanda atau serius … semakin hari garisnya semakin blur. Gue benar - benar enggak tahu. Padahal gue cukup yakin kalau gue menyenangkan. Biasanya gue ceria, gue tertawa, gue berlaku seperti biasa. Tapi itu hanya di depan orang - orang. Gue enggak tahu lagi apa yang harus gue lakukan. Setiap langkah yang sudah diambil terasa salah, dan semakin salah ketika menjalaninya.   Ini apa?   Kenapa gue harus merasakan sesuatu yang enggak enak kayak gini?   Kenapa harus gue?   Gue masih bisa tertawa, bisa berbicara, dan bisa menikmati makanan, tapi semua itu hanya terasa secepat membalikkan telapak tangan gue sendiri. Terkadang gue jadi pendiam dan suka merenung hingga tidak fokus sekitar, gue pernah hampir tertabrak ketika menyebrang dari kampus ke kos teman akibat gue terlalu larut dalam pikiran negatif tersebut, gue juga kemudian mulai tidak fokus mata pelajaran kuliah. Dosen gue sering menegur, tapi mirisnya tidak ada yang paham sama sekali dengan kondisi gue saat itu. Terkadang gue pulang dari kampus, entah itu naik mobil dan motor, gue bisa mengeluarkan air mata tanpa alasan. Di rumah juga jauh enggak berbeda, merenung dan terdiam di kamar tanpa melakukan apapun tanpa adanya orang yang bertanya ada apa.   Bahkan keluarga gue sama sekali tidak tahu, hanya satu sahabat saya yang benar - benar menemani saya di posisi tersebut. Saya bahkan sudah bolak - balik lebih dari 10 kali ke psikiater kampus, sang dosen yang menemani gue terus menerus merangkul dan berkata bahwa gue itu berharga. Berharga? Tanya gue dalam hati, semuanya tampak menganggap gue itu enggak penting, enggak bermanfaat sedikitpun, enggak menyenangkan, dan enggak akan diingat nanti jika gue mati sekalipun. Namun dosen tersebut terus merangkul dan berkata bahwa dia paham beban gue saat ini. * * * * *   to be continued * * * * *   By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD