Bab 1. Hutang Ibu
"Tidak, lepaskan!" teriak Husna saat dua orang lelaki bertubuh tegap dan bertato menarik kedua pergelangan tangannya.
"Ibu, tolong Husna, Bu!" teriaknya lagi sembari berusaha lepas dari pegangan dua orang lelaki bertato itu. Wanita paruh baya yang dipanggil ibu hanya bisa menangis pasrah saat anak gadisnya dibawa paksa oleh dua anak buah Jarwo, rentenir berdarah dingin di kampungnya.
Kedua mata Husna telah basah oleh air mata. Gadis itu tidak menyangka kalau sang ibu tega membiarkan dirinya digunakan sebagai jaminan hutang kepada Jarwo.
"Juragan, tolong jangan bawa Husna! Beri saya waktu satu minggu lagi. Saya janji akan melunasi hutang saya." Akhirnya wanita paruh baya itu bersuara. Lelaki berkumis tebal yang berdiri sembari menghisap cerutu itu tertawa lebar mendengar permintaan wanita paruh baya itu.
"Heh, Maya. Elo sudah nunggak berapa bulan belom bayar, hmm? Ini sudah jatuh tempo dan gue sudah kasih elo waktu satu bulan, tapi tetap saja elo gak bisa bayar. Berapa kali elo minta waktu sama gue? Nyatanya elo kagak bisa bayar juga, kan? Sudahlah, biar anak perawan lo ini tinggal sama gue. Gue jamin hutang elo lunas. Elo gak perlu bayar sepeser pun," ucap lelaki yang tidak lain adalah Jarwo itu sembari tertawa lebar.
"Enggak, Bu. Husna gak mau ikut Juragan Jarwo." Kembali Husna menangis dan meronta. Namun, sang ibu lagi-lagi tidak bisa berbuat apa-apa. Terjerat hutang pada seorang rentenir seperti Jarwo membuat janda paruh baya itu harus merelakan anak gadisnya sebagai penebus hutang.
"Maafkan Ibu, Husna," ucap Maya akhirnya pasrah membuat Husna kembali menjerit ketakutan. Dua lelaki bertato pengawal Jarwo langsung memaksanya keluar rumah. Para tetangga hanya bisa diam tanpa mau ikut campur. Kebanyakan dari mereka tidak berani berurusan dengan Jarwo dan anak buahnya.
"Ibu! Tolong Husna, Bu!" Teriakan Husna masih terdengar membuat hati Maya tersayat. Saat dua lelaki bertato itu hendak memaksa Husna masuk ke mobil jeep hitam, seorang lelaki pengendara motor datang dan langsung menghadang dua lelaki bertato itu.
"Ada apa ini, Husna?" tanya lelaki itu setelah melepas helmnya.
"Mas Abi, tolong Husna, Mas. Ibu punya hutang banyak pada Juragan Jarwo dan mereka membawa Husna sebagai ganti pembayarannya. Husna gak mau ikut mereka, Mas. Tolong Husna," mohon Husna.
"Berapa hutang ibu saya?" tanya lelaki yang dipanggil Abi itu sembari mendekat ke arah Jarwo.
"Lima puluh juta. Elo punya uang, hmm," cibir Jarwo sembari menghembuskan asap cerutunya ke arah Abi, hingga lelaki itu terbatuk-batuk.
"Kasih saya waktu satu minggu untuk menyiapkan uangnya. Saya pasti bakal bayar," ucap Abi yakin.
"Gue kasih lo waktu tiga hari. Kalau dalam waktu tiga hari elo belum siapin itu duit, maka adek lo ini bakal jadi istri kelima gue, ngerti," ancam Jarwo lagi sembari menghembuskan asap cerutunya ke arah Abi.
"Baiklah, tiga hari lagi. Saya pasti bayar," balas Abi meyakinkan. Meskipun sebenarnya dia sendiri tidak tahu bakal dapet uang dari mana. Jarwo membuang cerutunya yang tinggal sedikit ke lantai, lalu menginjaknya. Lelaki berkumis tebal itu kemudian memberikan isyarat pada kedua anak buahnya untuk melepaskan Husna. Ketiganya kemudian masuk mobil jip hitam dan meninggalkan rumah Maya. Melihat putrinya terbebas, wanita paruh baya itu berlari memeluk Husna.
"Kamu gak papa, Husna?" tanya Abi setelah Maya melepas pelukan.
"Husna gak papa, Mas. Terima kasih, ya. Untung Mas Abi cepet datang. Kalau tidak, entah bagaimana nasib Husna."
"Ibu kenapa bisa terjerat hutang sama Juragan Jarwo, sih?" tanya Abi kesal. Ini sudah kesekian kali lelaki itu harus berurusan dengan rentenir karena hutang-hutang ibunya.
"Maafkan Ibu, Bi." Hanya itu jawaban Maya setiap kali sang putra bertanya tentang hutang-hutang yang menjeratnya.
"Abi harap ini yang terakhir kali Ibu berurusan dengan rentenir. Lain kali jika Ibu masih juga begini, Abi dan Husna akan pergi ninggalin Ibu. Abi gak peduli meskipun rentenir itu akan memenjarakan Ibu," ancam Abi membuat Maya takut.
"Iya, Bi. Ibu janji. Tapi dari mana kamu dapat uang sebanyak itu dalam waktu tiga hari?" tanya Maya ragu.
"Abi juga gak tahu, Bu. Tadi Abi dengar Kiai Ammar butuh sopir pribadi karena sopir yang lama lagi sakir. Abi sudah menawarkan diri untuk menggantikan sementara waktu. Doakan saja supaya Abi bisa diterima. Nanti Abi coba minta tolong pada beliau untuk meminjamkan uang," jawab Abi asal. Pemuda itu tidak ingin membuat ibu dan adiknya khawatir. Meskipun sebenarnya dia sendiri juga bingung, bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu tiga hari.
Suara dering telepon dari saku kemeja Abi menghentikan obrolan mereka. Nama Kiai Ammar terpampang di layar ponsel pemuda itu. Segera dia menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Assalamualaikum, Kiai. Ada apa, ya?" tanya pemuda yang memiliki nama lengkap Husni Abidzar itu setelah panggilan telepon tersambung
"Waalaikumsalam. Bi, setelah aku pikir-pikir, aku memutuskan untuk menerima kamu menjadi sopir pribadi di rumahku." Suara lelaki paruh baya dari seberang telepon membuat mimik wajah Abi berubah cerah
"Alhamdulillah. Terima kasih, Kiai. Kapan saya bisa mulai kerja?" tanya Abi senang. Pemuda itu sangat bersyukur karena akhirnya mendapatkan pekerjaan lagi setelah beberapa minggu menganggur. Sebelumnya, pemuda itu bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik garmen. Meskipun memiliki ijazah sarjana agama keluaran IAIN Yogyakarta tetapi Abi memilih kerja di pabrik karena lebih bisa di andalkan gajinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga daripada menjadi guru honorer di sekolah. Apalagi Abi adalah tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan. Namun, beberapa waktu terakhir karena pabriknya sedang ada pengurangan karyawan akhirnya Abi terkena PHK. Uang pesangon dari pabrik juga telah habis untuk makan mereka sehari-hari.
"Kamu bisa bekerja mulai hari ini. Tolong siang ini kamu ke rumah ambil mobil, lalu jemput putriku di Bandara."
"Oh, njih, Kiai. Saya segera berangkat sekarang," ucap Abi bersemangat. Pemuda itu kemudian berpamitan kepada ibu dan adiknya untuk mulai bekerja di rumah Kiai Amar sebagai sopir pribadi.
"Husna, jaga diri baik-baik, ya. Aku cari uang agar bisa melunasi hutang ibu, biar kamu tidak dijadikan istri kelima oleh juragan Jarwo," ucap Abi sebelum berangkat.
"Iya, Mas. Terima kasih. Semoga Allah memberikan rezeki yang banyak dan barokah," doa Husna.
"Aamiin. Jaga dirimu dan ibu baik-baik, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Abi, tunggu!" Ucapan Maya menghentikan langkah Abi. Pemuda itu menghentikan langkah lalu menoleh ke arah sang ibu.
"Maafkan Ibu, ya. Ibu janji tidak akan berhubungan dengan rentenir lagi."
"Iya, Bu. Doakan saja Abi bisa mendapatkan uangnya dalam waktu tiga hari," balas Abi. Meskipun tidak yakin akan mendapatkan uangnya, tetapi Abi hanya ingin ibu dan adiknya tenang.
"Aamiin."
***
Abi segera berdiri dari duduknya saat melihat seorang lelaki paruh baya berjenggot yang sudah putih sebagian muncul dari ruang tengah. Siang itu, setelah menerima telepon dari Kiai Ammar, Abi segera datang ke komplek Perumahan Puri Indah Permai tempat tinggal Kiai Ammar. Keduanya kemudian berjabat tangan dan berbincang basa-basi sebentar.
"Ini foto anak saya. Namanya Inara. Tolong kamu jemput di Bandara," ucap Kiai Ammar. Lelaki paruh baya yang juga seorang pemuka agama itu memberikan kunci mobil dan selembar foto kepada Abi.
"Di belakang foto itu ada nomor telepon putriku. Kalau kamu nanti belum ketemu sama dia, kamu telepon saja," lanjut lelaki paruh baya itu. Abi melihat sekilas foto yang diberikan Kiai Ammar kepadanya. Seorang gadis cantik berhijab sedang tersenyum terpampang dalam foto itu. Entah kenapa Abi seperti pernah melihatnya, tetapi gak tahu di mana.
"Ada yang mau kamu tanyakan, Bi?" tanya Kiai Ammar lagi.
"Tidak, Kiai. Saya berangkat dulu. Assalamualaikum," pamit Abi. Pemuda itu menjabat dan mencium punggung tangan Kiai Ammar dengan takzim, lalu bergegas pergi.
"Waalaikumsalam," balas Kiai Ammar sembari memandang Abidzar hingga keluar gerbang rumah mewahnya bersama mobil Toyota Alpard miliknya.
"Pemuda yang baik dan santun. Sepertinya aku tidak salah mencarikan sopir pribadi untuk Inara," batin Kiai Ammar. Sudut bibir lelaki paruh baya itu mengukir senyuman.
Sementara itu, Abi mengendarai mobil milik Kiai Ammar dengan kecepatan sedang menuju Bandara Adisucipto. Entah kenapa pikirannya gelisah setelah melihat foto Inara. Gadis yang begitu cantik dan elegant.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, Abi sampai di area Bandara Adisucipto. Setelah memarkirkan mobil, pemuda tampan itu berjalan menyusuri Bandara Adisucipto sembari mencari sosok Inara. Kedua sudut bibirnya melengkungkan senyuman saat melihat seorang gadis cantik dengan memakai dress dusty ungu dan jilbab lebar motif bunga sedang membawa koper ukuran sedang. Abi segera mendekat.
"Assalamualaikum. Mbak Inara putri Kiai Ammar, ya?" tanya Abi setelah mengikis jarak dengan gadis cantik yang wajahnya sesuai dengan foto yang diberikan Kiai Ammar. Entah kenapa jantung pemuda itu tiba-tiba berdebar bertalu-talu saat gadis bernama Inara itu memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Kamu sopir baru?" Bukannya menjawab salam, gadis itu malah bertanya ketus. Sungguh tutur katanya tidak sesuai dengan kecantikan wajahnya.
"I-iya, Mbak," jawab Abi gugup.
"Mbak, mbak, memang aku mbak kamu? Panggil Non!" titahnya tegas. Abi hanya mengangguk pelan.
"Nih, bawain kopernya!" titahnya lagi sembari menyerahkan koper pada Abi. Pemuda itu hanya menelan ludahnya yang terasa mengental di tenggorokan.
"Baik, Non. Mari ikut saya!" Abidzar melangkah sembari membawa koper Inara ke luar area Bandara diikuti Inara. Keduanya kemudian masuk ke mobil Toyota Alpard hitam dan meluncur menuju perumahan Puri Indah Permai.
Abidzar melirik Inara dari spion depan. "Mengapa sepertinya aku merasa pernah bertemu non Inara sebelumnya, ya?" batin Abi.