#10 Perasaan Yang Menyiksa

1064 Words
Sudah dua hari Vanie ijin untuk bekerja di rumah karena sibuk menata apartemen barunya. Matanya menyisir seluruh ruangan dan tersenyum puas. Apartemen yang memiliki dua kamar tidur itu kini tampak nyaman untuk ditinggali. Dia harus berterima kasih pada Putra yang telah membantunya mengisi seluruh perabotan yang entah bagaimana caranya pria itu sangat tahu selera Vanie. Lamunan Vanie dikejutkan oleh suara bel di pintu, dengan tergesa gesa ia mengintip dari lubang kecil yang tersedia untuk melihat tamu yang datang. Perlahan ia membuka pintu, hal yang pertama kali dilihat adalah sebuah vas berisi bunga mawar berwarna merah muda tergeletak di lantai depan pintu apartemen. Vanie mengambil kartu dan membacanya "Congratulation for your new home - Ardan". "Cih...dari mana dia tahu kalau aku tinggal disini?" gumamnya lalu mengangkat vas tersebut dan meletakkan di atas meja tamu. Sudah lebih dari seminggu semenjak pertemuan mereka di klub malam, Vanie belum mendengar kabar dari pria itu lagi. Surat perjanjian mereka pun hanya diantar oleh orang yang diutus Ardan. Dering ponsel Vanie mengagetkan dirinya yang tengah menimbang dimana vas bunga itu harus diletakkan. "Halo Tra" sapanya. "Van, ada kabar gembira nih. Proyek di Surabaya sudah deal, besok kita ke sana untuk survey sekalian tanda tangan kontrak." "Oh ya...bagus sekali Tra, pesawat jam berapa? "Pagi Van, jam sembilan. Besok aku jemput kamu jam enam pagi ok?" "Baiklah, kita menginap atau langsung pulang? "Ha ha ha ....nginap dong Van, biar tidak terlalu tergesa gesa kita stay disana dua hari. Gimana menurut kamu?" "Boleh saja Tra, sekalian kita wisata kuliner disana ya" "Siap deh...see you tomorrow" Pesawat mendarat dengan mulus di lapangan udara Juanda Surabaya. Putra membantu Vanie menurunkan kopernya sebelum miliknya lalu bersama keluar dari badan pesawat. Mereka telah ditunggu oleh supir yang diutus oleh Oscar, pemilik gedung yang akan mereka rancang seluruh interiornya. "Bapak dan Ibu, Pak Oscar berpesan agar bersiap pukul dua belas nanti untuk makan siang bersama." kata sang supir ketika selesai menurunkan kedua koper mereka. "Terima kasih Pak" ucap Putra "Kami akan bersiap" lanjutnya. "Van, kamarmu nomor 945. Aku 947 ya." Vanie mengangguk, "Ok Tra" sahut Vanie , kini mereka tengah di dalam lift menuju lantai sembilan. "Jam dua belas kurang aku jemput kamu ya. Istirahatlah dulu, sepertinya kamu kurang tidur." Vanie terkekeh. "Tahu dari mana kamu?" Putra mendekatkan wajah pada wanita itu lalu menyentuh dahinya dengan lembut. "Seperti dugaanmu, aku bisa membaca pikiranmu" Saat itu, ingin rasanya Putra mengutarakan perasaan hati yang telah dipendamnya selama ini. Setiap bersentuhan dengan Vanie, dia merasakan sengatan halus yang menggetarkan. Dan sangat menyiksa karena dia ingin lebih dari sekedar bersentuhan saja. Putra ingin memeluk, menciumnya, bahkan dia siap untuk menikahi wanita pujaannya ini. "Huhh..gawat kalau benar begitu Tra..." sahut Vanie sambil menepuk pipi sahabatnya dan keluar dari lift meninggalkan Putra termenung merasakan debar jantung yang semakin cepat. Putra tersenyum melihat Vanie yang baru saja membukakan pintu kamar untuknya. "Cantik nih...." pujinya. Sebenarnya setiap hari Putra ingin melontarkan berbagai pujian untuk perempuan yang telah mencuri hatinya itu, tetapi semua itu hanya dilakukannya dalam hati saja. "Gombal!" sahut Vanie, namun tak urung hatinya senang mendengar pujian itu. "Langsung jalan saja yuk, tidak enak jika Oscar yang nungguin kita Tra" Putra mengangguk, setuju dengan kalimat itu. Putra mempersilahkan Vanie untuk masuk ke dalam lift terlebih dahulu kemudian mengikutinya. Mereka menunggu hingga kotak besi itu membawa mereka ke lantai satu dimana lobby berada. Namun, ternyata lift harus berhenti di lantai tujuh dan ketika pintu terbuka, masuklah satu keluarga beserta kereta bayi yang cukup besar sehingga mendesak Vanie merapat ke belakang, bersandar pada tubuh sahabatnya. Harum rambut Vanie dan sentuhan tubuh mereka tentu saja menyiksa Putra, tak kuasa ia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Vanie layaknya sepasang kekasih. "Papi, Mami, kok kalian tidak pernah berpelukan seperti mereka sih?" tanya seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun sambil memperhatikan Putra dan Vanie. "Huss..anak kecil tidak boleh banyak komentar" tegur sang ayah. lalu meminta maaf pada Putra dan Vanie. Hati Putra tergelitik untuk menggoda wanitanya dan berbisik "Van, anak itu saja menyangka kita pacaran, hmmm...menurut kamu gimana?" Vanie menyikut perut Putra "Ih..malu maluin aja kamu Tra" lalu keluar mengikut yang lain karena pintu lift telah terbuka di lantai satu. "Pak Putra...Bu Stevanie" panggil Oscar begitu mereka terlihat, ternyata pria itu sedari tadi telah menunggu di lobby. Oscar, seorang pria berumur tiga puluh empat kelahiran asli Surabaya. Dia meneruskan usaha orang tuanya dalam bidang retail dan berkat tangan dingin yang dimiliki Oscar maka usaha itu kini tengah berkembang dengan pesat. "Panggil kami Putra dan Vanie saja, pak." ucap Vanie "Merasa tua jika dipanggil dengan embel embel bapak dan ibu" "Baiklah, kalau begitu kalian juga panggil saya Oscar saja. Biar kita lebih akrab." kata Oscar setuju dengan permintaan Vanie. "Kita langsung jalan saja ya, mobil saya sudah siap di lobby." Selama perjalanan kebanyakan Putralah yang bercakap cakap dengan Oscar, sementara Vanie yang duduk di bagian belakang hanya diam memperhatikan pemandangan kota Surabaya yang tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Mobil yang dikemudikan Oscar berhenti di halaman parkir sebuah restoran bergaya jawa. Mereka disambut oleh wanita berpakaian kebaya modern dan mengajak mereka masuk ke dalam sebuah ruangan VIP. "Wah.. Oscar, kita hanya bertiga saja kok, pakai booking ruang VIP segala nih." ujar Putra. "Oh. it's ok. Di dalam ada sekretarisku yang sedang mempersiapkan perjanjian kita, dan nanti akan menyusul partner bisnis aku. Dia spesial datang dari Amerika hanya ingin bertemu dengan kalian." Setelah selesai acara makan siang mereka, Oscar memerintahkan sekretarisnya untuk memberikan salinan kontrak pada Putra untuk dipelajari. Pria itu langsung menandatangi kemudian menyerahkannya pada Vanie, yang juga melakukan hal yang sama. "Good, mudah mudahan kerjasama kita akan lancar" ucap Oscar seraya bertepuk tangan. "Sebentar lagi partner saya akan tiba, dia ingin sekali berkenalan dengan kalian. Design yang dibuat oleh PT. Trideco Gemilang telah berhasil menarik perhatiannya diantara design dari perusahaan lain." "Saya permisi sebentar ke toilet." ucap Vanie kemudian diikuti Putra yang memiliki alasan yang sama. "Tra, kamu ikut ikutan saja sih" Vanie mencubit pinggang pria itu dengan gemas. "Takut kamu nyasar...nanti nangis lagi. Susah dieminnya" gurau Putra, perasaan hatinya sedang sangat baik karena telah memenangkan mega proyek ini dan ehem....telah berhasil memeluk wanitanya tadi di lift. Dirinya semakin yakin bahwa Vanie adalah belahan jiwanya. Putra telah memutuskan akan mengutarakan perasaannya dalam waktu dekat, dia harus memastikan terlebih dahulu apakah Vanie juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Putra membuka pintu geser ruang VIP lalu mempersilahkan Vanie untuk masuk terlebih dahulu. Dia tidak menyadari jika tetiba tubuh sahabatnya mendadak membeku. "ADAM!" seru Vanie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD