Ternyata Tuhan berpihak padanya, Ardan tersenyum lebar setelah menerima sebuah panggilan telepon melalui ponselnya. "Bagus, sekarang.....permainan dimulai. Jangan panggil aku Ardan jika perempuan itu tidak berlutut memohon padaku" ucapnya pada diri sendiri.
Putra merasakan keresahan pada sahabatnya, Putra melirik "Van, ada apa sih? Dari tadi selalu melihat ponselmu. Ada yang sedang kau tunggu?"
Vanie menatap Putra, "Gerry Tra...sejak semalam dia meninggalkan rumah dan tidak dapat dihubungi."
"Trus? Dia sudah dewasa, biarkan saja lah. Nanti juga pulang sendiri" jawab Putra sekedarnya, hatinya masih tidak terima dengan perlakuan tidak sopan kemarin.
"Gawat Tra, seperti dugaanku, uang itu digunakan untuk membayar hutang judi. Dan....ternyata papa bersikeras tidak mau memberikan uang itu."
Putra menutup layar laptop dan menatap Vanie dengan wajah serius. "Dia berhutang dengan siapa Van?"
Vanie menggeleng, "Aku tidak tahu Tra, makanya sedari tadi aku mencoba menghubungi dia, tapi ponselnya tidak aktif."
Belum sempat Putra menjawab, ponselnya berdering. Dahinya berkerut heran, "Ardan?" gumamnya setelah membaca notifikasi di ponsel.
"Selamat siang Pak Ardan" sapa Putra diikuti dengan tatapan tajam Vanie. Mendengar nama itu, hatinya berdebar dengan cepat.
"Vanie? Ya, dia sedang bersama saya. Boleh tahu keperluannya?"
"Sebentar saya tanyakan terlebih dahulu apakah dia bersedia berbicara dengan bapak" Kemudian Putra menutup pengeras suara di ponsel dan bertanya "Van, kamu mau bicara dengannya? Dia tidak mau kasih tahu keperluannya padaku"
Vanie berpikir, menimbang dan akhirnya memutuskan untuk menerimanya. Dia mengulurkan tangan menerima ponsel Putra lalu mendekatkan pada telinganya "Halo" sapanya.
Putra menunggu dengan sabar hingga Vanie memutuskan sambungan telepon dan mengembalikan ponsel padanya. "Ada apa Van?" tanyanya penasaran.
"Dia ingin bertemu, sore ini di klub 'Midnight' "
"Ngapain ngajak bertemu di tempat seperti itu?" Vanie mengangkat kedua bahunya "Dia hanya bilang, datang jika ingin menyelamatkan Gerry"
Putra menarik napas panjang, "Gerry...itu anak memang biang kerok." Vanie memaksakan untuk tersenyum "Aku akan mengantarmu Van. Tidak baik wanita kesana sendirian." Sekesal apapun pada Gerry, Putra tidak tega membiarkan Vanie bertemu dengan Ardan di tempat seperti itu.
Vanie membuka pintu mobil diikuti dengan Putra. Tepat pukul enam sore mereka telah tiba di klub Midnight sesuai instruksi Ardan.
Suasana masih sepi, hanya beberapa mobil terparkir di halaman gedung bernuansa hitam itu. "Tra, itu mobilnya Gerry"
Putra menggenggam tangan Vanie dan berbisik "Tenang, jangan tegang."
Langkah mereka terhenti ketika dihadang oleh seorang petugas bertubuh besar, "Maaf, klub baru buka pukul tujuh malam"
"Kami ingin bertemu dengan Pak Ardan" kata Putra.
"Ohh Pak Ardan, beliau telah menunggu didalam. Akan saya antar" lalu petugas itu berjalan mendahului mereka diikuti oleh Putra dan Vanie.
Di dalam ruangan yang minim sinar, mereka diantar melalui lorong dan berakhir pada sebuah ruangan besar dipenuhi dengan sofa besar bersekat.
"Silahkan tunggu disini, sebentar lagi Pak Ardan akan datang" perintah sang petugas lalu meninggalkan mereka.
"Tra, aku takut" cicit Vanie seraya merapatkan tubuhnya pada pria itu.
"Tenang, gini gini aku jago karate." gurau Putra.
"Kamu yah...masih sempat sempatnya becanda" Putra tersenyum, "Mencarikan suasana..."
"Ehem..." tetiba terdengar suara berat seorang pria diikuti dengan derap langkah. Putra dan Vanie berdiri, "Sore Pak Ardan" Putra menyapa pria itu dengan sopan.
"Panggil aku Ardan. Selamat sore Putra..." kemudian matanya beradu pandang dengan Vanie "Hello Stevanie Wijaya" Vanie hanya menganggukan kepalanya.
"Silahkan duduk" perintah Ardan lalu menjentikkan jarinya pada seorang pria yang sedari tadi berdiri mendampingi Ardan. Pria itu mengangguk lalu pergi meninggalkan mereka.
"Langsung saja, apa maksudmu meminta aku datang ke sini? Mana Gerry?" tanya Vanie tanpa basa basi lagi. Melihat Ardan yang memiliki wajah mirip dengan Adam membuat dirinya teringat perbuatan pria itu.
"Sabar...sebentar lagi kamu akan tahu" Vanie mendengus dan memutuskan pandangan mereka dengan berpura pura melihat sekeliling ruangan.
Dari kejauhan, terdengar suara langkah mendekat. "Gerry!" seru Vanie. Dia sangat kenal dengan suara langkah adiknya yang berbeda dengan orang normal lainnya.
Wanita itu berdiri, namun dicegah oleh Putra. "Tunggu disini Van." bisiknya. Mendengar saran sahabatnya, Vanie kembali duduk sambil memanjangkan leher menanti kehadiran Gerry.
"Kak Vanie?" akhrinya sosok yang ditunggu kini sudah berada di hadapannya.
Vanie memperhatikan kondisi adiknya, hanya ada sisa darah kering di sudut bibirnya, selebihnya pria itu terlihat sehat.
"Ngapain lo disini?" tanya Gerry.
"Buat nyelamatin lo!" sahut Putra geram.
"Memangnya papa kasih uang lima ratus jutanya?" Vanie menggeleng.
"b*****t memang, sudah tahu gua lagi kesusahan gini. Memangnya dengan hilang lima ratus juta bisa buat dia bangkrut?" umpat Gerry dengan tangan terkepal.
"Ehem..." Semua mata memandang Ardan yang sedari tadi diam mengamati mereka. "Jadi, gimana dengan hutang adikmu?"
Vanie sudah mengira kalimat akan menjadi topik pembicaraan sore ini. Dia telah menghitung jumlah tabungannya namun masih jauh dari cukup untuk melunasinya. "Kami akan cicil." sahutnya.
"Maaf, kami bukan bank yang menerima cicilan." jawab Ardan tekekeh. "Jika tidak bisa membayar hari ini, maka terpaksa kaki kanan adikmu akan hilang satu." lanjutnya.
"Kami akan lapor pada polisi jika hal itu sampai terjadi" sahut Vanie dengan mata membelak.
"Cih...silahkan. Tanyakan pada adikmu, apakah dia bersedia menjadi saksi di pengadilan"
"Ka, masa lo gak punya sih lima ratus juga?"
"Aku bisa membayarkannya, tapi butuh waktu." celetuk Putra.
"Tidak! Aku tidak bisa menerima bantuan kamu Tra. Ini urusan keluarga kami." tolak Vanie lalu menatap Ardan dengan tajam "Apakah ada cara lain?"
"Pintar sekali. Aku ingin menawarkan sebuah perjanjian padamu. Jika kamu setuju, bukan hanya adikmu saja yang bebas, tetapi seluruh hutangnya akan kuanggap lunas."
"Penawaran seperti apa?"
"Penawaran jangka panjang, setahun lamanya"
"Maksudmu?"
"Mulai dari sekarang, selama setahun kamu harus bersedia menemaniku"
"Gila!"
"Ardan! Kau pikir Vanie w************n yang dapat kau beli seenaknya hah!" Seru Putra seraya menggebrak meja yang berada di hadapannya.
"Kalian salah paham, aku tidak minta dia tidur denganku. Aku hanya minta dia menemaniku. Tolong dibedakan dan jangan salah persepsi."
Vanie menyentuh lengan Putra dan meminta sahabatnya untuk kembali duduk dan tenang. "Baiklah, aku akan turuti tetapi ada beberapa syarat dariku"
"Van, kamu masuk ke dalam perangkapnya. Aku bisa meminta uang pada orang tuaku ..."
"Tidak Tra, biarkan aku bertanggung jawab atas kekacauan yang diperbuatnya." Lalu dia menatap tajam pada adiknya, "Ger, jangan bilang kalau aku bukan kakak yang tidak sayang pada adiknya. Bantuan ini adalah yang terakhir kulakukan untuk lo. Jika lo mengulanginya lagi, gua angkat tangan."
Gerry mendengus, hatinya tesentuh dengan pengorbanan Vanie tetapi dia malu untuk mengakuinya. Pria itu mengangguk, "Ok" jawabnya singkat.
"Baiklah, Ardan. Syarat pertama, tidak bersentuhan secara intim. Kedua, hal yang kau minta tidak boleh melanggar hukum di seluruh dunia, Ketiga, saling menghormati satu sama lain. Jika kamu melanggar satu dari ketiga persyaratan itu maka perjanjian ini batal."
Tanpa pikir panjang Ardan menyetujuinya "Fine with me" lalu ia mengulurkan tangan untuk berjabatan. "Semua harus tertulis, aku tidak mempercayaimu" Pria itu menarik kembali tangannya lalu melambai pada pria yang selalu berada di dekatnya.
"Kamu dengar ini semua? Hubungi pengacaraku untuk segera membuat perjanjiannya."
"Gimana Stevanie? Ada lagi yang hendak ditambahkan?" tantang Ardan.
"Sudah cukup bagiku, sekarang apakah kami sudah dapat meninggalkan tempat ini?" mata Vanie menyipit.
"Baiklah, silahkan mengajak adik tersayang untuk pulang."
Vanie berdiri dan menunggu Gerry untuk jalan terlebih dahulu sebelum dirinya dan Putra. Dia sadar, sedetik yang lalu dirinya telah terikat pada sebuah perjanjian kotor dengan Ardan. Namun, dia meyakinkan dirinya sendiri "Setahun, hanya setahun Van...setelah itu kamu bebas".
"Gerry, itu mobilmu bukan?" tanya Vanie menunjuk sebuah mobil sport berwarna putih yang sangat dikenalinya.
"Yes"
"Ok, sekali lagi aku tegaskan padamu. Bantuan ini adalah untuk yang terakhir kalinya. Jika dikemudian hari kamu mengalami masalah jangan cari aku lagi. Tugasku sebagai kakak sudah cukup. Kuharap kejadian ini membuat lo sadar." ucapnya dengan tegas.
"Huhh...tenang saja." Gerry berkata dengan santai, dia tidak merasa jika hari ini telah menyerahkan kakaknya masuk ke sarang penyamun. Dengan menyeret kaki kanannya, dia melangkah menuju mobil lalu melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Sedari tadi Putra tidak berkomentar, dia menunggu Vanie di dalam mobilnya dengan hati tidak senang. Ingin rasanya memarahi Vanie, tetapi dia tahu batas. Dirinya bukan siapa siapa bagi perempuan itu, hanya sebatas teman.
"Tra" panggil Vanie memecah keheningan setelah hampir lima belas menit lamanya mereka saling diam.
"Hmm"
"Kamu marah denganku?" tanya Vanie hati hati.
"Untuk apa aku marah?" dengus Putra.
"Aku harap setelah mendengar penjelasanku ini kamu akan mengerti." Vanie menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Papa sudah memberikan ultimatum untuk tidak mau lagi membantu Gerry jika alasannya adalah judi atau hal buruk lainnya. Artinya, riwayat hidup anak itu tamat sampai disini saja jika aku tidak memberikan kesempatan padanya untuk berubah. Sebagai kakak, aku punya tanggung jawab untuk membantunya. Harapanku, dengan kejadian ini dia kapok dan kembali ke jalan yang benar."
"Tapi Van, kamu telah jatuh dalam perangkapnya."
"Aku tahu Tra, aku berjanji akan menjaga diriku. Dan, kuharap perjanjian itu hanya kita saja yang tahu."
"Kamu tahu kan kalau aku bisa memberikan uang itu."
"Ya, tapi kamu juga harus mengerti. Semua ini adalah masalah keluargaku, bukan kamu Tra. Aku tidak mungkin menyeret kamu masuk dalam lingkaran itu." Vanie berusaha meyakinkan Putra bahwa keputusan yang baru saja diambilnya adalah yang terbaik bagi mereka.
"Kamu selalu begitu Van, selalu menganggap aku orang luar." sahut Putra dengan ketus lalu menekan pedal gas dalam dalam sehingga mobil melesat dengan kecepatan tinggi.