#8 Seranjang Berdua

1346 Words
Ardan mengamati sebuah gedung dengan dekorasi mewah bernuansa hitam emas sambil berdecak kagum. "Hebat juga si Ronald menyulap gedung tua menjadi berkelas seperti ini" gumamnya. "Pak Ardan, silahkan" ucap seorang pria bertubuh tinggi dan kekar sembari membungkuk memberi hormat pada tamu VVIP. Ardan melewati barisan tamu yang sedang mengantri untuk masuk ke dalam klub malam "MIDNIGHT". Penampilannya yang santai tetap membuat para wanita memandanginya tak berkedip. Kharisma yang dimiliki Ardan sangat berbeda dengan kakak kembarnya, mungkin dikarenakan Ardan sejak muda telah terjun dalam dunia hitam sehingga dia memiliki tatapan mata tajam dan mengintimidasi lawan bicara, namun Ardan dapat berubah menjadi seekor kelinci yang lembut jika berhadapan dengan wanita. Sudah puluhan wanita yang menemaninya tidur tetapi harapan untuk dapat menyandang predikat Nyonya Ardan bagaikan mimpi di siang bolong. Sebab bagi Ardan menikah bearti mengubur diri hidup hidup. "Sialan! Tugas lo nurutin gua! Ngerti gak! Gua udah bayar mahal jadi terserah gua mau ngapain" cacian yang pedas terdengar oleh Ardan. Langkahnya berhenti dan mengamati apa yang sedang terjadi, hatinya terusik mendengar kalimat tidak sopan yang keluar dari mulut pria berbusana necis di tempat umum seperti ini. "Maaf pak, Desy sedang tidak enak badan jadi malam ini tidak bisa melayani pelanggan." ucap seorang wanita berpakaian minim dengan hiasan wajah tebal. "Gua engga mau tau! Lo kan sudah terima uang gua, jadi malam ini dia harus ikut dong" sang pria masih tetap bersikukuh dengan keinginannya. "Kami akan kembalikan uang bapak gimana?" tawar wanita itu memberikan solusi bagi mereka. "Lo harus kembalikan dua kali lipat. Mau?" "Jangan pak, saya harus nombok dong. Mana punya uang segitu banyak pak" "Ya sudah, Desy harus temani saya malam ini" seringai pria itu tanpa belas kasihan. Sementara wanita bernama Desy hanya tertunduk tak berdaya, pasrah dengan keputusan atasannya. "Sebentar pak, saya bicara dulu dengan Desy" wanita itu menarik tangan Desy menjauhi meja tersebut. "Silahkan Pak Ardan, sudah ditunggu bos di ruangan VVIP" pria bertubuh tegap mengingatkan Ardan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Ardan melangkah menjauhi keributan, dia akan menanyakan beberapa pertanyaan pada Ronald, pemilik klub sekaligus partnernya. "Ahaaa....akhirnya lo datang juga ke sini." sambut Ronald dengan tangan terbuka lebar lalu memberikan pelukan pada sahabatnya. "Hmm...hebat, tempat ini dalam beberapa bulan sudah ramai pengunjung. Gua kasih jempol buat lo Ron" puji Ardan. Hidung Ronald kembang kempis mendengar pujian keluar dari bibir seorang Ardan. "Berkat lo Dan..kalau bukan bantuan lo mana bisa gua buka klub di sini." Ardan mendengus, "Gua akan jaga tempat ini asal lo bisa keep it clean. No drugs!" "Santai bro! Bersih!" Ronald mempersilahkan Ardan untuk duduk di sofa dan kemudian memerintahkan pengawal yang tadi mengantar Ardan untuk membawakan minuman beralkohol. "Ron, diluar ada pria yang sedang bertengkar. Lo tau siapa dia? Songong sekali gayanya" tanya Ardan dengan tatapan khas seorang mafia, mengintimidasi. "Huh...itu, pelanggan kelas kakap, dia hampir tiap malam dia kesini. Biasa, minum dan gonta ganti pasangan." jawab Ronald. "Sering berbuat ulah disini?" "Biasalah bro, disini kan banyak yang mabuk jadi kadang mereka out of control" Ardan mengangguk, dia mengerti situasi sebuah klub malam. "Bisnis kita yang satu lagi gimana Ron?" "Casino?" Ardan mengangguk. "Fine, tapi ada satu kasus yang sudah menggantung selama dua hari. Pria yang lo bilang lagi ribut tadi, kemarin dia kalah banyak dan berhutang empat ratus juta lebih." Ardan mengerutkan dahi. "Banyak sekali." Ronald mengangguk, "Tapi jangan khawatir, dia adalah putra dari konglomerat Surya Wijaya." "Surya Wijaya? Siapa nama putranya?" "Gerry Wijaya, lo kenal?" Ardan tersenyum tipis. "Dunia memang sempit Ron....sangat sempit" "Maksud lo Dan?" "Hmm..kapan jatuh tempo hutangnya?" "Besok" "Panggil gua kalau dia telat bayar." perintah Ardan. Sebuah rencana telah tersusun dalam benaknya, yang pasti melibatkan wanita bernama Stevanie Wijaya. Tidak ada yang dapat lolos dari pengamatan Ardan. Kaki tangannya tersebar di seluruh dunia, siap menunggu perintah pria itu. Terlebih jika menyangkut masalah pribadinya, seperti sekarang. Stevanie Wijaya, wanita yang sudah diincar oleh Ardan tidak menyadari bahwa dirinya sudah dijadikan target. Setiap gerak geriknya dipantau dan dilaporkan pada Ardan. Dengan geram Ardan menggebrak meja setelah mendengar informasi dari orang kepercayaannya bahwa semalam perempuan itu menginap di apartemen Putra. "Dasar w************n, gampang sekali tidur dengan pria lain. Huh.. kasihan si Adam kalau jadi menikah dengannya." ucap Ardan dengan sinis. "Tra, bantuin aku cari apartemen dong." pinta Vanie. "Disini gimana? Kan aku punya extra kamar, kamu bisa tidur disana. Gratis deh, sampai uang kamu cukup untuk membelinya." jawab Putra dengan mata terpejam dan tubuh meringkuk di bawah selimut. Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak karena sebentar sebentar dirinya terbangun dan memandangi anugerah Tuhan dalam diri Vanie. "Jangan ah, ganggu privasi kamu Tra. Sewa saja lah. Lagian aku juga harus minta ijin papa terlebih dahulu." sahutnya dari dalam toilet. Pembahasan mengenai hal itu pun terhenti, Putra melanjutkan tidurnya sementara Vanie di dalam kamar mandi, bersiap untuk berangkat. Hari ini dia akan menemui Surya, mengutarakan keinginannya untuk mandiri dengan tinggal terpisah dengan mereka. Hatinya tidak tenang tinggal bersama dengan Putra. Bukannya dia tidak percaya dengan sahabatnya itu, tetapi tetap saja mereka berlain jenis kelamin dan Vanie selalu teringat nasihat Surya agar menjaga tubuhnya hingga menikah. Surya menatap putrinya lekat lekat, sudah mengira maksud kedatangannya. Semalam dia melihat putrinya keluar dari kamar dengan menggeret sebuah koper kecil, namun karena dirinya tengah emosi maka Surya membiarkan Vanie meninggalkan rumah. "Kamu yakin Van? Disini tidak seperti New York loh. Sudah punya rencana akan tinggal dimana?" tanya Surya. "Tinggal sendiri di New York saja bisa pa, masa di Jakarta, kota kelahiran Vanie tidak bisa?" "Di sana kan ada Anna yang membantu dan menemanimu." "Di Jakarta kan masih ada papa dan mama. Aku hanya pindah saja pa, tidak kemana mana kok" "Sudah tahu mau tinggal dimana?" Vanie menggeleng. "Kalau begitu tinggal di apartemen yang di Sudriman saja, kantor kamu di daerah sana kan?" "Apartemen yang mana pa?" tanya Vanie bingung. Surya menggelengkan kepala, "Kamu tidak pernah mau tahu aset yang papa miliki sih." Vanie hanya tersenyum, memang selama ini dia tidak terlalu memusingkan harta kekayaan Surya karena menurutnya semua itu bukan urusannya. "Papa membeli sebuah apartemen atas namamu beberapa tahun lalu. Dan kalau tidak salah bulan lalu baru saja dikosongkan oleh penghuni yang menyewanya." "Jadi apartemen itu milik Vanie pa?" tanyanya memastikan sekali lagi. "Benar, selain itu masih banyak aset papa yang akan menjadi milikmu Van. Nanti setelah kamu siap akan papa beritahukan" "Wah...terima kasih pa, sekarang Vanie tidak perlu pusing lagi menyewa apartemen" "Kamu putri papa satu satunya masa sewa sih? Semua harta papa nanti akan menjadi milik kalian Van." "Vanie mengerti pa, kita bahas lain kali saja ya. Sekarang, kunci apartemennya dipegang siapa?" "Nanti sekretaris papa yang akan memberikannya padamu setelah membersihkannya." "Baiklah, Vanie pamit dulu pa, mau ke kantor" ucapnya seraya membangunkan dirinya. "Van..kamu tahu masalah yang diributkan semalam?" Mendengar Surya mengungkit adu mulut semalam Vanie mengurungkan niatnya untuk berdiri. "Tahu, si Gerry minta uang sama mama kan?" "Tahu berapa yang dia minta?" "Lima ratus juta, kalau tidak salah dengar pa" "Ya, benar! Lima ratus juta dan harus diberikan hari ini. Sudah gila adikmu itu. Dan dituruti pula oleh mama. Papa tidak habis pikir, mau jadi apa Gerry nanti." Tatapan pria itu menerawang, tergambar kekecewaan pada wajahnya yang sudah tidak muda lagi. "Van, harapan papa hanya kamu yang meneruskan usaha ini. Jika jatuh ke tangan Gerry, dijamin dalam beberapa tahun semua usaha yang papa bangun selama ini akan habis." "Pa, bukankah Gerry bilang uang itu akan diinvestasikan?" Surya tersenyum sinis. "Mana mungkin Van. Dunia runtuh jika hal itu benar terjadi. Setelah didesak kemarin, dia baru mengakui kalau uang itu untuk membayar hutangnya pada casino." Vanie terbelalak kaget. "Judi?" Surya mengangguk, emosinya naik mengingat kejadian semalam. "Papa sudah melarang mama untuk memberikannya. Biar dia jera." desisnya dengan geram. "Lantas, gimana respon Gerry pa?" "Dari semalam dia meninggalkan rumah dan belum kembali. Anak itu harus diberikan pelajaran agar insaf" Vanie tidak menjawab, dalam hatinya dia khawatir sebab reternir di casino tidak main main dengan ancaman mereka. Namun keresahannya tidak diutarakan, takut Surya semakin murka. Seburuk buruknya sikap Gerry, biar bagaimanapun dia adalah adik kandung Vanie. Dan sebagai seorang kakak, dirinya bertanggung jawab atas keselamatan adiknya. Sehingga setelah meninggalkan kantor Surya, Vanie berusaha menghubungi Gerry namun tidak berhasil. Ponselnya tidak aktif. "Dimana dia ya?" batin Vanie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD