#6 Gerry

1168 Words
Gerry kecil bersusah payah menyeret kakinya menjauhi segerombolan anak sebaya yang sudah siap ingin merudungnya. Hampir setiap hari, Gerry selalu menjadi sasaran empuk teman sekolah karena dirinya tidak sama dengan mereka. Anita, mamanya berulang kali meminta Surya agar Gerry bersekolah di rumah saja untuk menghindari perudungan, tetapi suaminya tidak setuju. Pria itu ingin Gerry dapat tumbuh seperti anak anak sebayanya. "Hei! Si pincang tuh datang." seru seorang anak kecil yang bertubuh gemuk, diikuti gelak tawa teman temannya. Sementara itu, Anita selalu mengingatkan Gerry untuk menghindari anak anak nakal itu dan memutar arah agar tidak melewati mereka. Tetapi gerombolan anak nakal itu malah kini berlari menghampiri Gerry dan merebut tas yang disandangnya lalu melempar sembarang arah. "Tidak perlu tas ini! Kalau cacat lebih baik sembunyi di rumah, jangan ke sekolah kami. Bikin malu saja!" "Benar! Benar" "Huhhhh....pergi sana! Jangan masuk sekolah lagi! Kami malu punya teman pincang seperti kamu!" Terseok seok Gerry memungut beberapa barang yang terlempar keluar dari dalam tasnya dan bersusah payah menyeret kakinya meninggalkan mereka. Air matanya telah deras membasahi pipinya, Gerry yang masih berumur sepuluh tahun itu harus merasakan hinaan atas ketidaksempurnaan tubuhnya dan tidak berdaya membela diri. Setiap napas yang ditarik oleh Gerry merupakan beban baginya. Sejak kecil hingga sekarang berumur dua puluh dia tidak merasakan kebahagiaan menjadi remaja seperti teman teman sebayanya. Kenangan pahit masa kecil hingga remaja selalu berkelibat dalam pikirannya sehingga ia membutuhkan bantuan terapis untuk menenangkan jiwanya. Tidak seperti kakaknya yang tumbuh menjadi wanita cantik dan disukai teman teman sekolah, Gerry harus diam di rumah menunggu guru privat datang mengajarinya belajar. Surya akhirnya menyerah dan memberikan ijin bagi putranya untuk bersekolah di rumah sejak pria itu menginjak kelas delapan. Dia berubah pikiran ketika Gerry kembali ke rumah dengan wajah babak belur setelah berkelahi dengan temannya karena tidak terima dirinya dipanggil "Si pincang" Kebenciannya pada kehidupan membawa Gerry pada dunia malam yang penuh germerlap. Dengan uang dia membeli teman dan wanita yang bersedia menemaninya minum dan bercinta. Bagi Gerry uang tidak menjadi masalah karena Anita begitu memanjakan dirinya dengan memberikan seluruh permintaan putranya demi menebus rasa bersalah karena usahanya menggugurkan Gerry sewaktu masih dalam kandungan yang berdampak pada pertumbuhan anak itu. "Ma, aku minta uang dong" Anita yang sedang menghias wajahnya menoleh. "Kemarin baru mama kasih sepuluh juta, memang sudah habis Ger?" putranya menyeringai, baginya uang sepuluh juta sekejap mata habis di meja judi. "Cuma segitu mana cukup ma. Gerry butuh lima ratus juta sekarang. Temanku mengajak kerjasama membuka night club, dan dalam setahun bisa mendapat keuntungan lima kali lipat." "Mana ada bisnis yang bisa merauk untung segitu cepat Ger?" tanya Anita dengan curiga, dia tahu kemana habisnya semua uang yang diberikan untuk Gerry. "Jadi mama mau kasih atau tidak sekarang? Cerewet sekali" gerutunya. Anita menarik napas panjang, memandang Gerry dengan susah payah menyeret kakinya meninggalkan kamarnya. Penyesalan tak berujung menghantui dirinya entah sampai kapan. "Baiklah..." ucap Anita menyerah, "Tapi mama butuh waktu, lusa kamu baru bisa mendapatkan uang itu" Gerry menyeringai, dia tahu benar kelemahan mamanya. "Besok ma, aku butuh besok" desaknya. "Mama usahakan, tidak janji. Papa pasti akan curiga jika mama ambil uang sebanyak itu dari bank" Gerry menaikkan bahunya tidak peduli, baginya Surya hanya dianggap sebagai sebuah mesin ATM saja. Dia membenci pria yang telah memaksa dirinya menjalani masa kanak kanak bagai di neraka. "Pokoknya besok paling telat ma!" teriak Gerry dari depan pintu kamar Anita. "Hei! ini rumah, bukan hutan. Bicara dengan orang tua yang sopan Ger!" tegur Vanie yang kebetulan baru pulang. "Berisik! Gaya lo udah seperti nyonya rumah saja." "Gerry! Lo kenapa sih? Setiap ketemu gua selalu saja nyari ribut. Memangnya gua salah apa sampai lo benci gua hah?" "Huh! Tanya mama, siapa yang salah sampai gua harus hidup seperti ini. Yang pasti bukan gua!" lalu membanting pintu kamarnya. "Sudah...sudah Van, jangan bertengkar dengan adikmu. Mengalahlah padanya" pinta Anita memelas. "Ma, Vanie sudah mengalah sejak dia lahir dan aku tidak keberatan. Tetapi, dia harus diajarkan untuk bersyukur. Masih banyak orang yang lebih menderita dibandingkan dengannya. Dan, yang satu lagi ma.....Gerry terlalu dimanja sehingga ngelunjak. Sekarang dia tidak lagi menghormati kalian sebagai orang tuanya." Vanie menghentakkan kakinya geram, dia kesal dengan Anita yang tidak tegas mendidik Gerry sehingga pria itu tumbuh menjadi seperti sekarang. Anita tidak membalas kalimat Vanie, semua yang dikatakan putrinya benar adanya. Dia terlalu memanjakan Gerry sehingga putranya sekarang bertingkah dan besar kepala. Tetapi, rasa penyesalan yang menggerogoti perasaannya menutup mata dan telinga Anita. Masih terngiang dalam telinganya ejekan teman sekolah Gerry yang memanggil putranya "Si pincang" dan tangisan Gerry yang meraung meminta pertolongan padanya. "Biarkan Van, mama bersalah padanya yang penting dia senang" Vanie mendengus kesal, kalimat itu sudah sangat dihafalnya karena setiap kali mereka bertengkar pasti Anita mengucapkan kalimat yang sama. "Terserah mama, Vanie hanya mengingatkan saja." ucapnya lalu meninggalkan Anita dan masuk ke dalam kamarnya. Baginya urusan Gerry sudah dihapus dari tanggung jawabnya sebagai kakak ketika adiknya menodongkan pistol tiga tahun yang lalu tepat pada dahinya. Pada saat itu, entah adiknya datang dari mana tiba tiba masuk ke dalam kamarnya dan mengacungkan pistol serta berteriak seperti orang kesurupan. "b*****t! Beraninya lo minta papa merubah surat wasiatnya hah!" "Apaan sih Ger! Gak ada angin gak ada hujan lo masuk bawa pistol segala. Turunin gak!" "Sialan! Lo masih belum puas dengan kesempurnaan diri lo? Masih mau buat gua sengsara dengan mengambil semua harta papa?" "Harta apaan? Surat wasiat apaan? Gua enggak ngerti sama semua kalimat lo Ger!" Gerry sudah kehilangan akal, dia menempelkan pistol pada dahi Vanie dan menekan pelatuknya "Lebih mudah kalau lo mati!" desisnya tanpa memandang siapa yang dihadapannya lagi. "GERRY! Turunkan senjatamu!" hardikan Surya mengejutkan sekaligus menyelamatkan Vanie. Melihat ada kesempatan untuk melepaskan diri dari adiknya, Vanie segera berlari menghambur pada papanya dan bersembunyi di balik tubuh tegap pria itu. "Sudah gila kamu hah! Turunkan senjata itu dan letakkan di lantai. Papa akan menganggap hal ini selesai sampai disini" ancam pria itu. Suaranya cukup menciutkan nyali putranya yang baru berumur belasan tahun itu. Gerry menurut perintah Surya dan perlahan meletakkan pistol di lantai. "Baiklah, papa harap tidak ada lagi peristiwa seperti ini. Kamu mengerti Gerry? Jika sampai terjadi maka papa tidak segan menarik seluruh fasilitas yang kamu gunakan dan silahkan angkat kaki dari rumah ini. PAHAM?" Gerry menunduk lesu "Paham pa" ucapnya, dia sadar bahwa belum saatnya dia melawan Surya. Dirinya masih membutuhkan uang untuk memenuhi gaya hidupnya. Lamunan Vanie buyar ketika Putra menghubunginya dan mengatakan kalau dirinya sudah sampai. "Van. aku mampir atau kita langsung jalan?" "Duh.. sorry. Aku belum siap nih. Kamu masuk dulu saja Tra. Tunggu di ruang tamu ya." Putra tersenyum tipis mendengar permintaan Vanie. Sudah lama dia tidak merasakan desir debaran jantungnya ketika menanti waktu berkencan dengan seorang wanita. "Huf.. siapa kamu" tegur Gerry ketika melihat pria asing sedang duduk di ruang tamunya. Putra berdiri dan menghampiri Gerry, "Kamu pasti adiknya Vanie, kenalin, aku Putra" ucapnya seraya mengulurkan tangan untuk berjabatan. Gerry hanya menganggukan kepala, lalu mendengus pergi meninggalkan Putra begitu saja. Dalam hati dia dongkol melihat betapa sempurna tubuh teman kakaknya, rasa iri memenuhi hatinya sehingga dia telah membenci Putra bahkan sebelum mengenalnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD