#5 Kehancuran Sebuah Keluarga

1116 Words
Kepergian Ardan sangat disyukuri Vanie, dengan napas lega ia mengendarai mobilnya kembali ke rumah. Jika rumahnya dapat disebut demikian. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dimana seharusnya setiap manusia normal sudah dalam tahap beristirahat bahkan mungkin mereka sudah terlelap. Samar samar suara percekcokan kedua orang tuanya terdengar dari sela pintu kamar mereka yang belum tertutup sempurna. "Siapa perempuan yang kau bawa ke Jepang kemarin hah?!" "Bukan urusanmu!" "Sepanjang status kita masih suami istri tentu saja itu masih urusanku" "Jangan memulai perperangan malam ini, atau.." "Apa! atau apa Surya? Kamu mau menceraikanku? Siapa takut! Jangan cuma di bibir saja ancamanmu, buktikan kalau kau berani" Pertengkararan yang selalu berakhir dengan kalimat cerai sudah terlalu sering didengar Vanie sehingga tidak membuatnya terkejut lagi. Dengan santai ia melewati kamar mereka menuju ke kamarnya. Baru saja hendak membuka pintu Surya menegurnya "Baru pulang?" tanyanya lalu menghampiri Vanie. "Ya, seperti yang papa lihat" sahutnya dengan malas. "Boleh papa bicara denganmu Van?" Bukannya menjawab, Vanie melanjutkan langkahnya dan membiarkan pintu kamar terbuka, mengisyaratkan kalau dirinya bersedia memenuhi permintaan Surya. Pria berambut coklat itu masuk mengikuti Vanie, lalu menghempaskan tubuhnya pada sofa dan menarik napas panjang. "Hmm.. apa yang mau dibicarakan pa?" "Duduklah, sudah lama kita tidak ngobrol" pinta Surya. Vanie pun menurut dan duduk di sofa seberang papanya. "Gimana perusahaan yang baru saja kamu join itu?" "Baik, sudah cukup banyak penambahan pelanggan. Dan Vanie jadi bisa menerapkan ilmu yang didapat semasa kuliah" Surya mengangguk, sejak kecil hingga dewasa Vanie tidak pernah mengecewakannya mengenai urusan akademik, nilai yang diraihnya selalu tinggi tidak seperti adiknya yang selalu saja berulah. "Apakah perlu suntikan dana lagi?" Vanie menggeleng, "Untuk saat ini cukup pa." "Van...hmm" Surya menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Bagaimana pendapatmu jika kami bercerai?" tanya Surya dengan perasaan was was. Vanie menyipitkan kedua kelopak mata serta mengreyitkan dahi, berpikir sejenak sebelum memberikan jawabannya "Aku tidak masalah, toh yang menjalani kalian berdua. Vanie dan Gerry bukan anak kecil lagi, aku rasa kami dapat menerimanya" Surya tersenyum, memang benar apa yang diucapkan putrinya. "Papa senang dengan jawabanmu, kamu sudah dewasa dan siap mengarungi kehidupanmu sendiri. Sekian tahun papa menunda keputusan ini hingga kalian siap, dan sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat." "Pa, apakah benar ada wanita lain?" Vanie memberanikan diri untuk bertanya mengenai kebenaran berita yang didengarnya. "Nanti pada saatnya kamu akan tahu, sekarang bukanlah waktu yang tepat." jawab Surya. Vanie mengangkat kedua bahunya, jika memang cinta sudah pudar diantara mereka maka lebih baik berpisah dari pada sisa hidup mereka dihabiskan dengan ketidak bahagiaan. "Van, papa berpesan padamu agar selalu perjuangkan apa pun yang akan membuatmu bahagia, atau hanya penyesalan yang akan kau rasakan selama sisa hidupmu" Sebuah kalimat yang penuh makna bagi Surya, pencerminan dari kehidupannya. Dulu ia melepaskan cinta sejatinya demi memenuhi keinginan kedua orang tuanya dan beginilah nasib pernikahannya sekarang. Bercermin dari pengalaman orang tuanya dan kandasnya mimpi Vanie untuk menjadi pendamping Adam menjadikan perempuan itu membulatkan tekat untuk menepis dan membuang jauh kehidupan percintaannya. "Hidup tanpa pria akan membuat diriku lebih bebas berekspresi" ucap Vanie pada dirinya sendiri. Sudah seminggu dilewati Vanie dengan tenang, tidak ada gangguan lagi dari pria bernama Ardan. Dia akhirnya dapat kembali fokus pada pekerjaannya bersama dengan sahabatnya, Putra. Hari ini mereka akan bertemu seorang customer yang telah berulang kali menggunakan jasa mereka, hari ini sang customer ingin membicarakan proyek baru mereka. "Van..." panggil Putra sambil menoleh kesamping, menatap Vanie sekilas lalu kembali fokus pada jalanan dihadapannya. "Hmm" sahut Vanie sekedarnya. "Aku perhatikan belakangan ini kamu terlihat tidak bersemangat. Ada hal apa yang mengganggu pikiranmu? Hmm...mungkin bisa share ke aku, siapa tahu bisa kubantu" "Hmmm..." sahutnya lagi. "Van..." desak Putra, dia sangat tidak nyaman dengan jawaban Vanie. "Apaan sih...kamu merengek seperti anak kecil saja" jawabnya dengan gusar. Mendengar nada bicara Vanie yang kurang bersahabat, Putra hanya berdiam diri dan menunggu saat yang tepat untuk membujuknya. Pertemuan berjalan dengan lancar dan sepertinya mereka akan mendapatkan pekerjaan yang cukup besar dari customer tersebut. Sebuah gedung perkantoran baru akan dibangun di Surabaya dan mereka dipercaya untuk mendesain seluruh interiornya. Suatu terobosan bagi PT. Trideco Gemilang untuk membuktikan kemampuan mereka. "Van, aku serius dengan pertanyaanku di mobil tadi" kata Putra setelah memastikan tamu mereka telah pergi meninggalkan coffee shop tempat mereka bertemu. Vanie menatap Putra, "Pertanyaan yang mana Tra?" "Kamu lagi punya masalah? Ceritakanlah, mungkin aku bisa bantu Van" Pria itu menggeser tubuhnya hingga kini duduk di sampingnya. Vanie mendesah, ternyata rencana perceraian yang diutarakan papanya mengusik hatinya. "Papa akan menceraikan mamaku." ucapnya dengan suara lihir. Walaupun dia telah mengatakan bahwa tidak masalah jika kedua orang tuanya bercerai, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya Vanie tidak rela. Putra memberanikan diri meraih dan menggenggam tangan Vanie, "It's ok, kamu tidak akan kehilangan kasih sayang mereka dengan perceraian itu. Dan...aku yakin kamu akan baik baik saja" Vanie menunduk, mengira dirinya akan kuat tetapi dia hanyalah seorang perempuan yang memiliki hati lemah. Isak tangis mulai terdengar menyesakkan d**a, dengan lembut Putra merebahkan kepala Vanie pada dadanya yang bidang. Mengelus perlahan rambut sang wanita yang telah mencuri hatinya sejak masa sekolah hingga sekarang. "Keluarkanlah semua kesesakkan hatimu agar lega" bisiknya. Vanie melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Putra dan meluapkan seluruh kesedihan hatinya pada pundaknya. Seperti masa masa silam dimana Putra selalu hadir disaat Vanie terpuruk. "Aku sudah katakan pada papa kalau tidak masalah bagiku jika mereka ingin bercerai, tetapi...hikss..." kalimat Vanie terpotong oleh isak tangis yang semakin membesar. "Tetapi...bagaimana dengan mama? Dia akan semakin terluka." "Ssstt...aku pikir mamamu akan berbesar hati menerima keputusan ini. Bukankah keretakan rumah tangga mereka sudah menahun lamanya?" Vanie mengangguk. "Mama selalu mengatakan kalau papa memiliki wanita lain, bahkan aku pernah mendengar papa memiliki anak dari wanita itu." Putra memberikan sehelai tissue pada Vanie untuk membersihkan air mata dari wajahnya. "Semua lelaki memang hidung belang dan tidak bisa dipercaya!" desis Vanie dengan geram, teringat Adam yang telah berkhianat. Putra terkejut mendengar kalimat yang baru saja keluar dari bibir Vanie, "Tidak semua lelaki seperti itu Van, jangan kamu sama ratakan semua lelaki dengan pria yang telah menyakitimu" ucap Putra. Kini dia sudah dapat menebak alasan kenapa Vanie seakan menutup pintu hatinya setelah kembali dari Amerika. "Sama Tra, mana ada lelaki yang tidak tergiur jika digoda oleh wanita cantik hah?" kedua mata Vanie kini melebar, amarah mulai meracuni hatinya. Putra menggeleng, "Tidak Van, aku tidak setuju itu. Bukannya aku membela kaumku, tetapi tidak adil bagi kami jika kamu mengatakan demikian. Yang pasti apa yang kamu tuduh itu tidak berlaku bagiku. Untukku, wanita itu harus dilindungi, disayang dan dihormati terlebih jika dia adalah belahan jiwaku bahkan deminya aku rela mengorbankan kebahagianku." jawab Putra dengan tegas, dia harus meluruskan pemikiran Vanie agar wanita itu sadar bahwa dirinya berbeda dengan pria yang telah menyakiti hatinya. Vanie mendengus kasar, "Aku akan hidup lebih bahagia tanpa cinta dari pria manapun."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD