#3 Terusik

1184 Words
Putra begitu percaya diri melangkah memasuki kantornya, sebuah ruangan terletak di lantai dua puluh tiga gedung bertingkat kawasan elit Sudirman. Sebelum berangkat ia telah berulang kali mematut dirinya pada cermin hingga akhirnya puas dengan penapilannya sekarang, celana khaki dipadu dengan kemeja putih lengan pendek. Pria kelahiran dua puluh empat tahun lalu itu, tepatnya bulan Agustus telah memutuskan untuk mendekati Vanie setelah tiga tahun berpisah. Semalaman dia berpikir, menelaah hatinya, sampai berakhir pada keputusan bahwa ia masih mencintai perempuan itu. Sudah lebih dari dua bulan lamanya Stevanie bergabung dalam PT. Trideco Gemilang, dan selama itu dia telah memberikan kontribusi yang cukup baik. Dapat dilihat dari peningkatan jumlah pelanggan dari hari ke hari, bahkan Putra sempat menolak beberapa pelanggan yang memiliki tenggat waktu singkat. Hari ini, dirinya dan Stevanie akan pergi menemui seorang pelanggan baru yang meminta mereka untuk menggambar layout rumah, kantor dan pabrik. Dengan menggunakan mobil Putra, berdua mereka membelah jalanan Jakarta yang cukup padat mengingat waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Jam sibuk bagi sebuah Kota Meteropolitan. "Tra, kamu dapat dari mana klien ini?" tanya Vanie. "Dia menghubungi kantor dan secara spesifik ingin bertemu denganmu. Kukira salah satu temanmu Van" jawab Putra dengan tetap fokus mengemudikan kendaraannya. Vanie menggeleng "Namanya?" "Hmm..aku lupa Van. Catatannya tertinggal di kantor. Tapi nomor telepon orang itu ada kok di ponselku. Nanti setelah sampai disana akan kuhubungi" Vanie diam, otaknya berputar menebak siapa temannya yang kemungkinan sedang membutuhkan jasa mereka. Putra dan Vanie menunggu sang pelanggan di sebuah restoran yang menyediakan menu masakan Jepang, sesuai keinginannya. Bahkan mereka tidak perlu repot memesan tempat itu, semua sudah disiapkan oleh pelanggan misterius. "Aneh..." gumam Putra, baru pertama kali dia menemukan klien seperti ini. "Yang lebih aneh lagi kalau semut bisa ngomong Tra" celetuk Vanie , "Eittsss....ingat yah!" seru wanita itu lagi ketika melihat tangan Putra sudah bersiap ingin menyentil dahinya. "Huhh...kesenanganku berakhir dengan masuknya uangmu ke rekening perusahaan" gerutunya, dikuti dengan gelak tawa Vanie. "Syukur deh...selamat dari sentilan maut" "Ehem...selamat siang" suara berat seorang pria mengusik percakapan mereka. Vanie dan Putra segera bersiap untuk menyambut klien baru mereka. "Selamat siang Pak Sebastian" ucap Putra seraya berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabatan. Dia tidak menyadari jika partnernya kini berdiri kaku dan membeku menatap nanar pada pria yang baru dipanggilnya itu. "Selamat siang hmm..kamu pasti Putra Wibisono?" tanya Sebastian memastikan lawan cakapnya. "Panggil saya Ardan" "Benar Pak Ardan, perkenalkan saya Putra Wibisono dan ini partner saya Stevanie Wijaya" jawab Putra lalu menyenggol lengan Vanie mengisyaratkan agar perempuan itu menyambung percakapan mereka. "Van" bisik Putra "Van.." "Kamu kenapa Van?" tanya Putra khawatir karena bukannya menjawab, Vanie malah berlari menjauhinya. "Urrgghh...sebentar Pak Ardan, partner saya sepertinya ada sedikit masalah. Silahkan duduk, saya harus menyusul dia terlebih dahulu" Sebuah anggukan menandakan pelanggannya memberikan ijin sehingga Putra segera melesat pergi mengikuti jejak langkah Vanie yang ternyata berakhir di sebuah toilet wanita. Putra mengetuk pintu toilet itu dari luar...menunggu. Ingin masuk tetapi ragu dan khawatir diusir oleh pengunjung wanita dari dalam sehingga ia memutuskan untuk bersabar dan menunggu lebih lama lagi sampai akhirnya Vanie keluar dengan mata sembab. "Kamu kenapa Van?" tanya Putra, sengaja ia menghalangi jalan Vanie agar perempuan itu tidak dapat kabur lagi. "Enggak kok, tapi tiba tiba sakit perut" jawabnya berdusta. "Kok nangis?" "Siapa bilang aku nangis?" "Tuh matamu yang bilang" "Tadi kelilipan. PUAS? Minggir!" sahut Vanie dengan ketus sehingga Putra memutuskan untuk mengikuti perintahnya dan memberikan ruang bagi Vanie untuk melewatinya. Putra mengikuti langkah Vanie yang kembali ke tempat duduk mereka, dimana serorang pria bernama Ardan tengah menunggu. Pikiran pria itu berputar menebak penyebab perubahan sikap sahabatnya. "Maaf Pak Ardan lama menunggu, saya perkenalkan partner saya Stevanie Wijaya" kata Putra mengulangi adegan perkenalan yang sempat terpotong tadi. Vanie menatap dingin pria itu, tidak menggubris uluran tangannya. "Stevanie" ucapnya lalu duduk tepat diseberangnya pura pura sibuk dengan komputer untuk mempersiapkan presentasi mereka. "Maaf sekali lagi Pak, partner saya sedang tidak sehat sehingga sedikit moody" ucapnya tanpa memperdulikan tatapan tajam Vanie. Sepanjang pertemuan, hanya Putra yang berbicara dan mengajukan pertanyaan pada tamunya sementara Vanie bersembunyi di balik layar komputernya. "Saya lihat partner kamu tidak nyaman dengan keberadaan saya" "Urghh...seperti yang saya katakan tadi Pak Ardan, dia lagi kurang sehat. Maafkan" Putra mewakili Vanie meminta maaf. "Baiklah, untuk masalah design saya ingin dia yang membuatnya. Biaya tidak menjadi masalah, berapapun akan saya bayar" Dari balik layar komputer Vanie mengutuk pria itu, bibirnya sudah siap mengucapkan sumpah serapah setelah mendengar kalimat sombong tersebut. "Van, bagaimana pendapatmu" bisik Putra, lama lama kesal juga dengan sikap Vanie. Perempuan yang kini memiliki rambut sebahu itu menegakkan tubuhnya sehingga wajahnya terlihat jelas. Kedua matanya menatap tajam pada klien baru mereka "Maaf, saya tidak ada waktu untuk melayani keinginan anda" sahutnya dengan ketus. "Van..." tegur Putra. "Begitu ya...bukankah pelanggan adalah raja?" sindir Ardan. "Jika pelanggan itu adalah anda, istilah itu tidak berlaku. Anda bisa mencari designer lain yang dapat dipermainkan seenaknya. Perusahaan kami tidak akan bangkrut jika kehilangan pelanggan sombong seperti anda." "Tidak baik memutuskan sesuatu dalam keadaan emosi. Aku akan memberikan kalian waktu." Ardan membangunkan dirinya lalu menatap Putra "Biarkan dia tenang, hubungi aku jika sudah ada keputusan. Ingat, pekerjaan yang akan saya berikan pada kalian adalah mega projek " lanjutnya dengan senyum tipis dan sebuah anggukan sebelum meninggalkan mereka. Ardan memerintahkan supirnya untuk mempercepat kendaraan mereka karena dia sudah terlambat untuk menghadiri sebuah janji penting. Wajah dingin nan menakutkan mendarah daging pada Sebastian Ardan Nugroho, kelahiran dua puluh delapan tahun lalu, ia sangat disegani cenderung ditakuti oleh rekan bisnisnya, karena tidak segan untuk menghabisi lawan yang menghalangi jalannya. "Stevanie Wijaya....lihat saja bagaimana kamu akan bertekuk lutut di hadapanku" gumamnya. Ardan tidak pernah salah menilai seseorang, begitu pula wanita yang telah mengusik dirinya sejak berbulan yang lalu ketika sebuah kabar mengenai pernikahan menghentakan egonya. Dia yang selalu merasa tertinggal selangkah dan tertutup oleh bayang bayang seseorang kini memutuskan untuk bangkit dan mengeluarkan taring yang selama ini tersembunyi. Cukup dirinya diremehkan oleh keluarga besar Nugroho, Ardan akan membuktikan pada mereka kalau dia adalah pria yang patut diperhitungkan! "Van! Stevanie Wijaya!" panggil Putra dengan suara keras. Dirinya sudah tidak dapat menahan kekesalan hatinya melihat tingkah laku partnernya. "Kamu kenapa sih?" tangannya meraih pundak Stevanie berharap wanita itu menghentikan langkahnya. Dan, berhasil. "Kenapa?" tanya Vanie dengan kedua mata melebar. "Aku yang seharusnya bertanya kenapa. Bukan kamu" Putra menatapnya lekat lekat. "Kamu mengenal pria tadi?" selidiknya. Kepalanya digelengkan keras, "Tidak. aku tidak mengenal dan tidak mau mengenal dia. Jadi, terserah kamu mau gimana" sahut Vanie masih keras kepala. "Terlihat sekali sikap permusuhan kamu tadi. Tidak mungkin kamu tidak mengenalnya. Jujur Van, ceritakanlah padaku agar aku dapat mengerti posisimu" Putra mulai melunak. Stevanie menutup pintu mobil dengan kencang sehingga menimbulkan suara keras, Putra hanya berdecak kesal melihat Vanie memperlakukan mobil senilai milyaran rupiah seperti angkot saja. "Aku tidak akan menjalankan mobil ini jika kamu tidak cerita masalahmu" ancam Putra. Vanie melipat kedua lengannya di hadapan dadanya, "Terserah, mobil juga mobilmu." Putra mendesah, sadar tidak ada gunanya menghadapi Vanie dengan amarah akhirnya memutuskan untuk mengalah dan melajukan kendaraan kembali ke kantor. Dia berharap mungkin sore atau malam nanti setelah emosi wanita itu reda barulah dia dapat membujuknya untuk mengutarakan alasan sikap tidak bersahabatnya dengan seorang pria bernama Ardan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD