12. Harapan

2113 Words
Ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya yang Aisyah alami, dia merasa sangat bahagia sekali melihat kehadiran kekasih idaman semua kaum hawa. Siapa lagi kalau bukan Raihan? Tadi selepas shalat isya berjamaah di masjid, tiba-tiba Abi-nya dan Kabir pulang bersama Raihan. Tentu saja dia merasa terkejut dengan kehadiran pria itu, Raihan sama sekali tak memberitahunya kalau dia akan berkunjung ke rumahnya. Ya walaupun dia sangat yakin sekali kalau Raihan datang ke sini karena ingin menemui Abi-nya, tapi apakah salah kalau dia berharap Raihan ke sini juga ingin menemuinya? Ah apa sih Aisyah? Kamu jangan terlalu berharap, karena jatuhnya nanti sakit kalau harapan itu tak sesuai dengan apa yang kamu dapatkan. Sedari tadi dia tak henti-hentinya tersenyum sambil memasak air di dalam panci, kebetulan sekali air panas di dalam termos habis sehingga mau tak mau dia harus memasaknya lagi apalagi ada tamu spesial yang sudah lama menghiasi hatinya. Dia tak sadar kalau air di dalam panci itu sudah mendidih, hampir saja dia terkena air yang meluap itu. Untung dengan sigap dia mematikan kompor setelah sadar dengan lamunannya, untunglah Umi-nya sedang di depan menemani Abi dan Kabir yang mengobrol bersama Raihan, jika tidak sudah bisa dipastikan kalau dia akan jadi bahan ledekan Umi-nya. Diam-diam Umi-nya itu suka sekali meledeknya, apalagi ketika pipinya yang mulai memerah. "Ini silakan diminum," ucap Aisyah sambil menaruh tiga gelas teh hangat di atas meja. Kebetulan sekali keluarganya memang sama-sama tidak menyukai kopi dan lebih memilih teh hangat sebagai minuman favorit, yang lain teh hangat manis sedangkan untuk Abi-nya teh tawar hangat. "Terima kasih Aisyah," ucap Raihan sambil tersenyum manis dan hal itu membuat Aisyah mengangguk dengan wajah tersipu. Pemandangan itu tak luput dari perhatian Abi Lukman dan Umi Maryam yang tersenyum geli melihat kedua orang muda itu yang sepertinya tengah dimabuk cinta, rasanya sudah lama sekali tak melihat Aisyah sebahagia ini hanya karena seorang laki-laki dan itu hanya terlihat bila ada seorang Raihan. Tentu saja mereka tau apa yang dua orang itu rasakan, meskipun dulu Abi Lukman dan Umi Maryam menikah karena dijodohkan tapi tetap saja mereka dulu pun pernah muda dan merasakan hal yang namanya jatuh cinta. "Ehemm .... " Deheman dari Abi Lukman membuat Aisyah langsung menundukkan wajahnya, rasanya begitu malu ketika kepergok dengan terang-terangan tengah memandangi orang yang bukan mahramnya apalagi itu Abi-nya yang kini tersenyum geli. "Sudah lama tidak bertemu, kelihatannya kalian sangat canggung sekali." Perkataan dari Umi Maryam membuat Aisyah mendongak. "Ya pasti beda lah Umi, mereka kan semakin hari semakin dewasa tentulah perasaannya pun jadi berbeda." Baik Raihan maupun Aisyah kini wajahnya telah memerah malu karena apa yang Abi katakan mungkin memang benar, perasaan keduanya memang sudah sedikit berubah. Tak seperti dulu yang hanya menganggap sebagai teman, Kakak, ataupun Adik kelas melainkan lebih dari itu alias orang yang menghiasi isi hati. "Nak Raihan, tehnya silakan diminum. Ini buatan perdana Aisyah loh," ucap Umi Maryam dan hal itu membuat Aisyah semakin malu saja. "Dia baru pertama kali ini loh membuatkan minuman untuk seorang tamu, biasanya dia mana mau kalau disuruh Umi membuatkan minum. Dia memilih sibuk di kamar dan menulis di diary-nya." Sepertinya Umi-nya ini berniat ingin membuatnya malu semalu-malunya dihadapan Raihan, ah Umi mengapa Umi berbicara seperti itu sih? Sesekali tutupi dong keburukan Aisyah. batin Aisyah merasa sangat malu, apalagi ketika melihat senyum geli yang sepintas Aisyah lihat disudut bibir Raihan. "Waah benarkah Aisyah? Aku merasa sangat tersanjung meminum teh perdana buatanmu," ucap Raihan yang tanpa Aisyah duga dia malah berbicara demikian. Aisyah hanya mengangguk malu sambil tersenyum, dia bingung ingin mengatakan apa. Apalagi ketika tatapan mata Abi, Umi serta Adiknya tertuju padanya. Ingin sekali dia segera memasuki kamar, tapi dia tidak ingin membuang banyak waktu di kamar sedangkan di sini ada pujaan hatinya. Ah dia yang terlalu berharap atau memang kenyataannya kalau Raihan sering curi-curi pandang disela dia mengobrol bersama Abi-nya? Dia takut itu hanya harapan saja dan berujung luka dihatinya kalau harapan itu ternyata hanya palsu. "Bagaimana perasaanmu saat di sana Raihan? Pasti tenang kan? Di sana banyak para ustadz yang memberikanmu ilmu, ah sepertinya Abi akan kalah ilmunya dengan kamu. Tentu saja kamu sudah menuai banyak ilmu setelah dua tahun berada di sana," ucap Abi Lukman yang dibalas tawa ringan Raihan. "Tidak begitu juga Bi, ilmu Raihan belum ada apa-apanya dibandingkan Abi. Bukankah Abi sudah di pesantren selama sepuluh tahun? Raihan hanya dua tahun dan yang Raihan dapatkan tidak begitu banyak ilmu yang sama seperti apa yang Abi dapatkan, tapi alhamdulilah Raihan bersyukur karena selama dua tahun di sana sedikit demi sedikit ilmu agama Raihan." Abi Lukman ikut tersenyum mendengar ucapan pria dihadapannya yang dulu pernah menjadi anak didiknya, setidaknya dia merasa sangat bersyukur anak didiknya ini bisa memperdalam ilmu agama di pesantren. "Alhamdulillah, Abi senang mendengarnya. Jadi apakah kamu ada niat untuk menimba ilmu di sana lagi?" tanya Abi setelah menyesap sedikit teh tawar miliknya. "Untuk kembali ke sana sepertinya Raihan belum ada niat lagi Abi, alhamdullilah Raihan merasa sangat cukup sekali mendapatkan ilmu selama dua tahun di sana. Ayah dan Bunda ingin agar Raihan bisa meneruskan usaha pabrik mereka sesuai dengan syarat yang Ayah dan Bunda Raihan saat Raihan ingin pergi ke pesantren." Memang benar, setelah lulus dari SMA sebenarnya Raihan sudah diminta untuk mengurus pabrik milik kedua orangtuanya. Namun dia keukeh ingin menimba ilmu di sebuah pesantren yang letaknya di Jawa Timur, akhirnya kedua orangtuanya mengajukan syarat kalau Raihan boleh menimba ilmu di pesantren itu selama dua tahun lamanya setelah itu sepulangnya dari sana Raihan harus melanjutkan usaha pabrik yang dikelola oleh Ayah dan Bunda-nya. Maklum saja, Raihan merupakan anak laki-laki satu-satunya sehingga mau tak mau dialah yang menjadi penerus usaha pabrik keluarga. Sedangkan kedua Adiknya yang masih sangat kecil tidak akan mungkin bisa meneruskan, apalagi dua Adiknya itu sama-sama perempuan. Raihan tentu saja tidak ingin mengingkari janjinya pada orangtuanya, walaupun jauh di dalam lubuk hatinya dia ingin sekali kembali ke pesantren yang suasananya sangat asri itu. Setidaknya dia pernah merasakan rasanya menjadi santri dan hidup di dunia pesantren, mungkin inilah jalan hidupnya. Ilmu yang dia dapat juga menurutnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi imam yang baik serta calon Ayah yang baik untuk anak-anaknya kelak, ah ternyata dia terlalu jauh memikirkan hal itu. Dia bahkan sampai tersenyum-senyum ketika membayangkan betapa membahagiakan jika dia memiliki seorang istri yang shalihah serta anak-anak shalih dan shalihah, mendadak demam nikah muda yang menjadi viral itu ikut melambung menuju pikirannya. "Menuntut ilmu itu memang wajib, tapi menuruti kemauan orangtua apalagi jika itu yang terbaik lebih dari kata wajib. Karena berbakti pada kedua orangtuanya bisa mendatangkan pahala serta menjadi jalan menuju surga nantinya, Nak Raihan masih bisa menuntut ilmu agama itu meskipun nanti disibukkan dengan urusan pabrik. Atau jika memang Nak Raihan berkenan, Abi juga siap jika Nak Raihan ingin menuntut ilmu lagi melalui Abi." Hal itu jelas saja membuat senyum terbit diwajah Raihan. "Benarkah Abi? Waah terima kasih banyak, Raihan pikir mungkin kemarin adalah hari terakhir Raihan menuntut ilmu agama tapi ternyata Abi sangat baik sekali mau mengajari Raihan lagi." Raihan tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya, Raihan merupakan seseorang yang haus akan ilmu pengetahuan apalagi jika itu berkenaan dengan ilmu agama. Laki-laki itu begitu semangat menimba ilmu sehingga Abi Lukman sangat kagum sekali dengan tekad Raihan yang sangat kuat itu. "Menuntut ilmu itu tak hanya bisa melalui ustadz-ustadz Nak Raihan ataupun dari Abi saja, tetapi dari buku pun bisa. Mau Abi pinjamkan buku-buku mengenai sejarah agama ataupun nabi-nabi kita?" tawar Abi Lukman yang tentu saja langsung dibalas anggukan semangat Raihan. "Tentu saja Raihan mau, Abi." Tanggapan Raihan hampir sama persis seperti Kabir yang disuguhi banyak makanan, khas sekali anak kecil yang merasa sangat bahagia karena mendapatkan makanan kesukaannya. Aisyah mengulum senyumnya melihat keantusiasan Raihan, meskipun sedari tadi dia hanya diam saja dan sesekali bercanda bersama Kabir. Tapi diam-diam dia mendengarkan percakapan antara Raihan dan Abi-nya, Raihan yang haus akan ilmu pengetahuan tentu saja hal itu membuat Aisyah merasa sangat kagum. Bahkan sejak dulu dia merasakan hal itu, namun kekaguman itu hanya bisa dia pendam dari dulu hingga sekarang. Sebagai seorang perempuan dia hanya bisa memendam saja karena tidak mungkin jika seorang perempuan duluan yang mengutarakan rasa walaupun dulu Siti Khadijah duluan lah yang mengutarakan rasa sukanya kepada rasulullah, tapi itu zaman dulu dan dia tidak seberani ataupun sehebat Siti Khadijah. "Baiklah, tunggu di sini dulu ya? Abi akan ambilkan bukunya dulu." Abi Lukman beranjak menuju kamarnya untuk mengambilkan beberapa buku yang akan dia pinjamkan pada Raihan. "Oh iya Umi belum bertanya, apa kabar Bundamu Nak Raihan? Selama ini Umi sangat jarang sekali melihat Bundamu keluar rumah. Padahal letak rumah kita lumayan dekatkan? Hanya selisih beberapa rumah saja." Umi memulai pembicaraan ketika Aisyah hanya diam saja, memangnya apa yang akan Aisyah tanyakan? Dia terlalu malu jika bertanya dihadapan Umi-nya. "Alhamdulillah kabar Bunda baik Umi, cuma ya itu sekarang Bunda sering sakit-sakitan sehingga harus di rawat jalan. Bunda tidak mau di rawat di rumah sakit, maka dari itulah alasan mengapa Raihan yang harus mengurus pabrik. Ayah katanya ingin fokus mengurus kesehatan Bunda," ucap Raihan. Dapat Umi Maryam dan Aisyah tangkap ada nada kesedihan juga wajahnya yang menyiratkan kalau dia merasa sangat resah serta gelisah dengan kesehatan Bunda dari laki-laki itu. "Astaghfirullah, kenapa Umi bisa tidak tau ya? Kenapa kamu tidak memberitahu Umi waktu kamu berkunjung ke toko kue milik Umi? Kalau waktu itu Umi tau, Umi sudah menjenguk Bundamu. Eh sekarang bagaimana keadaannya, apakah sudah lebih mendingan?" tanya Umi Maryam. "Alhamdulillah keadaan Bunda sudah jauh lebih baik Umi, maaf baru memberitahu Umi sekarang. Raihan takut Umi menjadi khawatir," ucap Raihan tak enak hati. Dia sangat tau sekali kalau Umi Maryam memang lumayan dekat dengan Bunda-nya, maka dari itu dia tidak mau membuat wanita paruh baya dihadapannya ini khawatir. "Nanti salamkan pada Bundamu kalau Umi dan Aisyah insyaallah akan berkunjung kesana," ucap Umi Maryam. "Baik Umi." "Nah ini dia buku-bukunya, bisa kamu pelajari ya Nak Raihan. Eh ada apa ini? Kenapa wajah kalian jadi murung begini? Apa ada yang Abi lewatkan tadi?" tanya Abi Lukman sambil membawa beberapa buku ditangannya. "Ini loh Bi, Bunda-nya Raihan sakit tapi dia malah enggak ngasih tau Umi." Abi Lukman duduk di tempatnya semula sambil menaruh beberapa buku di atas meja. "Benarkah itu Raihan?" Raihan mengangguk. "Iya Abi, tapi keadaan Bund alhamdulillah kini sudah membaik kok." "Alhamdulillah, semoga saja Allah selalu melimpahkan kesehatan untuk Bundamu ya Nak Raihan." "Aamiin, makasih Abi." Raihan merasa sangat nyaman sekali berada diantara keluarga hangat ini, dia merasa seperti berada diantara keluarganya sendiri padahal dia sudah lama sekali tak kemari tapi suasananya tetap sama. Hangat dan menyejukkan hatinya. "Oh iya ini Abi sudah mencarikan beberapa buku yang bisa kamu baca, ini kisah beberapa nabi yang diberikan mukjizat oleh Allah subhanahu wataa'la. Ini juga ada beberapa kitab berisi tentang hadits-hadits menuntut ilmu, kamu sudah bisa membaca kitab kan?" Raihan mengangguk. "Baguslah kalau begitu, ini juga ada beberapa buku-buku yang menceritakan perjuangan para sahabat nabi. Ini semuanya bisa kamu baca, setelah kamu baca semuanya sampai selesai bisa kamu kembalikan." Raihan menatap beberapa buku dihadapannya dengan tatapan penuh minat, betapa dia tidak sabar ingin membaca buku-buku itu. "Terima kasih banyak Abi, semoga saja Allah memberikan pahala atas apa yang selama ini Abi ajarkan pada Raihan dan tentang buku ini juga Raihan pasti akan membacanya hingga selesai." Laki-laki itu mengambil salah satu buku dan membaca judulnya, ah sangat menarik untuk dibaca. "Umi, Kabir ngantuk. Kabir boleh tidur duluan?" tanya Kabir sambil menguap membuat semua perhatian mengarah pada Kabir. "Ah sepertinya ini sudah sangat malam, Raihan izin pamit ya Abi? Umi? Aisyah dan Kabir? Sekali lagi terima kasih banyak bukunya," ucap Raihan sambil berdiri. "Aisyah antar Kak Raihan keluar ya Bi, Umi?" ucap Aisyah meminta izin yang dibalas anggukan kedua orangtuanya. "Makasih ya Aisyah, tehnya tadi sangat enak." Aisyah tersipu mendengarnya. "Kak Raihan bisa saja, teh itu rasanya sama seperti teh pada umumnya. Tidak ada rasa yang spesial," ujarnya mengelak padahal jauh dalam lubuk hatinya dia merasa sangat bahagia sekali dipuji oleh laki-laki idamannya itu. "Atau mungkin karena kamu yang buat ya? Makanya rasanya bisa begitu enak?" Raihan sengaja menggoda Aisyah, dapat dia lihat kalau kedua pipi gadis itu bersemu merah. "Kapan pulangnya nih Kak Raihan kalau terus-terusan menggoda Aisyah?" "Jadi kamu mengusir ku ini?" tanya Raihan pura-pura tersinggung. "Ih bukan itu maksudku, ini sudah malam lebih baik Kak Raihan segera pulang. Aku juga sudah mengantuk sekali, hoaamm." Aisyah pura-pura menguap sambil menutup mulutnya menggunakan sebelah tangannya. "Baiklah kalau begitu aku pamit dulu ya? Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, hati-hati ya Kak Raihan .... " Aisyah melambaikan tangannya pada Raihan yang sudah meninggalkan pekarangan rumahnya sambil membawa beberapa buku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD