Bab 4

1212 Words
Seusai santap siang Fatih dan Donny memutuskan untuk undur diri lebih dulu, karena ada janji temu dengan pengelola gedung untuk kantor cabang mereka di Balikpapan. Sepanjang perjalanan Fatih lebih banyak diam dan hanya menunjukkan senyum tipis di wajah tampannya. Bahkan Donny yang sejak tadi memiliki banyak pertanyaan di dalam benaknya pun lebih memilih diam. Ia hanya sesekali melirik ke arah Fatih yang tepat duduk di sampingnya, lebih baik tidak bertanya daripada harus rela dibuat lembur oleh lelaki keturunan Turki itu. “Lo ngelirik gue dari tadi kenapa?” tanya Fatih sarkas ketika sadar diperhatikan sahabatnya sejak tadi. “Nggak ada lirik, Bapak,” gagapnya. “Lo mau nanyain soal kerjaan atau apa? Syakilla?” Fatih memainkan rambut halus di rahang tegasnya. “Gue sudah ngelamar dia tadi waktu di luar dan dia terima.” Ucapan Fatih barusan sukses membuat Donny ternganga tidak percaya, apalagi ini seorang Fatih yang flamboyant. Bagaimana bisa hanya dengan dua kali pertemuan sudah membuat Fatih jatuh cinta begitu dalam pada sosok gadis cantik berjilbab bernama Syakilla. “Gue serius, jadi mata lo biasa saja. Jangan sampai mau keluar gitu dong,” cibir Fatih melihat ekspresi tidak biasa yang Donny tunjukkan. “Kenapa Syakilla?” “Entahlah. Mungkin karena dia Syakilla.” “Tapi kan di—“ Donny belum menyelesaikan kalimatnya ketika Fatih buka suara. “Bukan tipe gue kalau itu maksud lo.” “You know laa...” ucap Donny remeh. “I am serious with her, and tonight I'll call Mom.” “Gue harap lo nggak lagi bikin pernikahan seperti mainan, Bro.” “Lo lihat aja entar.” Setelah mengakhiri pembicaraan mereka, akhirnya tiba juga di tempat tujuan. Gedung perkantoran di satu kawasan apartement dan hotel terletak dipusat kota. Mereka tidak akan lama dan hanya menandatangani kontrak sewa 1 lantai di office building yang punya view teluk Balikpapan. Setelah urusan kontrak sewa menyewa selesai, mereka lebih memilih untuk kembali ke hotel untuk istirahat. *** Syakilla mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan kota yang cukup padat saat jam pulang kantor seperti sekarang. Ia menepikan mobil tepat di depan sebuah bank milik negara. Tak berapa lama ia menurunkan kaca mobil ketika seorang wanita berwajah mais mengetukj jendelanya. “Jemput Abil, ya, Sya?” Tanya wanita yang bernama Desi itu. “Eeh, iya nih, Des. Sudah kelar belum ya dia? Aku buru-buru soalnya ada urusan.” “Sebentar lagi dia juga keluar kok, Sya, tadi sudah beres-beres,” ucap gadis bernama Desi dengan senyum ramahnya. “Nah itu Abil. Aku juga duluan, ya, Sya. Assalamu’allaikum.” Tunjuk Desi pada gadis mungil yang sejak tadi ditunggu Syakilla sebelum ia pergi. “Terima kasih, ya, Des. Wa’allaikum sallam.” “Aku capek eeh...” keluh Nabila ketika baru saja mendaratkan b****g di kursi penumpang. “Jangan ngeluh terus, nanti Allah nggak kasih kamu capek lagi baru tahu,” tegur Syakilla setelah mendengar keluhan sahabatnya. “Ya bagus dong. Artinya Allah sayang sama aku,” ucap Nabila percaya diri. “Iya sayang. Sampai kamu sudah nggak bisa ngapa-ngapain lagi saking sayangnya.” Syakilla kembali focus memacu mobilnya di jalan, dan sejak tadi ia hanya menjadi pendengar dari semua keluh kesah sahabatnya. Tanpa sadar Syakilla sudah menarik nafas dalam sampai berulang kali dan hal itu disadari oleh Nabila yang. “Ngapain kamu narik nafas dalem banget kayak gitu?” “Tadi siang aku dilamar. --Aah akhirnya terucap juga,” lanjut Syakilla dalam hati. “Huh? Seriusan kamu, Ra?” Nabila langsung memalingkan kepalanya untuk melihat ekspresi sahabatnya, karena sejak tadi ia focus membaca novel yang ia pinjam dari Syakilla. “Paling juga dia nggak serius seperti yang sudah-sudah.” “Memang siapa sih? Aku kenal nggak orangnya, Ra?” Tanya Nabila semakin penasaran. “Cowok yang aku ceritain kemarin.” Jawaban Syakilla barusan sukses membuat Nabila semakin shock dan meletakkan novel yang sudah tidak menarik lagi untuk dibaca. Sekarang ada hal yang lebih menarik untuknya, yaitu cerita lamaran lelaki asing yang kemarin Syakilla ceritakan padanya. Jadi sepanjang perjalan menuju komplek perumahan tempan mereka tinggal gadis berwajah khas Timur Tengah itu menceritakan lamaran Fatih pada sahabatnya. “Lebih baik kamu pertimbangkan lamarannya, karena yang ku dengar dari ceritamu dia sangat serius. Lagipula tidak mungkin seorang lelaki dengan reputasi baik dan sukses seperti itu main-main di hadapan rekan bisnisnya.” Syakilla memilih diam dan mencerna baik-baik semua ucapan sahabatnyanya, dan ia merasa jika yang diucapkan Nabila adalah benar. Hanya saja untuk saat ini ia belum merasa yakin dengan lelaki itu, lukanya masih belum sembuh benar untuk menerima Fatih. Rasanya masih perih, seperti luka baru yang terkena taburan garam. Begitu menyakitkan dan ia harus berhati-hati sebelum melangkah untuk menentukan masa depannya. “Sekali lagi kamu pikirkan ucapanku tadi. By the way thanks, Ra, sudah nganterin aku. Assalamu’allaikum…” Nabila turun dari mobil dan berdadah ria sembari memasuki pagar rumahnya. Meninggalkan Syakilla yang masih diam membisu sembari mengendarai mobilnya menuju rumah di blok sebelah. Mobilnya jenis SUV itu baru saja memasuki pekarangan rumah bergaya klasik ketika senyum hangat menyambut kedatangan Syakilla. Seorang wanita paruh baya dengan wajah Timur Tengah berdiri di ambang pintu. “Assalamu’allaikum, Ummi. Noura pulang.” Salam Syakilla sembari berjalan santai menuju wanita yang ia panggil dengan sebutan ‘Ummi’ itu. Ia mencium punggung tangan dan kedua pipi ibunya, Hamidah Khair. “Wa’allaikum sallam, Sayang. Kamu langsung mandi ya, nanti habis solat magrib berjamaah kita makan malam seperti biasa.” Hamidah mengajak putri bungsunya masuk ke dalam rumah tanpa melepaskan pelukannya. Syakilla menaiki anak tangga dengan langkah gontai, seakan tidak ada semangat hidup. Saat ini pikirannya entah berkelana ke mana, mungkin sedang melihat ke masa lalu yang masih menjadi bayang-bayang di kehidupannya sekarang. “Assalamu’allaikum, anak gadisnya Abi. Kenapa lesu begitu? Pekerjaan hari ini banyak sekali ya?” Mahmoud Ali Iskandar menghampiri putrinya, memeluk dan memberi kecupan hangat di puncak kepala Syakilla yang masih tertutup jilbab. Gadis itu semakin mengeratkan pelukan pada tubuh besar Mahmoud seraya membalas salam dengan lirih. Syakilla melepas pelukan sang ayah setelah meberikan alasan yang logis atas pertanyaan Mahmoud tadi. Setelahnya ia kembali menaiki anak tangga yang akan membawa dirinya ke lantai atas, tempat di mana kamar tidurnya berada. Sesampainya di dalam kamar, ia langsung berjalan menuju balkon dan merebahkan diri di kursi malas. Matanya menatap kosong dedaunan hijau dari pohon di taman belakang rumahnya. Cukup lama ia memejamkan mata hanya untuk sekedar memberikan waktu untuk dirinya beristirahat. Kini ia sudah berada di dalam kamar tidurnya, diliriknya buku dengan sampul Kota Paris di atas meja kerjanya. Senja... Apa kau tahu bahwa aku selalu mengagumimu? Apa kau tahu bahwa aku selalu menantikanmu? Senja... Aku suka warna merahmu yang bersembunyi di balik abu. Menampakkan dirimu malu-malu untuk kemudian menghilang. Senja... Kau masih seperti saat pertama aku melihatmu. Menghilang dalam pekatnya malam. Senja... Aromamu masih sama dan aku masih sangat menyukainya. Menghirupmu begitu dalam untuk memenuhi relung hatiku. Senja... Kau akan selalu indah bagiku. Walau merahmu berubah menjadi gelap, namun selalu ada bintang yang menyinariku. Mungkin tak selamanya senja menghilang dan berganti bintang. Karena akan selalu sama selamanya. Bahwa bintang pun tak mampu untuk menggantikan senja. Tangannya dengan terampil menorehkan tinta hitam di atas lembaran kosong berwarna coklat itu, menuliskan baik-bait puisi. Tidak ada yang bias menggambarkan bagaimana perasaannya, selain bait puisi yang baru saja ia tuliskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD