Pemarah

824 Words
Alanis; Pemarah "Udah puas senang-senangnya?" Aku baru saja pulang, dan Ringga menyambutku dengan pertanyaan sinis. Kuhela napas panjang tanpa kentara agar tak membuatnya semakin ketus padaku. Lagi pula, siapa yang senang-senang, sih? Dia tidak tahu saja seharian ini aku sibuk dan baru berhenti saat akan pamit pulang! "Aku udah bilang, jangan terlalu dekat sama mereka!" Ringga membentakku kasar. "Dan lagi, aku udah ngasih tahu kamu untuk nggak menyimpan nomor kontak siapa pun selain aku. Kamu paham nggak, sih?" kata Ringga menunjuk-nunjukku dengan satu jarinya. Tidak ada yang ingin dekat dengan keluarganya. Tidak ada. Daripada di sini, aku jauh lebih tidak nyaman jika berdiam diri di sana, di rumah Mama mertuaku. Kenapa? Di sana hanya ada Mama dan Papa mertuaku, serta Daryl, anak semata wayang Mas Bizar. Dari senin sampai jumat bocah laki-laki itu tinggal bersama Mama, ketika sabtu dan minggu, Daryl akan pulang ke rumah Mas Bizar. Entah apa yang membuat Ringga semarah ini hanya karena aku pergi berkunjung ke rumah orang tuanya. Sebelum pergi, kusempatkan mengirim pesan kepada laki-laki itu jika Mama mengirim seorang supir untuk menjemputku, namun pesanku tidak kunjung dibalasnya. Daripada aku menunggu Ringga merespons pesanku terlalu lama dan membuat Mama curiga, jadi kuputuskan pergi bersama supir yang telah disiapkan Mama. Mau bagaimana lagi? Ini satu-satu jalan. Kalau aku terlalu lama membuat keputusan hanya karena Ringga, aku takut Mama akan menaruh curiga padaku. "Pertama, nggak ada niatan aku buat dekat-dekat keluarga kamu. Kedua, aku minta maaf soal nomor kontak orang lain di HP aku." "HP yang aku kasih, maksud kamu?" sindirnya. Aku mengangguk, membenarkan kata-katanya. "Iya. HP yang kamu belikan." "Kenapa bisa Mama sama yang lain tahu nomor telepon kamu? Dari awal udah aku wanti-wanti, kan!" "Mama sama adik kamu minta nomor kontak aku. Kalau nggak aku kasih, aku harus alasan apa?" tanyaku, kesal. Bicara dengan Damanik Ringga benar-benar membuat boros energi! "Okay, Mama nggak masalah. Tapi aku nggak suka kamu jadi sering berhubungan adik dan Papa tiri aku!" Kuusap keningku kemudian turun ke wajah. Aku tidak tahu dan tidak paham kenapa Ringga sangat ingin menjauhkanku dari keluarganya. Seharusnya kalau dia ingin sandiwara ini lebih sempurna, dia akan membebaskanku berinteraksi dengan keluarganya. Entah pada Mama dan papanya, atau mungkin dengan kedua adik laki-lakinya. Keluarga Ringga terdiri dari Mama, Papa, serta dua adik laki-lakinya. Yaitu, Mas Bizar sebagai adik kedua. Lalu, Hanggada adik terakhir Ringga. Sejujurnya aku agak bingung kenapa Ringga sangat berbeda dari kedua adiknya. Maksudku, dari sikap, cara bicara sampai menatap orang begitu jauh berbeda. Mas Bizar tipe laki-laki penyabar serta tutur katanya lembut juga sopan. Kepadaku saja yang jelas-jelas usiaku di bawahnya, Mas Bizar menggunakan kata-kata yang lebih sopan. Tidak seperti Ringga, mulutnya belum terbuka saja, matanya sudah lebih dulu melotot padaku! Selain Mas Bizar, saudara Ringga yang kukenal, ada Hada, sapaan akrab Hanggada. Hada memang tidak selembut Mas Bizar, laki-laki itu suka sekali bercanda dan sangat jago mencairkan suasana. Dan, ya, Hada satu-satunya keturunan Damanik yang memilih menjadi seorang artis ketimbang orang kantoran. Katanya, kerja di kantor bisa bikin jenuh. Hada, tipe orang yang mudah bosan. Di mata Ringga, dua adiknya terlihat tidak berguna. Terutama Hada. Setiap kali Hada memamerkan profesinya sebagai seorang selebriti, Ringga akan menyahutinya sinis. Seperti, "Jadi artis itu pilihan yang bodoh. Karena apa? Selain akting nangis dan ketawa, kalian nggak punya kemampuan lain!" Hada akan cemberut. Suasana yang semula baik-baik saja pun berubah canggung karena mulut pedas Ringga. "Hapus kontak Hada, kalau perlu blokir!" perintah Ringga, marah. "Kamu apa-apaan sih?" protesku. "Kenapa juga harus aku blokir nomor Hada? Aku sama dia nggak melakukan apa pun selain nanya kabar." Ringga mendengus kasar. Semula tangan yang dia jejalkan ke dalam saku dikeluarkan lalu diletakkannya ke pinggang. "Nanya kabar? Buat apa! Kamu sama dia bukan teman, kalian nggak dekat. Dan ingat, status kamu itu apa." Tentu saja aku istrimu. Istri kontrak lebih tepatnya. "Lain kali aku nggak mau dengar kamu ada di rumah Mama aku lagi. Ingat, Alanis," tunjuknya mewanti-wanti. "Nggak ada lagi kontak Hada di HP kamu. Kalau sampai aku tahu kalian masih berhubungan, awas aja," ancamnya. Aku hanya diam, lebih tepatnya malas berdebat. "Oh ya," Dia masih saja menunjukku sebelum pergi ke kamarnya. "Mulai besok kamu akan pergi kuliah dan ikut kelas kepribadian. Aku udah urus semuanya. Kamu tinggal pergi dan diantar supir." "Kuliah? Sekolah kepribadian?" tanyaku terkejut. "Untuk apa?" Ringga membalikkan badan mendekatiku. Mata besarnya menatapku tajam, seolah bisa menguliti tubuhku dengan tatapannya itu. "Untuk apa kamu tanya?" Ringga mendengus, senyumnya tampak sinis. "Dengar ya, Alanis," Kutegapkan tubuhku. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak takut padanya. "Pertama, aku nggak mau punya istri bodoh, pendidikan yang rendah. Jadi, kamu harus pergi kuliah." Aku meneguk ludahku kasar. "Dan yang kedua. Kenapa kamu harus ikut sekolah kepribadian, supaya kamu nggak malu-maluin aku," tandasnya, terdengar kejam. Aku dibuatnya melongo. Ringga berbicara begitu lancar. Lancar menghinaku! "Aku nggak mau kamu dianggap kampungan dan nggak pantas bersanding sama aku," gumam Ringga. "Ingat, kamu bukan Alanis yang dulu. Kamu, Alanis, istri Damanik Ringga!" katanya, sebelum melenggang pergi meninggalkanku. To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD