"Apa kau mencintai istrimu, mas?" Pertanyaan Kania seketika membuatku terdiam, lidahku kelu untuk menjawabnya. Membuatku hanya bisa mengibaskan tangan dihadapannya. "Sudahlah." "Kau belum menjawab pertanyaanku, mas?" Desaknya. "Kania, tolonglah, jangan mengajakku berdebat." "Jawab aku, mas?" Ulangnya keras. Ia masih menatapku tajam, untuk beberapa saat aku tak mampu menjawabnya. Hingga akhirnya sebuah kalimat lolos dari bibirku. "Alina hamil, ia pergi membawa calon anakku, Kania. Aku mengkhawatirkan kandungannya. Apa itu cukup menjawab pertanyaanmu?" Aku terduduk lesu di sofa ini. Masih mengepal surat dari Alina. Sekilas kulirik wajah Kania yang mengulas senyum. Sungguh aku tak mengerti, mengapa ia masih bisa tersenyum disaat suasana seperti ini. Apakah ini yang dinamakan persaing

