Jack Thampson
Bukannya aku suka mengganggu kaum hawa, hanya saja, mengganggu gadis itu seperti sebuah kewajiban bagiku.
Respon Phoebe yang meledak-ledak membuatku keranjingan untuk menjahilinya. Dari semua teman lawan jenisku, hanya Phoebe yang mampu membuat adrenalin didalam tubuhku terpancing. Aku suka perempuan yang bisa membalas semua ucapanku. Ekspresinya kala memaki atau menyumpahiku entah kenapa membuatku gemas dan kepengin mencium bibir tipisnya itu. Belum lagi manik hitam legamnya kala menatap. Begitu tajam, begitu dingin menusuk. Aku tidak takut, tentu saja. Untuk apa takut dengan seorang perempuan? Jika aku mau, aku bisa menghancurkan Phoebe dalam sekejap. Tentu saja resikonya aku akan dikejar oleh anggota keluarga Abimanyu yang tersohor itu. Belum lagi kedua Abang sepupunya dan satu Abang sepupu tirinya. Bisa dipastikan, hidup seorang Jack Thampson akan berakhir dalam sekejap. Karenanya, aku memutuskan untuk hanya sekedar menjahilinya saja.
Well, iya deh, aku mengaku.
Aku menjahilinya hanya supaya dia menatap ke arahku.
Sejak awal aku bertemu dengan Phoebe, ada yang berubah dalam hatiku. Aku mendapati diri tidak bisa mengalihkan pandanganku, ketika aku menatapnya dalam pekan OSPEK waktu itu. Gadis itu sedang menyeka peluhnya sambil tersenyum manis ke arah salah satu teman kelompoknya. Senyum yang sanggup menyihirku. Entah kenapa aku juga berpikir bahwa Phoebe berbeda dari gadis manapun. Gadis itu spesial di mataku. Caranya menatap sekitar, tingkat kewaspadaannya yang tinggi, ekspresinya jika bertemu dengan orang yang tidak disukainya, semuanya terasa unik dan menarik di kedua mataku. Karenanya, aku memutuskan untuk menghampirinya dan sebagai gantinya, dia menatapku seolah-olah aku ini pembawa virus yang harus segera dimusnahkan.
See? Hanya dengan diperlakukan seperti itu saja sudah membuat adrenalinku terpacu. Belum pernah ada sejarahnya, didalam kehidupan seorang Jack Thampson, seorang perempuan tidak tertarik kepadanya.
“Hai,” sapaku kala itu. Tangan kananku terulur dan gadis itu menatapnya dengan tatapan tanpa minat. “I’m Jack Thampson.”
“Phoebe.”
Hanya itu respon yang diberikan oleh Phoebe. Gadis itu bahkan tidak menyambut uluran tanganku. Tapi, aku tidak marah. Aku justru semakin tertantang untuk menaklukan gadis itu.
Sejak saat itu, aku menganggap Phoebe adalah gadis kuat dan tangguh. Gadis yang tidak terkalahkan. Gadis pemberani. Gadis yang berhasil mencuri perhatianku dan enggan berdekatan denganku. Sejak saat itu juga, aku selalu memanjatkan syukur pada Tuhan karena Dia telah membuatku satu kelas dengan Phoebe, sehingga aku bisa dengan mudahnya melancarkan aksiku: menjahilinya dan membuatnya kesal agar dia selalu menatap ke arahku.
Tapi, coba lihat sekarang. Gadis yang kuanggap kuat, tangguh dan tidak terkalahkan ternyata begini rapuh. Dia menangis. Kuulangi, ya, Phoebe Venzilla Abimanyu menangis! Dan aku adalah saksi mata yang melihatnya menangis. Menumpahkan semua kekesalannya pada sang Ayah via ponsel—yang tentunya tidak sengaja kudengar—kemudian mengeluarkannya dalam bentuk tangisan. Sungguh, hatiku terasa nyeri melihat pemandangan itu. Gadis yang selalu berdiri tegak, angkuh dan anggun di depanku kini berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya. Seolah-olah, dia hanyalah sekecil semut di dunia yang besar ini.
“Phobia?!” seruku tanpa bisa kucegah. Lagi-lagi, aku melakukannya hanya supaya dia menatapku. Disamping aku terkejut tentu saja.
“Jangan mancing emosi gue kalau nggak mau gue tendang, Jok mobil!” ancamnya.
Ya, dia memanggilku Jok mobil dan aku memanggilnya phobia. Kombinasi yang nggak banget menurutku.
Mendadak, sebuah ide melintas di benakku. Aku tahu ide ini mungkin agak keterlaluan, tapi aku tidak punya cara lain. Kalau saja Phoebe tipe orang pengadu, mungkin dia akan langsung berlari pulang dan mengadukanku pada ketiga Abangnya, yang omong-omong, tampangnya sangat menakutkan walaupun tampan (kami pernah sekelompok dalam menyelesaikan tugas dan harus mengerjakannya di rumah gadis itu bersama ketiga temanku yang lain). Aku bahkan masih mengingat nama mereka. Altaro Abimanyu, Redhiza Taufano Abimanyu dan Zerokha Elroya Abimanyu.
Aku menarik napas panjang dan siap dengan semua ide gilaku. Kukeluarkan ponselku dan kubidik wajah Phoebe yang masih tersembunyi dibalik kedua lututnya. Jepret!
Berhasil!
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatapku dengan tatapan super dinginnya.
Buset, aku jadi deg-degan nggak karuan gini.
Calm down, Jack... calm down...
“Ngapain lo barusan?!” serunya galak. Ugh, meskipun galak, Phoebe tetap cantik di kedua mataku. Benar-benar sempurna!
“Fotoin elo, dong,” jawabku kalem sambil bersiul.
“Apa?!”
“Belum b***k, kan?”
Arrrgggh!!! Apa aku memang sebrengsek ini sejak kecil? Kalau begitu, Ibuku pasti benar-benar kewalahan membesarkanku selama ini. Ibu, maafkan anakmu yang tampan ini.
Tiba-tiba saja, Phoebe menerjang ke arahku! Tuh, kan, apa kubilang. Gadis itu berbeda dari gadis kebanyakan. Dia unik. Dia menarik. Dia sempurna. Aku langsung mengangkat tanganku tinggi-tinggi ke udara, meminimalisir kemungkinan Phoebe akan merebut ponselku dan menghapus bidikan sempurnaku tadi. Salah sendiri kedua kakinya pendek, sehingga dia tidak bisa merebut ponselku.
Dengan satu gerakan tak terduga, aku langsung memasukkan ponselku ke saku jaket dan langsung menarik pinggang Phoebe. Jarak diantara kami terhapus. Aku bisa melihat ketegangan terpancar dari cara sepasang manik hitam Phoebe kala menatap. Dia berusaha melepaskan diri, namun aku tidak membiarkan. Dari jarak sedekat ini, aku benar-benar menikmati keindahan wajah Phoebe.
Sempurna.
“Dengar Phoebe, mulai detik ini, lo harus mengikuti semua perintah gue.”
“What?! Lo udah sinting, ya?! Nggak! Nggak akan! Lepasin gue! Lepas!”
“Kalau lo nggak mau, foto ini akan gue cetak banyak dan gue sebarin ke seluruh penjuru kampus. Gimana?”
Kedua mata Phoebe membulat maksimal dan aku menahan diri sebisa mungkin agar tidak melahap bibir tipisnya yang menggoda iman itu. Duh, tahan Jack, tahan... lo nggak mau berakhir mengenaskan di kamar mayat karena nekat nyium Phoebe dan akhirnya dihajar membabi buta sama ketiga Abangnya, kan? Batinku mengingatkan.
“Apa yang bakalan anak-anak lakuin kalau mereka ngeliat foto lo yang menyedihkan ini, ya? Pasti dalam pikiran mereka, ‘ah, ternyata Phoebe nggak segalak dan sesangar yang kita kira. Dia itu lemah.’”
Aku hampir saja tertawa ketika mata Phoebe melotot maksimal.
“I don’t think that you have any choices, Phoebe. Take it or leave it?”
Sialnya, seseorang mengganggu kesenanganku sebelum aku sempat mendapat jawaban dari bibir tipis Phoebe itu. Aku dan Phoebe sama-sama menoleh ketika kami mendengar nama gadis itu dipanggil. Rangkulan posesifku pada pinggang Phoebe otomatis terlepas, tatkala aku mengenali siapa orang—lebih tepatnya ketiga orang—yang baru saja memanggil nama gadis itu.
Altaro Abimanyu, Reyhan Taufano Abimanyu dan Zerokha Elroya Abimanyu.
Sial!
Kira-kira, Ibuku akan sedih tidak, ya, kalau aku pergi meninggalkan dunia ini sekarang? Apa dosaku akan terhapus?
Karena, jika dilihat dari cara ketiga Abang sepupu Phoebe menatapku saat ini, aku bisa memastikan bahwa mereka punya hasrat terpendam untuk membunuhku. Minimal menceburkanku ke sungai sss karena aku sudah berani menyentuh saudara sepupu mereka yang cantik itu.
Well... resiko apapun akan aku terima, asalkan aku bisa mendapatkan hati Phoebe.
###