Bab 1

2556 Words
"Lelah memang ada, tetapi hidup bukan untuk menyerah dan mengakhiri segalanya. Karena jalan terbaik yaitu menjalani hidup dengan penuh semangat dan ikhlas." ♡♡♡♡♡ Matahari masih tampak malu-malu keluar dari persembunyiannya. Udara terasa dingin karena tadi malam hujan turun dengan deras hingga sisa-sisa air hujan bercampur tanah menjadi becek. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat seorang gadis berkulit kuning langsat dengan tinggi badan sekitar 156 cm. Gadis muda yang baru lulus sekolah menengah atas namun sudah giat dalam bekerja. Kehidupan yang keras sudah ia lalui begitu banyak. Tidak ada kata mengeluh di bibirnya walaupun di dalam hatinya ia sedih akan hidupnya. Hidup dalam kesendirian sudah ia jalani sejak usianya 16 tahun. Ia memutuskan untuk tinggal sendiri di dalah satu tempat kos dengan harga sewa yang murah per bulannya. Ia tidak lagi tinggal di panti asuhan. Menurutnya ia akan sangat merepotkan pemilik panti asuhan karena di usianya yang sudah remaja itu masih bergantung pada pemilik panti asuhan tersebut. Sudah saatnya ia mencari jati dirinya sendiri. Walau pemilik panti asuhan tidak merasa direpotkan olehnya pun, dirinya tetap memutuskan keluar dari panti asuhan tersebut. Sesekali ia juga datang untuk menemui teman-temannya disana. Ia yang masih sekolah menengah atas pun terpaksa harus berhutang dan bunganya tidaklah sedikit. Ia harus bekerja setiap hari demi membayar hutang tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak ada waktu untuk sekedar bermain dengan teman sebayanya, tidak ada waktu untuk sekedar menikmati masa mudanya dengan jalan-jalan ke tempat wisata, yang ada hanya kerja dan kerja. Seperti kali ini, masih pagi sekali ia sudah sibuk di dapur untuk membuat adonan kue buat ia jual ke toko-toko. Memang tidak seberapa, tetapi bisa membantu mencukupinya untuk membayar hutang. Sebenarnya walau ia memutuskan keluar dari panti asuhan, pemilik panti asuhan masih kekeuh tetap memberikan uang kepadanya untuk sekolah. Namun, lagi-lagi ia menolak. Ia tidak mau merepotkan siapapun lagi. Apalagi banyak anak kecil di panti asuhan yang masih sekolah juga. Jika uangnya ia ambil, itu akan menambah beban saja. Karena uang yang didapatkan dari donasi tidaklah cukup jika untuk menyekolahkan para anak disana. "Astaghfirullah, lupa beli keju," sesal Kayla. Padahal ia tidak memiliki waktu banyak lagi untuk berurusan dengan adonan kue ini. "Ah, tidak perlu keju juga tetap enak. Nanti pulang dari jualan saja beli kejunya," ujarnya lagi pada diri sendiri. Kayla kembali fokus membuat kue. Biasanya waktu yang akan mengejar orang, tetapi dirinya justru mengejar waktu. Karena baginya waktu sangat berharga dan tidak layak untuk disia-siakan. Keseharian Kayla di saat pagi begini memang membuat kue buat dijual ke toko-toko dekat kosnya, setelah itu ia akan berjualan jus dan pisang coklat di pinggir jalan--tepatnya depan toko. Jam 3 siang ia akan mulai mengajar mengaji untuk anak-anak sampai jam 5 sore. Setelah itu ia kembali bekerja mencari rongsokan. Tidak ada waktu untuknya beristirahat. Hanya saat ia akan beribadah saja. ******* "Mbak Kayla, besok banyakin ya buat kuenya. Ibu-ibu biasanya beli banyak gitu. Request juga ya mbak, tambahin rasanya, jangan keju sama coklat saja." Kayla tersenyum bahagia. "Alhamdulillah. Siap, Bu. Besok saya tambahin." "Saya suka lho kue buatan Mbak Kayla, belajar darimana? Masih muda tetapi udah pintar buat kue, pasti pinta masak juga nih." Kayla tersenyum malu. "Masih perlu belajar lagi, Bu," ujarnya merendah. Pemilik toko makanan dimana ia menitipkan kuenya tersenyum menatapnya. "Oh, ya Bu kalau semisal saya nitip jualan sayuran yang sudah matang bolehkah?" tanya Kayla penuh harap. Jika diizinkan lumayan hasilnya nanti dapat ia sisihkan untuk memberi mainan adik-adik panti asuhan tempatnya dulu. "Ya bolehlah, asal enak saja," gurau pemilik toko tersebut. Kayla tersenyum lebar. Lalu setelah itu ia pamit. Ia akan pulang sebentar sebelum bekerja lagi. Ia sudah mandi tadi. Jadi, ia tinggal datang ke tempat ia menjual jus dan pisang coklat tersebut. Besok ia harus bangun sebelum shubuh tiba. Nanti sore ia akan membeli beberapa sayur mayur. Semoga saja masih ada. Andai saja ia memiliki kulkas, pasti lebih memudahkannya untuk menyimpan sayur mayur yang ia beli supaya tidak layu. Sampai di rumah, ia melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 07:00 pagi. Ia merebahkan tubuhnya sejenak di ranjang. Ia akan berjualan pukul 08:00 pagi. Pikirannya menerawang, mengingat masa kecilnya dan kehidupannya yang hanya tinggal di panti asuhan. Ia tidak tahu menahu siapa kedua orang tuanya. Pemilik panti asuhan hanya mengatakan ia anak yatim piatu. Walau ia tidak bisa melihat rupa kedua orang tuanya, ia harus tetap mendo'akan keduanya supaya hidup bahagia selalu. Jika memang benar telah meninggal, ia akan mendo'akan supaya kedua orang tuanya bahagia di surga dan diampuni segala dosanya. Suara ketukan pintu yang lebih terdengar seperti suara gedoran itu membuatnya tersentak kaget. Dengan langkah tergesa ia melangkah mendekati pintu utama. Dua pria bertubuh besar menatapnya dengan mata menyeringai. Kayla menelan ludahnya susah payah. Pria itu mengadahkan tangan tanpa berkata. Kayla menjawab dengan nada takut, "maaf, pak. Saya belum bisa bayar di bulan ini. Apa bisa saya ... " "Apa kata lo?" gertak pria berambut gondrong. "Tolong, beri saya waktu untuk membayarnya. Saya janji bulan depan akan membayar ... " Lagi-lagi pria itu memotong perkataannya. "Janji-janji, lo seperti cewek gak bisa menepati janji." "Bro, lo curhat ya?" ujar temannya yang berambut cepak namun memiliki kumis yang tebal. Si gondrong menghiraukan perkataan temannya, ia menatap Kayla dengan tatapan tajam. "Jadi cewek itu yang dipegang ucapannya, jangan janji-janji doang." "Ma-maaf, pak," ujar Kayla dengan tubuh gemetar. "Saya beri waktu lo sampai minggu depan. Kalau sampai minggu depan lo gak bisa bayar buat yang bulan ini, lo bakal nerima akibatnya." "Bro, dia cewek lo. Lo kok kasar sama cewek? Pantesan lo saat ini masih jomlo." "Diem lo. Lo itu anak buah gue!" Si cepak berkumis tebal itu mendengus sebal. Kayla ingin tertawa mendengar pembicaraan keduanya. Namun ia tidak memiliki keberanian lebih menghadapi kedua pria yang tampak menyeramkan itu. Setelah kedua pria itu pergi dari tempat kosnya, ia kembali masuk ke dalam kamar dengan helaan nafas yang kasar. Ingatannya berputar disaat ia memilih berhutang dengan si gonrong tadi. Pria itu paling kaya di daerah sini. Banyak para tetangga yang berhutang ke pria itu akan tetapi juga bunganya tidak main-main. Jika ia tidak butuh, ia tidak akan berhutang. "Semangat, Kayla! Kamu pasti bisa," ujarnya menguatkan diri sendiri. Ia berhutang juga ada alasannya, ia yang saat itu memutuskan keluar dari panti asuhan dan masih menyandang status sebagai seorang pelajar pun memutuskan untuk berhutang demi dirinya bisa menyelesaikan studinya dengan baik dan lulus. Ia juga masih butuh uang buat biaya hidupnya sehari-hari juga biaya kos perbulannya. Ia memang mendapat beasiswa, namun tetap saja tidak cukup untuk memenuhu kebutuhan sekolah. Ah, sebaiknya sekarang ia segera berangkat kerja.  ************ "Ada berapa huruf idghom bilagunah?" tanya Kayla kepada anak-anak didiknya. Anak-anak tampak berfikir, dan saling bertanya dengan teman lainnya. Satu anak diantara anak lainnya yang cenderung pendiam itu mengacungkan tangan. "Iya, Adam?" Kayla tersenyum memanggil anak bernama Adam itu. "Dua." Kayla mengangguk. "Coba ulangi, biar teman-temannya mendengar dengan jelas." "Ada dua, kak," jawabnya pelan. "Yap, betul sekali. Huruf idghom bilagunah itu ada dua, yaitu ro' dan lam. Disebut idghom bilagunah apabila nun mati dan tanwin bertemu dengan salah satu dari dua huruf hijaiyah tersebut. Paham anak-anak?" Kayla menatap satu persatu anak-anak yang datang kali ini. "InsyaAllah paham." "Sekarang baca kembali surah Al-ikhlas, lalu kita akhiri dengan bacaan kafaratul majelis." "Baik, Kak." Kayla tersenyum melihat anak-anak didiknya bersemangat. Ia disini dipanggil 'kak', karena memang ia ingin saja. Yang penting pembelajaran yang ia berikan selama ini masuk ke hati maupun pikiran anak-anak tersebut. Lebih baiknya jika selalu diterapkan dalam kehidupan, tentu ia akan sangat senang. Setelah acara salam-menyalami selesai dan anak-anak sudah pulang, Kayla pun melihat sekeliling ruangan apakah ada barang anak-anak yang ketinggalan atau tidak. Jika dirasa tidak, ia memilih pulang saja. Beristirahat sejenak, lalu berangkat mencari barang rongsokan. Depan toko Bu Naili yang tak lain pemilik toko dimana ia menitipkan kue dagangannya, memanggil dirinya. Ia memutuskan menghampiri Bu Naili terlebih dahulu. Entah ada apa, karena biasanya ia akan mengambil wadah di pagi hari sekaligus ia membawa kue yang baru dibuatnya pagi sekali. "Ada apa, Bu?" tanya Kayla dengan sopan. Bu Naili menunjukkan wadah yang masih berisikan kue lumayan banyak. Kayla kecewa melihatnya. "Hari ini penjualan kuemu menurun, tidak seperti biasanya. Katanya di pojok jalan sana ada penjual kue juga yang tak kalah enak dan beraneka macam rasa. Banyak ibu-ibu yang beli kesana daripada beli kuemu," jelas Bu Naili. Kayla berusaha tersenyum mendengarnya. "Tidak apa-apa, Bu. Alhamdulillah setidaknya masih ada yang beli." "Besok ditambahin lho ya macam rasanya, biar banyak yang beli. Saya seneng banyak yang beli gitu," ujar Bu Naili. "Baik, Bu. Saya sekalian beli keju, selai strowberry, dan meses coklat saja." Bu Naili mengangguk dan mengambil perasa kue yang diminta oleh Kayla. Masih banyak sekali kue di wadah tersebut. Mungkin hanya lima saja yang terjual. Kayla menatap lesu. Jujur saja ia kecewa, tidak sepertia biasanya yang habis terjual dan terkadang hanya sisa satu atau dua. Mau diapakan itu kue? "Nih." Kayla mengambil plastik hitam itu dari tangan Bu Naili. Kayla menyerahkan uang kepada Bu Naili. "Bu, kalau mau ambil kue itu ambil saja," ujar Kayla. Daripada tidak dimakan lebih baik dibagi ke orang lain saja. "Wah, beneran nih?" tanya Bu Naili dengan sumringah. "Iya, Bu." "Ya udah, aku ambil 5 saja ya Kayla." Kayla mengangguk. Lalu ia membawa wadah tersebut yang masih berisi kue juga dibawanya pulang. Mungkin ia akan membagikannya kepada tetangga kosnya. "Tidak apa-apa, semangat!" celetuk Kayla menyemangati diri sendiri. Kecewa pasti, apalagi ini harapannya untuk menambahi dalam membayar hutangnya. Ah, ia harus kuat. Lagipula ini sudah konsekuensinya. Ia sebagai manusia hanya bisa berusaha, selebihnya Allah yang menentukan. ******* Kayla membuka tong sampah dan mencari botol-botol bekas disana. Ia mendesah kecewa saat hanya mendapat satu botol saja. Ia berjalan kembali ke tempat lainnya supaya karung yang ia bawa penuh. "Mbak Kayla, malam-malam masih kerja saja," sapa tetangga kosnya yang kebetulan sedang keluar menikmati udara malam. Kayla tersenyum tipis. "Iya, kak." "Lain kali kalau capek gak usah dipaksain, kamu ini masih muda lho. Kalau kebanyakan berfikir nanti mukamu jadi kelihatan tua." "Iya, kak. Terima kasih nasehatnya," jawab Kayla sambil tersenyum manis. Kayla tak perlu menjelaskan bagaimana keadaannya yang sebenarnya. Walaupun tetangga kosnya pasti mengetahui jika ada dua lelaki bertubuh besar yang datang menagih hutang padanya. Kayla lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat berhenti tadi. Ia memutuskan keluar dari desanya menuju desa lainnya. Dengan harapan supaya karung ini terisi penuh. "Kayla," panggil suara berat khas lelaki. Kayla menoleh. Ia memicingkan matanya menatap lelaki berperawakan kurus namun tinggi itu. "Kayla, kamu Kayla kan?" Kayla menatap wajah itu dengan seksama, hingga ia melebarkan bibirnya. "Kak Argan?" Argan, lelaki itu mengangguk. Ia menatap penampilan Kayla dari atas sampai bawah secara berulang. Kayla yang ditatap seperti itu hanya diam saja. "Kamu mulung?" tanya Argan yang masih diliputi keterkejutan. Kayla mengangguk. "Lama gak ketemu, kamu jadi pemulung Kay?" Argan menahan marah melihat kondisi Kayla saat ini. "Hmm, lebih baik kita bicara disana, kak." Kayla menunjuk warung bakso. Argan mengangguk setuju. Kayla menyembunyikan karungnya di tempat yang sekiranya tidak diambil orang. Ia akan melanjutkannya nanti. "Mas, pesen baksonya dua ya, sama minumnya teh hangat saja," ujar Argan kepada penjual bakso. Kayla belum sempat memesan sudah didahului oleh Argan. Ia hanya menurut saja. Kini, Kayla duduk berhadapan dengan Argan. Kayla berkata, "Bagaimana kabar kak Argan?" "Ya seperti yang kamu lihat." Kayla tersenyum tipis. Penampilan lelaki itu begitu keren. Sepertinya hidupnya sudah lebih enak daripada dirinya. "Aku gak perlu tanya kabarmu, sudah tahu bagaimana kondisimu saat ini. Sekarang kakak tanya, kenapa memutuskan keluar dari panti asuhan jika akhirnya kamu begini, Kayla?" Kayla menunduk. "Kak, aku gak mau membebani ibu. Kakak tahu kan penghuni panti tidaklah sedikit dan masih banyak yang bersekolah." "Iya, kakak tahu. Tetapi kamu juga gak harus keluar dari panti itu, Kayla." Kayla memberanikan diri menatap kedua mata Argan. "Kenapa?" "Kakak gak suka melihat kondisimu saat ini," ujar Argan. Ia hendak meraih kedua tangan Kayla, namun Kayla dengan segera menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja. "Kak, ini semua sudah menjadi keputusanku. Aku juga ingin belajar lebih mandiri lagi, aku gak mau terus-terusan menyusahkan ibu. Aku ini siapa kak? Sudah dirawat dan dibesarkan dengan baik oleh ibu aku udah senang." Argan terdiam. "Kakak kerja dimana?" tanya Kayla mengalihkan pembahasan tadi. Argan menghela nafas. "Kakak jadi wartawan, baru setahun ini." "Alhamdulillah, aku seneng dengernya." "Kakak datang ke panti setelah dua tahun kakak pergi demi mencari pekerjaan, dan disana kakak gak menemukan kamu. Kakak tanya ibu tentang keberadaan kamu, kakak cari kamu ke kosmu tetapi kamu gak ada. Akhirnya ketemu tadi disini. Kakak senang bisa melihatmu lagi, tetapi kenapa kondisimu seperti ini Kayla? Kita sedari kecil bareng-bareng. Kakak memang lebih tua dari kamu lima tahun. Tetapi, kakak sudah menganggapmu sebagai adik." Kayla terdiam. Ia terharu mendengarnya. Ia juga menganggap Argan sebagai kakaknya, karena selain dengan ibu pemilik panti asuhan, ia dekat dengan Argan. Ia tinggal bersama sedari kecil dengan Argan sampai lelaki itu selesai kuliah. Argan bisa kuliah karena mendapatkan beasiswa. "Kak..." "Dengarkan kakak, mulai sekarang kamu ikut tinggal sama kakak saja." "Tidak bisa!" jawab Kayla dengan tegas. Karena selain ia tidak mau menyusahkan Argan, ia dan Argan juga bukan muhrim. "Kenapa?" tanya Argan kecewa. "Aku ingin mandiri saja, kak," jawab Kayla meyakinkan. Jika ia bilang tidak mau menyusahkan lelaki itu, sudah pasti Argan akan tetap kekeuh memintanya untuk tinggal bersama. "Benar katamu?" tanya Argan. Kayla mengangguk dan tersenyum. Argan menghela nafas kasar. "Baiklah jika itu kemauanmu. Kalau ada apa-apa bilang sama kakak. Kamu punya ponsel?" Kayla menggelengkan kepala. Argan membuka resleting tasnya, mengeluarkan ponsel lamanya dan diberikan kepada Kayla. "Itu ponsel lama kakak. Cuman kakak pakai buat game saja. Nanti kita mampir beli kartu dulu, supaya bisa saling menghubungi." Kayla merasa sungkan untuk menerimanya. "Terima, Kayla. Kakak seneng kalau kamu menerimanya." Kayla akhirnya menerima ponsel tersebut. Katanya ponsel lama, namun masih tampak bagus. "Ingat kata kakak tadi lho, ya. Kalau ada apa-apa bilang sama kakak." "Terima kasih, kak," ujar Kayla sambil tersenyum. Argan hanya mengulas senyuman lebar saja. ********* Kayla mengeluh tidak bisa tidur malam ini, tubuhnya terasa pegal. Memang selama seminggu ini ia kerja keras pagi-siang-malam demi mendapatkan uang yang cukup buat membayar hutang. Ia sampai telat untuk makan. Selama ini tubuhnya mungkin hanya diam merespon, tetapi kali ini begitu marah karena dirinya tidak bisa menjaganya dengan baik. "Ya Allah, sesungguhnya hanya kepadamu hamba meminta. Engkau yang lebih tahu bagaimana kehidupan hamba selama ini. Berikan kesabaran untuk hamba, berikan kebaikan untuk hamba, berikan kekuatan untuk hamba, Ya Allah." Kayla mengangkat kedua tangannya, ia berdo'a demi dirimya sendiri. Malam ini, ia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Belum lagi besok ia akan kembali bekerja dan datang ke tempat dimana ia berhutang. "Sabar, Kayla. Kesabaranmu pasti akan berbuah manis," ujarnya menyemangati dirinya sendiri. Ia melirik ponsel yang diberikan oleh Argan. Ia ingin menghubungi lelaki itu, meminta tolong dan menceritakan masalahnya. Mungkin dapat membuat sesak didadanya terasa lega. Namun, ia merasa sungkan. Ia tidak mau menyusahkan Argan, walau lelaki itu telah menganggap dirinya sebagai adiknya sendiri. Kayla menangis. Ia menenggelamkan kepalanya diantara lekukan kakinya. "Kenapa harus aku? Sakit sekali hidup dalam kesendirian. Mau curhat, gak berani," ujarnya sambil menangis. Jika gadis seusianya sibuk berdandan mempercantik diri, ia justru sibuk bekerja demi membayar hutang dan memenuhi kehidupannya. Hidup dalam kesendirian memang membuatnya mau tidak mau harus jadi gadis yang mandiri. "Ibu, bapak, kalian dimana? Kenapa ninggalin Kayla di panti asuhan? Apa Kayla hanya membuat beban bagi kalian? Jika begitu, kenapa Kayla harus dilahirkan." Malam ini ia mengeluarkan keluh kesahnya selama ini. Pertahanannya runtuh. Ia tidak bisa memendamnya sendirian, namun dilain sisi ia tidak bisa menceritakannya kepada yang lainnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD