Bab 3. Naga Api dan Penyihir Hitam

1754 Words
Bersembunyi di balik gedung berbentuk limas, Arden mengamati tiap gerakan warga Seberang yang berlari serabutan. Kerajaan ini tidak sedang baik-baik saja. Banyak bangunan hancur terbakar, anak-anak bercerai dengan orang tuanya, dan beberapa elite kerajaan mengalami luka parah. Semua kekacauan ini disebabkan oleh Cho Egan dan kelompoknya. Mereka memakai pakaian serba hitam dengan kain merah terikat di paha kiri. Mungkinkah sebuah simbol pemberontakan? Arden membenahi tudung kepala. Robin di samping sudah menggunakan keahlian matanya. Posisi Egan seharusnya mencolok dengan rambut merah, memungkinkan mereka berdua lebih cepat menemukan target. “DI SANA!” Sha Arden mulai berlari membelah para warga. Asap dari kekacauan mulai mengusik penglihatan juga pasokan udara. Laki-laki itu melompat cukup tinggi dan mendarat di atap bangunan yang kokoh. Robin mengikuti di belakang Arden. Kucing itu akan melompat kembali, tapi Arden menghilang. Terlihatlah, laki-laki itu sedang menarik seorang anak yang terjebak di antara reruntuhan dan mengantarkan pada orang tuanya. Saat Arden kembali, Robin hanya berdecih. Dalam keadaan seperti ini, masih saja jiwa pendekar Arden muncul. “Kenapa orang-orang di sini menyukai tempat persembunyian yang sama, meow?” Arden mendengus. Pergerakan kelompok Egan sama persis seperti anak-anak yang mencoba merampok pusaka lotus. “Mungkin, menjadi ciri khas mereka.” Kaki Arden kembali menapak di atas atap tanpa tergelincir, meninggalkan Robin. Posisinya sudah dekat dengan kelompok pemberontak. Sepertinya mereka menyadari kehadiran Arden, maka dilemparlah wariorr itu dengan potongan besi-besi kecil yang tajam. Arden berhasil menghindar dengan melompat dan memutar tubuh. Kaki kanannya sebagai tumpu, menapak di bagian atap yang kuat. Arden berhasil turun menghadang pergerakan Egan dengan mulus. “Sialan!” Kelompok ini terdiri dari lima orang bercadar, Egan memimpin di depan. Rambut merah manusia naga itu berkibar di antara angin malam. Matanya sangat tajam mengamati Arden. “Dia bukan orang Seberang!” ungkap anggota Egan di sampingnya. “Hahaha ... para elite sepertinya sudah putus asa, mereka meminta bantuan orang luar!” Mendengar penuturan anggotanya, Egan menaikkan sebelah ujung bibirnya di balik cadar hitam. Tangan kanannya terangkat dan munculah gumpalan api merah yang berkobar. “Ingin bermain dengan apiku, orang asing?!” Arden tersenyum. Melakukan gerakan yang sama seperti Egan. “Apiku pun selalu siap, Egan.” Para pemberontak terkejut. Melihat dua orang pengguna elemen api saling berhadapan, membuat nyalinya menciut. Kekuatan mereka bahkan masih di level dasar. “Kau yakin, Egan?” Anggotanya terlihat akan kabur. Egan berdecak. Mengapa harus orang-orang penakut yang selalu bersamanya saat menjalankan misi? Selain itu, laki-laki bertudung ini pengguna elemen api sama seperti dirinya. Siapa orang ini? Dari mana asalnya? Mungkinkah orang Shuru? Kerajaan itu menaruh andil dalam mencetak banyak keturunan berelemen api. Senyum tipis tercetak di bibir Arden. Sebuah kesempatan emas untuk melompat dan melayang di udara. Wajahnya yang tidak tertutup tudung kepala terbiasi cahaya api di tangannya. Egan terlalu lama berpikir dan menerka-nerka, maka api Arden pun menyembur ke arah anggota pemberontak tanpa menyentuh Egan sedikit pun. “Aarrgggghhh! Panas!” “Orang asing t***l!” “Egan, jangan diam saja!” “PANAS! PANAS! PANAS!” Manusia naga terkejut. Api di tangannya menghilang. Ia berbalik pada anggotanya yang sudah kalang kabut berlarian sambil berusaha memadamkan api yang menggerogoti tubuh. “Cih, apa-apaan mereka itu? Baru terkena api saja sudah kabur,” gumam Egan penuh emosi. Namun, manusia naga baru menyadari sesuatu. Tubuhnya tidak ikut terbakar. Pria bertudung tidak menyentuhnya sama sekali, menyisakan dirinya seorang. Apa motif di baliknya? Mungkinkah mengincar dirinya? “Kelompok pemberontak itu sepertinya telah mengubahmu.” Arden turun. “Kau terlalu banyak berpikir, tidak seperti Egan yang kukenal.” Dahi Egan mengerut. Sudah sangat jelas yang diincar adalah dirinya. Maka Egan berbalik dan memberikan senyum congkak. “Oh ya? Kau sepertinya sangat mengenaliku.” “Tidak juga.” Tudung di kepala Arden disingkap. Wajah di baliknya perlahan disinari cahaya bulan. Lelaki dengan rambut dan bolamata sehitam langit malam sangat kontras di mata Egan. Sosok ini begitu kental diingatan masa lalunya. “Kau ... Arden?!” “Tepat sekali.” “Apa yang membawamu kemari?” “Kau.” “Aku? Apa maksudmu? Para elite yang memintamu kemari?” Arden menggeleng. Gulungan kertas yang pernah Tuan Cho berikan, ia tunjukan pada Egan. “Ayahmu yang memberiku ini.” “Cih, pak tua itu telah menjualku pada kalian senilai 70.000 RiL?” “Dan kami mengincar pedang pemberian ayahmu, meow!!” Robin muncul dari atap gedung dengan keempat kaki dipenuhi cakar. Lehernya terdapat tali rotan panjang yang didapatnya entah dari mana. “Arden! Sekarang!” Pria wariorr segera menyerang Egan yang kehilangan fokus. Manusia naga berhasil dibanting dan dikunci pergerakannya. Tali yang berada di leher Robin ditarik untuk mengikat kedua tangan Egan. “Katakan di mana pedang buatan ayahmu, meow!!” Robin menggunakan cakar beracunnya untuk menodong leher Egan. “Pedang apa? Aku tidak memilikinya!” “Berhenti berbohong!” “Untuk apa aku berbohong pada kalian?!” Suasana malam yang sepi membuat keadaan menjadi tegang. Robin semakin mendekatkan cakar beracunnya pada leher Egan. Mata Robin yang dapat berkilau di malam hari membuat sosoknya menjadi sedikit mengerikan. “Untuk ular sepertimu bagaimana kita bisa percaya?” Robin kembali dengan mulut pedasnya. Mendengar itu Egan pun berdesis. Matanya memicing dengan taring yang mulai tumbuh. Arden mengamati perubahan Egan yang akan menjadi naga, tapi tidak mungkin saat tali yang mengikat ternyata telah diberi mantra oleh Robin. “Aku bukan ular! Aku naga! Kami selalu menjunjung kebenaran. Jaga ucapanmu, kucing!” Bolamata Egan tersulut. Harga diri kaum naga sangat tinggi dan amarah menjadi salah satu kelemahan mereka. Sebelumnya Arden pernah ikut melawan seekor naga bersama Marcus di Teluk Abraham, letaknya tidak jauh dari Kerajaan Shuru. Jadi ia bisa tahu segala hal tentang naga dari ayahnya. Anehnya, Arden bisa melihat kobaran api di dalam dua mata Egan—benar-benar seperti api asli. Ayahnya pernah berkata ‘Setiap naga memiliki mata yang sama dan akan selalu kosong’, tapi Egan berbeda. “Tidak mungkin ....” “Apanya yang tidak mungkin?” Robin menoleh pada Arden yang terlihat agak terkejut. “Dia benar, pedang itu tidak ada padanya.” Arden menatap tajam Egan, ditariknya tubuh manusia naga itu untuk berdiri dan menggiringnya menuju balju Kerajaan Seberang. *** Emily membuka tudung kepala saat memasuki salah satu perkarangan rumah di pinggir hutan terkutuk, milik penyihir hitam yang diceritakan Kanza. Pria itu bersungguh-sungguh mengusir Emily setelah kesekian kali ditolak. Mengingat hal itu Emily merasa tidak enak hati. Tatapan Emily menajam tatkala beberapa orang berjubah hitam dan kupluk besar, bertengger di tiap sudut. Emily tidak takut sama sekali, tapi ia harus waspada di mana pun kakinya berpijak. Namun, orang-orang itu sama sekali tidak menghalangi jalannya. Mereka hanya mengamati sosok Emily dari ujung rambut sampai kaki. Perempuan itu berhasil masuk dengan mulus. Rumah ini ternyata tidak semenakutkan luarnya. Ada beberapa bagian yang terbuat dari perunggu dan perak. “Seseorang yang tersesat, ya?” Sosok pria duduk di belakang bola kristal hitamnya. Ia tersenyum ketika menatap Emily yang langsung siaga. Pria ini berambut putih seutuhnya. Informasi yang Kanza berikan, ia bernama Lim. Terlihat lebih muda dari dugaan Emily. Dalam pikirannya gambaran penyihir hitam terlihat mengerikan seperti mitos di bumi. “Aku mendapat rekomendasi dari ketua Zerdon.” “Kanza?” Emily mengangguk. “Apa yang ingin kau tanyakan, Nona cantik?” “Jika benar kau penyihir hebat itu, bukankah seharusnya kau sudah tahu apa yang kualami?” Pria itu terkekeh. “Zerdon dengan keangkuhannya. Baik, duduklah terlebih dahulu, Nona! Perjalanan kemari cukup jauh bukan?” Perempuan assassin mendengus. Pantatnya mendarat di atas bantal tepat di hadapan penyihir. Ia dibuat terheran-heran saat laki-laki bernama Lim ini mulai memejamkan mata dan tangannya terangkat memainkan bola kristal. Asap hitam muncul dan perlahan menyelimuti tubuh keduanya. Sepersekian detik mata Lim terbuka dan mengamati Emily. ‘Apa mantranya sudah selesai?’ pikir Emily. “Wanita yang malang. Aku bisa melihat putrimu sedang bermain.” Mendengar itu Emily tentu terkejut. Lim tahu mengenai kehidupannya di Bumi. Melihat reaksi Emily, penyihir tersenyum miring. “Beberapa anak sepertinya menghampiri dan menggunjing putrimu.” “Maksudmu apa?” “Sangat menyedihkan, anak-anak itu mengatai putrimu yatim-piatu.” Lim mengamati Emily yang terlihat risau. Ibu mana yang tidak khawatir jika anaknya diganggu? “Aku bisa melihat masa depan anakmu, jika kau mau.” “Katakan!” Gerakan Lim terhenti. “Kau yakin? Masa depan terkadang lebih menyakitkan dari masa lalu.” “Katakan saja!” “Baiklah.” Tangan Lim kembali menyentuh bola kristalnya. “Amis, aku mencium bau darah.” Emily mengerutkan dahi heran. Penyihir di depannya bergumam dengan mata tertutup “Kau tidak akan senang mendengarnya, Nona,” Lim mencelik. “Putrimu akan tewas di tangan salah satu orang terdekatmu. Dia wanita berambut lurus panjang. Entah siapa, tapi putrimu sering memanggilnya Aunty.” “Tidak mungkin ....” “Kau hanya perlu mempercayai apa yang ingin kau percayai. Semua keputusan ada di tanganmu, Nona,” Lim tersenyum tipis. “Tapi kau bisa mematahkan ramalanku.” “Katakan, bagaimana aku bisa melindunginya!” “Agak sulit, Nona.” Tangan Lim kembali bergerak. Asap hitam menyelimuti telapaknya dan sebuah buku muncul dari sana. “Buku ini milik manusia sepertimu yang terjebak di Grill dan dia telah kembali ke asalnya.” Buku di tangan Lim segera Emily ambil. Benar, buku ini berasal dari bumi, salah satu karya Dan Brown. Walau Emily bukan kutu buku, ia pernah melihat buku ini di beberapa tempat. “Bagaimana cara dia kembali?” "Aku ragu kau bisa melakukannya, tapi tidak ada salahnya mencoba." Lim mengamati Emily, netranya terlihat memiliki tekad yang kuat. "Kembali ke bumi memerlukan kekuatan yang besar." “Kekuatan besar?” “Ya, tentu memerlukan pengorbanan yang besar juga. Grill tercipta dari dua pusaka murni, yaitu cahaya lotus dan api abadi. Jika kau bisa mendapatkannya, aku bisa membantumu kembali.” “Aku baru dengar soal lotus dan api abadi.” “Memang, hal ini seharusnya tidak dibeberkan pada orang awam, bahkan makhluk asing sepertimu. Aku berani melanggarnya, karena ingin membantu orang-orang yang tersesat.” “Baiklah, sebenarnya aku tidak peduli soal apa pun itu yang penting aku bisa kembali ke bumi.” Emily menarik sekantung uang yang ditaruh di dekat bola kristal. “Katakan di mana aku bisa mendapatkan dua benda itu?” Buntalan uang menarik atensi Lim. Pria penyihir tersenyum tipis, “Hm, benda ya.” Kembali buntalan itu diserahkan lagi pada Emily. “Uang itu lebih baik kau gunakan untuk perjalananmu, karena yang kulihat dua pusaka itu ada di tangan pria pengembara yang sedang menuju Nirvana.” “Nirvana? Bukankah tempat itu hanya dongeng semata?” Lim tergelak. Emily benar-benar lucu. “Bukankah sejak awal pria di hadapanmu ini hanyalah dongeng yang sering kau ceritakan pada putrimu sebelum tidur?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD