Sinar mentari perlahan menggelitik wajah seorang pria yang masih tertidur di atas ranjang bermotif mahkluk panjang yang sering orang-orang sebuh sebagai Naga. Kelopak matanya bergerak-gerak, seiring dengan kesadarannya yang mulai kembali. Desisan keluar tatkala ia mencoba menggerakkan tubuh. Rasanya tiap gerakan otot dan tulang bisa terdengar nyaring. Belum lagi suara-suara dari luar menggema di telinga, seakan menjadi faktor kebangkitannya.
“Ugh, di mana aku?” ucap Sha Arden parau.
Ia mulai mengitarkan pandangan, lebih tepatnya sebuah ruangan yang dilapisi kayu yang kokoh. Bagian kanannya terdapat jendela yang terbuka lebar. Namun, ada sosok gadis bergaun putih berdiri, menatap pemandangan luar yang indah di samping jendela. Sosok yang begitu anggun dengan rambut panjangnya yang lurus, terkena angin semilir.
Arden terkejut, sosok ini sangat dikenalnya. “Putri Nara?!”
Kepalanya mendadak pening. Ingatan pria tersebut berputar di kejadian beberapa waktu yang lalu.
***
Kucing Robin termangu. Keempat kakinya melangkah di samping Arden dengan Egan yang terikat, mengekor. Ia terus menganalisa. Bagaimana mungkin naga tidak bisa lepas dari tali miliknya? Memang telah dimantrai, hanya saja naga adalah makhluk terkuat di dunia, mantra seperti ini hanya ampas bagi mereka.
Lalu Arden? Mengapa laki-laki itu terlihat biasa saja? Bukankah sudah jelas ada kejanggalan pada sikap Egan yang anteng-anteng saja digiring ke pusat Balju Seberang? Sangat mencurigakan!
Hingga ketiganya sampai di tempat tujuan, tetap tidak ada perubahan pada mereka. Orang-orang atau lebih tepatnya petugas Balju yang sedang berjaga di sana dibuat terkejut bukan main. Siapa sangka Cho Egan si buronan licin dengan mudahnya ditangkap orang baru seperti Arden?
Wajah sumringah diperlihatkan para petugas. Salah satu petugas segera menarik Egan untuk dimasukan ke penjara bawah tanah.
Kepala balju yang berada di ruangannya dan segera mendengar info tersebut pun langsung menemui dua pengembara yang berhasil menangkap buronan paling sulit untuk ditangkap, siapa lagi kalau bukan Cho Egan. Saat bertemu selayaknya orang-orang Grill, mereka memiliki salam khusus untuk saling menghormati. Kepala Balju menaruh telapak tangan kanannya di d**a sebelah kiri dan membungkuk ringan.
Arden dan Robin membalas dengan gerakan yang sama.
“Terimakasih sudah menangkap Cho Egan. Kami pikir status buronannya akan menjadi abadi,” ucap kepala balju penuh kelegaan.
“Kebetulan seseorang menunjukan lembaran sayembara dan kami tertarik dengan hadiahnya.”
Kepala Balju tersenyum pada keduanya, sekiranya ia paham apa yang dimaksud Arden. “Oh, tentu saja. Anak buah saya akan mengambilkan imbalannya.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Oh, tidak kami yang seharusnya terima kasih.”
Arden dan Robin pun berpamitan setelah mendapat 70.000 RiL. Mereka belanja banyak barang, bahkan hal yang tidak diperlukan. Salah satunya Arden telah membeli permen apel yang sangat terkenal di Seberang. Robin pun tidak ingin kalah, ia membeli makanan kucing termahal yang pernah diproduksi di Grill.
“Bagaimana pedangnya, meow?” tanya Robin, sudah bertengger di salah satu pohon bercabang.
Mereka memilih berhenti sementara waktu, Arden bilang untuk menghabiskan permen apel miliknya.
“Kita bisa ke Nirvana tanpa pedang itu.”
“Kau bodoh ya? Pedang itu akan sangat membantu. Kita tidak tahu berapa musuh yang akan menyerang, seberapa kuat mereka. Belum lagi orang-orang Kreon. Bodoh jika mereka tidak mencurigaimu, meow!”
Arden mendesah. Tusuk kayu sebagai gagang permen apelnya perlahan dibakar dengan kekuatan elemen api miliknya. Permen apel khas Negeri Seberang memiliki rasa manis yang tidak berlebihan. Memang kerajaan tersebut memiliki wilayah dengan makanan unik dan lezat.
Tangan Arden menyentuh tas slempangnya yang berisi pusaka lotus. “Kalau begitu kita tunggu saja,” timpal Arden kemudian.
“Tunggu? Maksudmu?”
“Kita tunggu pedang naga api itu muncul.”
Arden mengingat ucapan terakhir Tuan Cho. Pria tua itu tidak menjelaskan secara detail, hanya memberi sebuah informasi terakhir yang ia berikan pada Arden, bahwa pedang buatan Tuan Cho yang semula akan diberikan pada Sha Marcus kemudian dialih serahkan pada Sha Arden bernama Pedang Naga Api.
Warrior tersebut mengamati tembok yang berdiri kokoh di hadapannya cukup jauh. Arden dan Robin beristirahat di atas bukit di pinggir pemukiman warga. Rumah-rumah terlihat mengecil dengan cahaya berkedip dari lentera yang dimiliki tiap rumah.
Suasana ini mengingatkan Arden saat dirinya bertugas sebagai warrior Kerajaan Shuru. Ketika teman-temannya memilih istirahat, Arden terus berjaga walau terkantuk-kantuk. Impiannya ingin menjadi warrior terkuat seperti mendiang ayahnya. Sebuah senyum muncul di wajah Arden, ayahnya benar-benar sosok yang sangat ia idolakan.
“Sama sekali aku tidak mengerti jalan pikiranmu, meow!” Robin mulai mengomel.
Serbuk cahaya berkelip-kedip di langit gelap tepat di atas tembok, menarik atensi Arden. Ia mendongak masih dengan wajah senyumnya. “Kau akan tahu nanti, karena aku pun masih menerka-nerka.” Arden menyentuh kalung liontin taring beruang di lehernya. “Firasatku berkata, benar.”
“Firasat? Kau satu-satunya orang yang kukenali yang selalu menggunakan perasaannya dalam bertindak.” Robin menguap. “Bukan main!”
Mendengar itu Arden kembali tersenyum tipis, membiarkan Robin berucap sesukanya.
Robin yang akan menutup mata, mendadak otaknya bekerja ekstra. Sebuah letupan tiba-tiba terpencar di kepala. Bisa-bisanya kucing tersebut tidak menyadari di mana tempatnya sekarang berpijak. Tepatnya, tembok yang terbentang di depan sana merupakan pembatas antara pemukiman dengan penjara bawah tanah. Egan ada di sana, di bawah sana.
“Sialan, kau menyembunyikannya seorang diri?!” Robin menegakkan tubuhnya.
“Hm?” Arden menoleh, kemudian terkekeh. “Kau saja yang terlalu lamban berpikir.”
“Kau-.” Robin tidak menyelesaikan ucapannya.
BOOM!
WUSH!
Kucing jahe tersebut terperanjat.
Ledakan tiba-tiba terjadi di permukaan penjara bawah tanah. Api melambung dengan percikannya ke segala arah. Dentumannya juga menyebabkan tanah bergetar dan angin kencang menyerbu dua pengembara. Tubuh keduanya seperti diterpa badai angin yang mampu menggoyahkan pijakan kaki.
Api yang mulai sedikit padam, melambungkan asap bagaikan kain woll tidak beraturan. Gumpalannya semakin menggelapkan suasana di malam hari. Tidak sampai di sana, sosok makhluk raksasa, panjang dan diselimuti sisik, terlihat berpijar dari bawah tanah.
Arden menatap pemandangan di depannya dengan tenang. Sebenarnya bukan hanya Robin, Arden pun berpikiran hal yang sama ketika Egan tidak memberontak sama sekali saat dibawa ke markas Balju kerajaan Seberang tadi.
“Makhluk itu Cho Egan?” tanya Robin sudah dalam keadaan berdiri, cakar-cakarnya sudah menggores beberapa dahan pohon.
Arden melirik Robin sekilas. “Ya, dia berubah menjadi naga.”
“Sebuah kesalahan berusaha mengurung naga. Makhluk itu terlalu kuat, dan aku yakin pihak Seberang sama sekali tidak tahu wujud asli Egan.”
Sosok naga yang ternyata Cho Egan tersebut mulai terbang berputar dan menyemburkan api ke area penjara. Orang-orang mulai berhamburan, seperti penjaga dan tahanan lainnya.
Keadaan semakin chaos, terlihat Egan kian menjadi.
Raut wajah Arden mulai tidak tenang. Perlahan buntalan barang bawaannya dilempar hingga menggantung di salah satu ranting pohon yang sempat menjadi tempat istirahat Robin. Warrior itu pun melangkah, semakin cepat menapak menuju kawasan penduduk.
Sebelah tangannya menyentuh tas slempang untuk memastikan lotus tetap aman di sana.
“ARDEN!” Tidak berguna, teriakan Robin sama sekali tidak diacuhkan. Kucing itu berdecak, sama sekali tidak mengerti atas tindakan Arden.
“Apa Arden ingin menyelamatkan penduduk Seberang?” Robin mendesah lelah. Kaki mungilnya mulai menapak tanah dan menyusul Arden. “Dasar manusia bodoh, meow!”
Kali ini Arden semakin dekat dengan tubuh naga. Kakinya berlari di atap-atap rumah warga, menyusuri seberapa besar wujud naga Cho Egan, ternyata sangat besar dan panjangnya bisa sampai ratusan, bahkan ribuan meter. Sisik naga Egan berwarna hitam dan berkilau terkena cahaya bulan. Sha Arden menggeleng, tidak ada waktu untuk terkesima, Ia mulai melompat turun dari atap pemukiman warga.
“Pergi ke selatan! Cepat!” Arden menarik seseorang warga yang terjebak dan menyuruhnya menjauh dari wilayah yang sudah tidak beraturan.
“Terima kasih, terima kasih, Tuan!” ucap warga tersebut.
Selain warga yang diselamatkan Arden, warga lainnya yang sama ketakutannya mulai berhamburan saling berteriak. Sebisa mungkin Arden menyelamatkan mereka dan dibantu oleh Robin yang baru tiba.
Cho Egan benar-benar mengamuk. Apinya sudah tersebar hampir setengah dari Kerajaan Seberang. Asap dan panasnya api mulai memakan banyak korban. Beberapa prajurit yang tersebar berusaha mengevakuasi warga semampu mereka. Kini Arden berdiri di atas salah satu menara pengintai berada di tengah kota. Sebelah tangannya menggenggam belati tajam miliknya.
Para warga sudah mengamankan diri menuju selatan seperti perintah Arden. Hal tersebut mempermudah dirinya untuk menghadapi Egan.
“CHO EGAN!!” teriakan Arden begitu keras dan menggema.
Robin menoleh. Ia yang sedang mengamankan para warga menatap ke arah Arden. Segera kucing itu berlari menyusul.
Egan yang masih berwujud naga terbang memutar, berbalik arah. Terlihat di dalam matanya, Sha Arden melayang dengan api menyelimuti tubuhnya sendiri, api yang Egan ketahui sebagai api elemen milik orang-orang Shuru.
Note:
Balju : Polisi di dunia Grill