Ungkapan Perasaan
“Uncle udah tahu, kalau aku cinta sama Uncle. So! Sekarang Uncle pilih.”
Suara Diana pecah dalam keheningan malam, menggetarkan ruang di antara mereka. Kata-kata itu meluncur dari bibirnya dengan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan, namun penuh ancaman yang tersirat.
Angin malam yang dingin tak sebanding dengan dinginnya perasaan Sean ketika mendengar pengakuan itu. Dia menatap Diana, gadis yang selama ini ia jaga dengan sepenuh hati sejak kedua orang tuanya pergi meninggalkannya.
Sejak kecil, gadis itu adalah tanggung jawabnya, tak pernah terlintas sedikit pun pikiran yang tidak pantas.
“Pilih apa?” Suara Sean keluar, datar dan berat. Dia mencoba menyembunyikan gejolak dalam hatinya yang tiba-tiba muncul akibat ucapan itu.
Diana melipat tangannya di d**a, seolah mencoba melindungi dirinya dari penolakan yang mungkin akan datang, namun tatapannya tidak goyah.
Mata cokelatnya, yang biasanya lembut dan penuh kasih, kini menyala dengan api yang tak pernah dilihat Sean sebelumnya. Ada kekuatan yang berbeda dari gadis ini, kekuatan yang membuat Sean terjebak di antara kewajiban dan keinginan.
“Pilih aku jadi pacar Uncle dan tetap tinggal di rumah ini. Atau menolak permintaanku dan pergi dari rumah ini?” Diana menegaskan dengan suara yang tegas, penuh tuntutan. Nada bicaranya seolah mengunci Sean dalam satu pilihan yang nyaris tak mungkin untuk diambil.
Sean menelan ludah pelan, dadanya terasa berat. Ia tidak pernah membayangkan berada di posisi ini—posisi di mana ia harus memilih antara cinta yang tak seharusnya ada atau menghancurkan perasaan keponakannya sendiri.
Ditatapnya sang keponakan dengan tatapan penuh kebingungan dan kebingungan itu hanya memperburuk perasaan yang sudah bercampur aduk di dalam dirinya.
Ia ingin berteriak, memohon pada takdir untuk menghentikan situasi ini. Namun, hanya keheningan yang tersisa.
"Aku... Aku tidak akan membiarkan kamu tinggal sendirian, Diana," kata Sean pelan, suaranya hampir hilang ditelan udara. “Aku... jangan pergi. Aku mohon.”
Diana, yang sedari tadi berdiri tegak dengan ekspresi dingin, perlahan tersenyum. Senyumnya itu lebih dari sekadar kemenangan—itu adalah penguasaan, kepastian bahwa kini segalanya akan berjalan sesuai dengan keinginannya.
“Berarti, diterima?” tanyanya, senyum itu tidak menghilang dari wajahnya.
Sean hanya bisa mengangkat bahu, meski hatinya terasa seperti dipaksa menanggung beban yang terlalu berat. “Aku belum tahu,” ucapnya, suara itu nyaris bergetar. Dia merasa seperti seorang pria yang berdiri di tepi jurang, siap untuk jatuh, namun takut untuk mundur.
Diana mendekat, langkahnya pelan namun penuh maksud. Mata Sean melebar, tubuhnya menegang saat perempuan muda itu hanya berjarak beberapa langkah dari dirinya.
Tawa kecil terdengar dari bibir Diana, begitu lembut namun mematikan, mengiris keheningan dengan brutal.
Kimono yang ia kenakan terikat longgar di pinggang, memperlihatkan kulit halus di bawahnya, dan setiap langkahnya seolah membawa angin dingin yang membuat jantung Sean berdegup lebih kencang.
Pandangannya tak bisa lepas dari sosok Diana, dari lekuk tubuh yang selama ini ia anggap sebagai anak kecil yang tak berdaya. Namun, gadis itu kini berdiri di depannya dengan cara yang berbeda—seperti seorang wanita yang tahu apa yang diinginkannya, dan tak ragu untuk mengambilnya.
“Di-Diana, kamu mau ngapain?” Suara Sean pecah, penuh ketakutan dan kebingungan.
Ini pertama kalinya ia merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hanya karena kehadiran seseorang—dan itu seseorang adalah keponakannya sendiri.
Diana hanya tersenyum, sebuah senyum yang begitu misterius dan memikat, seperti racun manis yang siap meracuni siapa pun yang meminumnya.
“Baru kayak gini aja, udah keringetan.” Diana mendekatkan wajahnya lebih dekat, matanya menelusuri wajah Sean dengan tatapan menggoda. “Gimana sih, Uncle! Kayak belum pernah dideketin perempuan cantik aja,” lanjutnya dengan nada mengejek.
Sean merasa tubuhnya semakin kaku, darahnya mendidih. Harga dirinya sebagai pria terancam oleh permainan yang dimainkan Diana, namun ia tak bisa bergerak, tak bisa berbicara.
Diana telah menguasai situasi, dan ia tahu itu. Ia bisa merasakan kehadiran gadis itu begitu dekat hingga aroma tubuhnya memenuhi udara di antara mereka.
Namun, tiba-tiba Sean bereaksi. Tangannya bergerak, memegang kedua bahu Diana dengan tegas, mencoba memutuskan jarak yang membuatnya nyaris kehilangan kendali.
Namun, gerakan cepat itu membuat kimono yang dikenakan Diana tersibak sedikit, memperlihatkan belahan d**a yang cukup untuk membuat hasrat kelaki-lakian Sean membuncah.
“Uncle!” pekik Diana dengan mata membesar, terkejut dengan tindakan Sean. Namun, ekspresi terkejut itu lebih merupakan bagian dari permainannya—karena dia tahu persis apa yang sedang dia lakukan.
Sean, sadar dengan situasi yang semakin tidak terkendali, segera melepaskan cengkeramannya dan memalingkan tubuhnya, wajahnya memerah karena malu dan rasa bersalah. "Haiis!" Ia menggeram, mencoba menenangkan diri meski bayangan tubuh Diana masih memenuhi pikirannya.
Tetapi Sean tahu satu hal—ia harus bertahan. Tidak peduli seberapa kuat hasrat yang berkecamuk di dalam dirinya, dia tidak akan membiarkan dirinya merusak gadis yang selama ini ia jaga. Tidak akan pernah.
“Keluar, Uncle! Aku mau pakai baju!” teriak Diana dengan nada yang memerintah, suaranya menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan malam yang mencekam.
“I—Iya, Diana.” Sean tergagap, kakinya segera bergerak menjauh dari pintu kamar, langkahnya lebar dan terburu-buru. Hatinya masih berdegup kencang, tubuhnya dipenuhi kegugupan yang tak bisa ia kendalikan.
Dengan gerakan cepat, ia menutup pintu kamar itu, terlalu kencang hingga suaranya bergema. Pintu yang tertutup seperti sebuah garis tegas antara mereka, namun dalam hati Sean, garis itu terasa semakin kabur.
“Isshh! Sebenarnya Uncle gue normal nggak sih?” gumam Diana sambil mengenakan pakaiannya. Tatapannya yang biasanya ceria kini berubah menjadi penuh teka-teki, mengungkapkan kebingungan yang mendalam.
Bibirnya terkatup rapat seolah-olah menyimpan emosi yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Ketika ia menarik kimono yang masih melingkari tubuhnya, pikirannya melayang pada sosok Sean yang canggung—pria yang selama ini ia panggil Uncle, namun kini ia pandang dengan cara yang sangat berbeda.
Sepuluh menit berlalu dalam keheningan, dan kemudian suara ketukan lembut terdengar di pintu kamarnya. Diana menoleh, mata cokelatnya menangkap bayangan kaki Sean di bawah pintu.
“Diana,” panggil Sean pelan dari luar. “Sudah selesai?”